Sudah semestinya kasus kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang diusut tuntas dan korbannya mendapat penanganan terbaik. Pesan dari peristiwa itu, jangan sampai dibiarkan hilang terbawa angin.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Duka untuk korban kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang. Sudah semestinya kasus itu diusut tuntas dan korban mendapat penanganan terbaik.
Langkah itu dibutuhkan karena kebakaran terjadi di bangunan milik negara, yang seharusnya menjadi tempat bagi penghuninya untuk menyiapkan diri agar dapat hidup kembali di masyarakat dengan baik dan bertanggung jawab.
Sambil menunggu pengusutan kasus kebakaran Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Tangerang dan memastikan korbannya mendapat penanganan terbaik, jika menengok ke belakang, peristiwa serupa pernah terjadi di lapas lain dengan berbagai sebab. Pada 11 April 2020, misalnya, api membubung dari Lapas Kelas II Manado, Sulawesi Utara. Peristiwa itu dipicu kerusuhan yang antara lain bermula karena ada narapidana yang tidak diizinkan melayat orangtuanya yang meninggal. Sementara itu, perselisihan antara sipir dan sejumlah tahanan narkotika berujung pada perusakan dan pembakaran sejumlah fasilitas di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas IIB Kabanjahe, Karo, Sumatera Utara, 12 Februari 2020.
Lebih ke belakang, 11 Juli 2013, Lapas Kelas I Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara, dibakar para narapidana yang kesal dengan pemadaman listrik sehinggga persediaan air habis. Sebanyak empat orang meninggal dalam peristiwa ini.
Mengelola lapas atau rutan yang dihuni oleh mereka yang dikurangi kebebasannya memang tak mudah. Terlebih, sejumlah persoalan, seperti kelebihan penghuni, tak kunjung terselesaikan. Berdasarkan data Smslap.ditjenpas.go.id per 8 September 2021, penghuni lapas dan rutan se-Indonesia mencapai 250.527 orang. Padahal, kapasitas yang ada hanya untuk 135.561 orang. Artinya, ada kelebihan penghuni 85 persen.
Kelebihan penghuni ini memicu persoalan lain, seperti tidak optimalnya pemenuhan pelayanan dasar bagi narapidana atau tahanan dan timpangnya rasio petugas dengan penghuni. Kondisi ini dapat memicu munculnya kericuhan.
Pada saat yang sama, muncul persoalan lain, seperti adanya ”kamar istimewa” untuk penghuni tertentu dan adanya peredaran narkoba yang dikendalikan dari dalam lapas.
Sejumlah upaya telah dilakukan untuk mengatasi masalah di lapas atau rutan. Guna mengatasi kelebihan penghuni, misalnya, tahun ini pemerintah membangun tiga lapas di Nusakambangan. Alternatif penahanan selain di rutan juga diwacanakan, seperti penangguhan penahanan, tahanan kota, dan tahanan rumah. Ini karena sebagian penghuni lapas dan rutan ternyata belum mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Jumlah dan kesejahteraan pegawai lapas serta rutan juga terus diupayakan ditambah agar mereka dapat bekerja optimal.
Akhirnya, wajah lapas dan rutan adalah sebagian dari wajah kita sebagai bangsa. Keseriusan menangani masalah yang terjadi di tempat itu mencerminkan kesungguhan kita untuk terus meningkatkan kualitas hidup bersama. Jangan sampai pesan dari Lapas Tangerang ini terbang terbawa angin begitu saja.