Pandemi, Momentum Meningkatkan Pamor Rempah-rempah
Mengonsumsi rutin rempah-rempah sebagai minuman kesehatan menjadi salah satu pilihan meningkatkan imunitas, terutama ketika menjalani hidup bersama Covid-19. Di tengah pandemi, rempah-rempah pun naik pamor.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F07%2F69b68b87-1a76-4342-9b43-330eb0c36bc3_jpg.jpg)
Rempah-rempah atau empon-empon, di antaranya jahe, temu lawak, dan kunyit, diyakini mengandung khasiat menjaga imunitas tubuh.
Hidup berdampingan dengan virus korona suatu keniscayaan meski ketika nanti pandemi Covid-19 telah berakhir. Mengonsumsi secara rutin rempah-rempah sebagai minuman kesehatan menjadi salah satu pilihan meningkatkan imunitas. Selain menjadi sehat, juga turut meningkatkan kembali konsumsi dan pamor rempah Nusantara.
Menerapkan protokol kesehatan dengan ketat, yaitu 3M (memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, dan menjauhi kerumunan), serta menjaga kesehatan menjadi sesuatu hal yang wajib dilakukan saat dunia menghadapi serangan virus korona yang tak kasatmata.
Agar tubuh tetap sehat, meningkatkan imunitas tubuh sangat penting untuk melawan virus yang mematikan itu.
Berbagai upaya dilakukan untuk itu. Selain berolahraga, mengonsumsi makanan bergizi, buah-buahan, dan minum berbagai suplemen vitamin, hingga rajin berjemur untuk mendapatkan vitamin D dari sinar matahari, imunitas tubuh dipercaya dapat ditingkatkan dengan mengonsumsi minuman yang terbuat dari rempah-rempah.

Tak ayal, sejak pandemi melanda Tanah Air pada Maret 2020, minuman tradisional yang terbuat dari rempah-rempah, seperti jahe, kunyit, dan temu lawak, menjadi minuman favorit keluarga.
Beredar dengan cepat pula di media sosial berbagai resep ramuan dari beragam rempah yang dicampur dengan madu atau jeruk nipis dan lain-lainnya yang konon bisa menangkal virus baru yang ganas itu.
Beruntung, meminum minuman tradisional yang terbuat dari rempah-rempah (empon-empon) yang biasa disebut jamu itu sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia.
Tradisi leluhur yang dipercaya berkhasiat sebagai minuman kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan berbagai penyakit. Beruntung pula Indonesia kaya akan tanaman rempah-rempah.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F08%2F20200804WEN10_1596516890_jpg.jpg)
Potongan temu lawak yang dalam proses pengeringan sebagai salah satu bagian tanaman herbal di Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (4/8/2020).
Bahkan, sejarah mencatat, dulu kekayaan rempah-rempah Indonesia mempunyai nilai ekonomis tinggi dan menjadi rebutan bangsa-bangsa Eropa.
Pandemi Covid-19 menjadi momentum meningkatkan kembali pamor rempah Indonesia yang dulu pernah berjaya.
Baca juga : Hangat-hangat Jahe Merah Isoman
Konsumsi meningkat
Upaya memperkuat daya tahan tubuh ini berdampak pada meningkatnya konsumsi rempah-rempah, terutama jahe, kunyit, dan temu lawak. Bahan aktif jahe, yaitu gingerol dan flavonoid, merupakan agen antibakteri serta antiperadangan yang sangat baik untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
Sementara kunyit juga mengandung bahan aktif curcuminoid yang bersifat antiinfeksi dan antiradang. Selain warna kuningnya, rasa pahit kunyit juga menandakan kandungan antioksidan yang tinggi untuk mencegah radikal bebas. Adapun temu lawak yang juga mengandung senyawa aktif curcumin memiliki efek menghambat proses pertumbuhan virus.
Ketiga empon-empon tersebut paling laris diburu konsumen karena diyakini ampuh menangkal virus korona hingga harganya sempat melambung tinggi, mengalami kenaikan empat sampai lima kali lipat akibat meningkatnya permintaan.
Menurut catatan Ikatan Pedagang Pasar Tradisional dalam harian Kontan di awal pandemi, harga jahe saat itu berkisar Rp 50.000-Rp 70.000 per kilogram. Padahal, sebelumnya hanya sekitar Rp 35.000 per kg.

Harga temu lawak berkisar Rp 45.000-Rp 50.000 per kg dari sebelumnya hanya Rp 15.000 per kg. Sementara harga kunyit mencapai Rp 63.000 per kg dari yang sebelumnya hanya Rp 10.000 per kg.
Naiknya permintaan empon-empon tersebut mendorong pertumbuhan produksinya. Hal ini terpotret dari data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Data produksi tahun 2020, ketiga komoditas yang termasuk tanaman biofarmaka ini mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun 2019, kecuali temu lawak yang sedikit menurun (9,77 persen atau 2,89 ribu ton).
Sementara tren produksi jahe yang terus menurun dalam kurun waktu empat tahun sejak 2016 baru mengalami kenaikan pada 2020.
Meski luas panen turun 7,8 persen dibandingkan dengan tahun 2019, produksi jahe tahun 2020 mencapai 183,52 ribu ton, naik sebesar 5,24 persen (9,14 ribu ton) dari tahun sebelumnya.
Adapun produksi kunyit cenderung fluktuatif dalam kurun waktu 2016-2019 dan mengalami peningkatan kembali tahun 2020 sebesar 1,40 persen (2,67 ribu ton) hingga mencapai 193,58 ribu ton dengan luas panen 8,14 ribu hektar, naik 0,51 persen dari tahun sebelumnya.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F08%2F20200804WEN15_1596516874.jpg)
Pekerja membersihkan temu giring yang telah dikeringkan sebelum dikemas untuk dijual ke pengepul di Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (4/8/2020).
Dibandingkan dengan 14 jenis tanaman biofarmaka lainnya, produksi kunyit paling tinggi pada tahun pandemi ini. Diikuti jahe, kapulaga, laos, kencur, dan temu lawak.
Selama tahun 2020, kunyit dan jahe menjadi primadona dan mengalami puncak produksi pada triwulan III, bahkan meningkat lebih dari 100 persen dibandingkan dengan produksi triwulan II.
Sementara tren produksi temu lawak terus meningkat dari triwulan I hingga triwulan IV, meski tak sedrastis kunyit dan jahe. Pulau Jawa masih menjadi sentra produksi ketiga rempah-rempah ini. Jawa Timur berkontribusi paling besar terhadap produksi nasional.
Baca juga : Empon-empon Pengusir Virus?
Ekspor impor
Meskipun demikian, peningkatan produksi akibat pandemi ini tidak serta-merta memengaruhi kinerja ekspor dan impor komoditas tersebut. Volume ekspor jahe segar cenderung menurun setelah mencatatkan volume tertinggi pada tahun 2017 sebesar 24.111 ton.
Setelah itu, dalam tiga tahun terakhir, volume ekspor jahe segar tak sampai menyentuh angka 5.000 ton. Bahkan, pada tahun 2000 anjlok pada kisaran 1.800 ton saja.
Di sisi lain volume ekspor jahe olahan justru naik tajam hingga 212 persen pada tahun 2020 dibandingkan dengan tahun 2019, setelah mengalami penurunan terus-menerus dari 2016. Jahe yang diolah telah memberikan nilai tambah sehingga meningkatkan ekspor.

India, Jepang, dan Jerman merupakan negara-negara tujuan ekspor dengan volume terbesar. Sementara itu, Indonesia masih mengimpor jahe segar dari Vietnam, Thailand, dan China meski kinerjanya turun 11,7 persen pada tahun 2020 dari tahun sebelumnya.
Volume ekspor kunyit segar selama lima tahun terakhir tercatat berfluktuasi dan meningkat sebesar 38,4 persen pada tahun 2020, dari 7.163 ton menjadi 9.914 ton.
India, Singapura, dan Malaysia menjadi tujuan utama ekspor kunyit. Di sisi lain impor kunyit juga tercatat meningkat 35,4 persen pada tahun 2020, dari 1.434 ton menjadi 1.943 ton.
Belum membaiknya kinerja ekspor dan masih adanya kebergantungan pada impor di kedua komoditas rempah tersebut menjadi catatan bagi pemerintah untuk mengatasi hambatan-hambatan terutama terkait dengan standarisasi mutu.
Upaya memperkuat daya tahan tubuh berdampak pada meningkatnya konsumsi rempah-rempah, terutama jahe, kunyit, dan temu lawak.
Ekspor sangat penting artinya bagi negara karena selain menambah devisa juga meningkatkan kesejahteraan petani dengan memberikan nilai tambah produk.
Pandemi membawa asa peningkatan ekspor rempah-rempah Nusantara. Namun, masih banyak hambatan yang perlu diselesaikan dan langkah konkret untuk meningkatkan daya saing agar produk rempah Indonesia untuk kembali berjaya di pasar global.
Baca juga : Empon-empon yang Mendadak Terkenal
Kontribusi hortikultura
Untuk itu, produksi tanaman rempah-rempah yang bisa menjadi tanaman obat harus terus dipacu di tengah pandemi Covid-19. Sebab, selain bermanfaat untuk meningkatkan daya tahan tubuh, tanaman obat juga berdampak baik pada peningkatan ekonomi masyarakat, terutama petani hortikultura.
Hal ini terlihat dari terus membaiknya nilai tukar petani (NTP hortikultura). Merujuk data BPS, pada posisi Agustus 2021 NTPH > 100 masih di atas NTP tanaman pangan dan NTP peternakan.
Hal ini mengindikasikan peningkatan pendapatan petani dari hasil produksi lebih besar daripada peningkatan pengeluaran untuk kebutuhan petani.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F07%2F20190705WEN8_1562302583.jpg)
Pekerja mengeringkan temu lawak sebagai bahan obat herbal di Jabungan, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (5/7/2019). Empon-empon seperti temu lawak, temu giring, sambiroto, lempuyang, dan kunir menjadi komoditas menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan industri herbal. Mereka mengirim ke sejumlah kota, antara lain Semarang, Solo, dan Jakarta.
Di samping itu, sebagai salah satu jenis tanaman hortikultura, bersama buah-buahan, sayur-sayuran, dan tanaman hias, pertumbuhan hortikultura turut memberikan kontribusi bagi pertumbuhan positif sektor pertanian selama pandemi. Pada triwulan IV/2020, komoditas hortikultura mengalami pertumbuhan sebesar 7,85 persen.
Tanaman hortikultura, termasuk tanaman biofarmaka, juga memiliki keunggulan, di antaranya mudah pembudidayaannya, sedikit membutuhkan lahan, dapat tumbuh baik pada iklim tropis, serta memiliki potensi daya saing yang baik.
Keunggulan ini dan dengan memanfaatkan momentum pandemi bisa menjadi peluang, tak hanya meningkatkan kesejahteraan petani, tetapi juga pamor rempah-rempah. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Budidaya untuk Melestarikan Keragaman Rempah