Empon-empon Pengusir Virus?
Pada masa pandemi banyak orang mencari cara agar dapat meningkatkan daya tahan tubuhnya. Orang menjadi semakin peduli dengan kesehatannya dan mencari referensi. Buku tentang pengobatan tradisional ini bisa diandalkan.
Judul: Pengobatan Tradisional: Antara Mitos dan Fakta
Penulis: dr Nies Endang Mangunkusumo dan Dr dr Indra Zachreini
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Cetakan: 2021
Tebal: xiii + 178 halaman
ISBN: 978-623-241
Pada masa pandemi yang sudah berlangsung selama setahun ini, siapa pun ingin memperkuat imunitas atau daya tahan tubuhnya dengan satu tujuan: agar terhindar dari virus korona yang menyebabkan penyakit (yang disebut) Covid-19.
Apa saja yang dilakukan orang-orang? Ya, macam-macam, mulai dari minum berbagai vitamin dan suplemen tambahan selain mengonsumsi makanan bergizi, juga mengonsumsi minuman yang terbuat dari bahan-bahan alami yang biasanya lebih banyak digunakan sebagai bumbu masakan atau minuman penyegar.
Orang pun sibuk bertanya ke kanan dan ke kiri, kepada orangtua atau yang dituakan dan dianggap mengerti khasiat akar, batang, atau daun tanaman yang mana yang bermanfaat. Lalu info tersebut dicatat, sebagian dicek lagi pada sumber lain, bahkan ada juga yang bertanya kepada dokter atau ahli farmasi, dan kemudian (setelah merasa cukup yakin), dipraktikkan.
Di tengah keingintahuan akan khasiat bahan-bahan yang kebanyakan berasal dari tanaman itu, muncul sebuah buku yang (paling tidak) bisa menjawab pertanyaan masyarakat tentang: mana saja campuran yang bisa dikonsumsi dan khasiatnya apa? Juga hal-hal yang sering dilakukan di dalam menanggulangi rasa sakit: boleh atau tidak untuk dilanjutkan.
Bumbu dapur
Dua dokter spesialis THT (telinga, hidung, dan tenggorok) dan bedah kepala leher, yaitu dr Nies Endang dan Dr dr Indra Zachremi, menulis dalam pengantar buku bahwa tujuan mereka menulis buku ini adalah memberi pencerahan kepada masyarakat agar lebih bijak dan berhati-hati dalam menggunakan obat herbal.
Halaman pertama dibuka dengan penjelasan tentang empon-empon, yaitu ramuan herbal tradisional Jawa yang terdiri dari temulawak, kunyit, jahe, kayu manis dan serai. Setiap bahan tersebut dijelaskan dengan rinci disertai khasiatnya.
Mengenai temulawak (curcuma xanthorrhiza, curcuma) adalah tanaman yang memiliki rimpang berbentuk bulat lonjong. Warnanya kuning muda yang mengandung kurkuminoid, minyak atsiri, pati, protein, lemak, selulosa, dan mineral.
Temulawak disebutkan memiliki khasiat antiradang, antibakteri, antijamur, menjaga kesehatan liver (hati), kesehatan saluran cerna, antijerawat, dan diuretika (hlm 3).
Selain dijelaskan dengan cukup detail, kemudian diberikan cara membuat minuman yang ternyata memang baik diminum untuk mencegah atau ketika sakit. Juga ditegaskan bahwa jamu (yang terdiri dari campuran beberapa bahan) itu bukan obat untuk membunuh virus.
Bab 1 berisi deretan bahan-bahan apa yang dipercaya dan biasa digunakan untuk menyembuhkan atau mengatasi ”kecelakaan”. Bagaimana cara kerjanya serta baik-buruknya. Daun sirih untuk mimisan. Jeruk nipis untuk obat batuk, gumpalan nasi untuk ketulangan. Larutan tembakau untuk membunuh serangga yang masuk ke dalam hidung. Air jahe untuk menyembuhkan suara serak. Daun kelor untuk menurunkan tekanan darah. Advokad untuk menurunkan kolesterol. Dan banyak lagi.
Yang menarik dalam bagian ini banyak bermunculan kebiasaan zaman dulu, seperti menyumbat hidung dengan gulungan daun sirih saat mimisan dan penggunaan belau pada gondongan. Benarkah kebiasaan tahun enam puluhan ini masih ”hidup” saat ini? Bisa jadi masih dilakukan di perdesaan, wallahualam.
Yang menarik, di sini dijelaskan secara singkat apa yang menyebabkan perdarahan di hidung. Bisa karena adanya tumor, tulang pembatas hidung yang bengkok, pengaruh lingkungan atau zat kimia, penyakit kelainan darah, dan lain-lain. Dijelaskan pula letak sumber perdarahan, apa yang seyogianya dilakukan, jika hendak memakai daun sirih, bagaimana menggunakannya, serta cara kerja daun sirih menghentikan perdarahan.
Yang sebaiknya tidak dilakukan
Dalam Bab 2 dan 3 ada beberapa hal yang menurut saya juga menarik serta perlu diketahui masyarakat. Yang pertama adalah kebiasaan kerokan saat tubuh terasa kurang nyaman, pusing, perut kembung, dan sebagainya. Sebuah kebiasaan yang mungkin sudah diturunkan dari kakeknya kakek kita.
Perbuatan menggaruk bagian belakang tubuh (punggung) dengan menggunakan alat dan meninggalkan bekas garis-garis merah yang mengarah ke bawah, mulai dari tengah sampai ke pinggir badan ini menyebabkan pembuluh darah melebar dan aliran darah lebih lancar sehingga memperbaiki metabolisme. Maka tak heran apabila setelah kerokan badan merasa lebih ringan dan nyaman.
Namun ternyata, kerokan tidak dianjurkan untuk mereka yang mempunyai penyakit kelainan pembekuan darah, minum obat pengencer darah, atau terdapat infeksi pada kulit punggung. Diingatkan juga untuk tidak terlalu sering melakukannya karena kerokan membuat pori-pori terbuka lebar yang berisiko masuknya virus.
Kemudian dibahas juga tentang ear candling untuk mengeluarkan kotoran dari telinga. Orang percaya bahwa ear candling bisa mengangkat kotoran berdasarkan serpihan yang terdapat pada ear candle. Tetapi jika diperhatikan secara seksama, ternyata serpihan tersebut bukanlah kotoran telinga yang keluar dari liang telinga, melainkan serpihan yang keluar dari lilin yang terlepas ketika ear candle dibakar. Ketika diperiksa sering kali kotoran telinga masih ada di dalam telinga (hlm 94).
Disebutkan juga bahwa tindakan itu sudah dilarang di Amerika Srikat melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) dan Kanada melalui badan pengawas kesehatan Kanada (Canada Health) di tahun 1996.
Diulas juga tentang pengobatan dengan sengatan lebah, luka bakar yang diolesi dengan mentega atau pasta gigi dan banyak hal yang tampaknya sepele dan sudah dilakukan bertahun-tahun dalam lingkungan keluarga, tanpa kita tahu keburukan atau akibat apa yang bisa terjadi. Serta metode baru (atau ”belum terlalu lama” lebih tepat) seperti minum urine sendiri.
Mudah diikuti
Secara keseluruhan buku ini menarik dan mudah dicerna. Deskripsi yang diberikan cukup detail, dengan kalimat sederhana dan mudah dimengerti. Ulasan juga pendek, tidak bertele-tele. Disain cover bagus. Sekadar bertanya: mengapa ilustrasi di dalam buku tidak disamakan dengan cover?
Buku ini akan lebih lengkap (dan menarik tentu!) jika di tengah-tengah bagian diberikan foto-foto jahe, kunyit, temulawak, serai, daun kelor (dan semua bahan yang disebut dalam buku) juga lebah (yang di dalam buku disebut berbeda dengan tawon) plus tindakan bekam, ear candling, dan lain-lain. Mungkin cukup 16 halaman dengan kertas art paper berwarna.
Foto-foto itu selain informatif (ada lho anak milenial yang tidak bisa membedakan jahe dengan temulawak), bisa memberi nilai tambah pada kemasan yang memang sudah baik.
Threes Emir
Penulis Buku