76 Persen Lapas Kelebihan Penghuni
Kebakaran Lapas Kelas 1 Tangerang mengungkap permasalahan kelebihan penghuni. Saatnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melakukan audit dan pembenahan lembaga pemasyarakatan secara menyeluruh.
Kebakaran Lapas Kelas 1 Tangerang kembali mengungkap permasalahan kelebihan penghuni yang tak pernah tuntas. Saatnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melakukan audit dan pembenahan lembaga pemasyarakatan secara menyeluruh.
Kebakaran dini hari, 8 September 2021, yang menewaskan 41 warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tangerang, Banten, menorehkan catatan hitam pada wajah hukum Indonesia.
Sepanjang catatan Kompas, peristiwa ini paling banyak memakan korban selama satu dekade terakhir. Selain puluhan orang tewas, musibah kebakaran yang diduga sementara akibat hubungan arus pendek atau korsleting listrik ini juga menyebabkan 8 orang luka berat dan 74 warga binaan lainnya luka ringan.
Banyaknya korban jiwa yang tewas terpanggang api diduga karena beberapa kamar dari 19 kamar sel di Blok C2 yang dihuni 122 narapidana (napi) belum sempat dibuka oleh petugas sementara api sudah membesar. Banyaknya napi dan keterbatasan petugas juga menghambat jalannya evakuasi.
Peristiwa ini juga menguak fakta berlebihnya jumlah narapidana yang menjalani hukuman di lapas ini. Berdasarkan data dalam laman resmi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Lapas Kelas I Tangerang memiliki kapasitas tampung 600 orang. Namun, hingga bulan Agustus 2021, tercatat lapas dihuni 2.087 tahanan dan narapidana. Ini berarti ada kelebihan penghuni lapas hingga 248 persen.
Tak hanya di Lapas Kelas I Tangerang. Membedah data di laman Ditjenpas tersebut, dari 526 UPT (Unit Pelayanan Teknis) Pemasyarakatan di 33 Kanwil (Kantor Wilayah) di Indonesia, sebanyak 76 persen (401 UPT) telah over kapasitas. Bahkan, 41 persen diantaranya (217 UPT) mengalami over kapasitas penghuni lebih dari 100 persen.
Di seluruh daerah di Indonesia, kapasitas lapas dan rumah tahanan hanya 135.561 orang. Sementara, jumlah warga binaan per Agustus 2021 mencapai 266.514 orang.
Dengan demikian melebihi kapasitas hingga 97 persen. Dari 33 Kanwil, hanya Kanwil DI Yogyakarta, Gorontalo, dan Maluku Utara yang UPT Pemasyarakatannya tidak over kapasitas.
Ada 7 lapas dan rutan yang over kapasitasnya sudah melebihi lima kali lipat kapasitas normal. Bahkan tertinggi mencapai 907 persen, yaitu Lapas Kelas II A Bagan Siapi-Api, Riau, diikuti Lapas Kelas II B Bireun, Aceh, dan Lapas Kelas II B Teluk Kuantan, Riau, yang melebihi kapasitas hingga 632 persen.
Baca juga : Pelajaran Berharga dari Kebakaran Lapas Tangerang
Pekerjaan rumah
Persoalan jumlah warga binaan yang jauh melebihi kapasitas lembaga pemasyarakatan ini merupakan salah satu pekerjaan rumah yang belum terselesaikan dalam perencanaan strategis Kemenkumham periode 2015-2019.
Peristiwa ini juga menguak fakta berlebihnya jumlah narapidana yang menjalani hukuman di lapas ini.
Di samping pembenahan lembaga pemasyarakatan lainnya seperti persoalan kerusuhan di lapas ataupun rutan, pelanggaran hak-hak narapidana, hingga korupsi di kalangan pegawai lapas dan rutan.
Di sisi lain, lembaga pemasyarakatan juga menghadapi persoalan terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM). Sampai dengan Agustus 2021, jumlah SDM di lapas sebanyak 33.895 orang yang harus melakukan tugas pelayanan untuk 266.514 warga binaan. Idealnya satu petugas menjaga 20-25 napi/tahanan.
Fakta mayoritas lapas dan rutan yang kelebihan kapasitas dan peristiwa terbakarnya Lapas Kelas I Tangerang yang merenggut banyak korban jiwa menjadi momentum bagi pemerintah untuk menyelesaikan tugas yang tertunda tersebut.
Tak hanya berdampak pada upaya mitigasi lapas dalam kondisi darurat, kepadatan penghuni lapas tentunya akan mempersulit pengawasan, perawatan lapas, sampai dengan proses evakuasi cepat apabila terjadi musibah seperti kebakaran.
Disamping itu juga tidak manusiawi dan di masa pandemi ini juga menjadi problem tersendiri karena tidak bisa melakukan physical distancing sehingga penghuni lapas rentan terpapar Covid-19.
Dampak lainnya, kondisi lapas yang over kapasitas juga bisa memicu terjadinya kerusuhan akibat ketidakpuasan napi yang tidak terpenuhi hak-haknya sebagai warga binaan, seperti mendapatkan fasilitas yang memadai.
Dalam catatan Kompas satu dekade terakhir, mayoritas peristiwa kebakaran lapas dipicu terjadinya kerusuhan. Misalnya kebakaran yang terjadi di Lapas Malabero, Kota Bengkulu, 25 Maret 2016 yang menewaskan lima orang dan kebakaran di Lapas Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara, 11 Juli 2013 yang awalnya dipicu lampu PLN mati dan penghentian pasokan air menjelang buka puasa hingga menimbulkan kerusuhan bahkan merenggut nyawa lima korban.
Baca juga : Pesan dari Lapas Tangerang
Mayoritas narkoba
Salah satu faktor penyebab berlebihnya daya tampung penjara adalah besarnya tahanan kasus narkoba di semua kanwil. Merujuk data Ditjenpas Agustus 2021, dari 155.866 jumlah kasus pidana khusus, mayoritas (93 persen) adalah kasus narkoba.
Sebanyak 116.810 (74,9 persen) adalah kasus narkoba sebagai bandar atau pengedar, sementara 28.241 (18,1 persen) kasus narkoba sebagai pengguna. Di Lapas Kelas I Tangerang tercatat 1.805 kasus narkoba dari 2.087 napi.
Kondisi tersebut menggambarkan betapa mengguritanya kasus narkoba di tanah air. Namun hal ini menjadi problematis karena masifnya kasus narkoba berpotensi menambah sesak penjara.
Salah satu penyebabnya adalah sistem peradilan pidana di Indonesia yang sangat bergantung pada penggunaan pidana penjara sebagai hukuman utama, termasuk kasus narkoba. Bahkan kasus narkoba sebagai pengguna. Sanksi dengan kurungan otomatis akan berimbas kepada kapasitas lapas.
Tak semua jenis tindak pidana perlu dikenai sanksi berupa hukuman penjara. Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dapat diterapkan atau dikenakan bagi pihak yang memiliki narkotika sebagai penyalahguna atau pecandu dengan sanksi adalah rehabilitasi atau maksimal penjara 4 tahun.
Dengan sanksi rehabilitasi bagi pengguna atau pecandu narkoba tentu bisa mengurangi kapasitas lapas. Namun berdasarkan data, tak sedikit pengguna narkoba yang dijatuhi hukuman penjara. Melihat kondisi itu, pembentuk undang-undang perlu segera memikirkan alternatif pemidanaan selain penjara.
Upaya mengurangi kelebihan kapasitas lapas dan rutan juga dilakukan pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Berdasarkan aturan tersebut, Kemenkumham membebaskan sekitar 30.000 orang narapidana dan Anak.
Tangkapan layar dari dokumentasi Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Bali, Rabu (8/9/2021), terkait pemeriksaan alat pemadam api yang dipasang di lapas maupun rutan di Bali.Kemenkumham juga berupaya menambah lapas baru dan redistribusi napi ke lapas lain yang belum padat. Namun upaya tersebut belum menyelesaikan masalah over kapasitas.
Melihat kondisi itu, pembentuk undang-undang perlu segera memikirkan alternatif pemidanaan selain penjara.
Untuk itu manajemen lapas harus segera dibenahi dengan melakukan audit keamanan secara menyeluruh dan memformulasikan strategi pencegahan. Selain sistem keamanan, prosedur mitigasi bencana di seluruh lapas juga perlu dievaluasi agar peristiwa tragis seperti kebakaran tersebut tidak terulang di masa depan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Manajemen Keselamatan di Lapas Perlu Diperbaiki