Problematika Pengelolaan Limbah Medis Covid-19
Pengelolaan limbah B3 Covid-19 di Indonesia masih menghadapi tantangan pemerataan fasilitas pengolahan limbah, belum tertanganinya limbah di luar fasilitas kesehatan, serta kesadaran masyarakat membuang sampah infeksius.
Penanganan pandemi Covid-19 memunculkan persoalan lain yang perlu menjadi perhatian, yaitu pengelolaan limbah medis. Dibutuhkan pengolahan yang tepat agar tidak timbul medium baru penularan virus korona dan mencegah dampak jangka panjang terhadap kelestarian lingkungan.
Pemerintah Indonesia terus berusaha menekan peningkatan angka infeksi Covid-19 melalui banyak cara, mulai dari pembatasan mobilitas, penambahan fasilitas perawatan, hingga edukasi protokol kesehatan terhadap masyarakat. Upaya lainnya adalah percepatan vaksinasi Covid-19 di berbagai wilayah. Namun, ada persoalan lain yang muncul di balik lonjakan kasus korona, yaitu penanganan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) infeksius Covid-19.
Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup Nomor SE.3/MENLHK/PSLB3/PLB.3/3/2021 menyebutkan lingkup jenis dan sumber limbah ini. Dari aspek jenis, limbah B3 Covid-19 ini berasal dari penanganan Covid-19 termasuk perawatan pasien konfirmasi Covid-19, produk farmasi, serta limbah yang dihasilkan dari uji sampel dan vaksinasi Covid-19.
Limbah yang dihasilkan dari penanganan pasien konfirmasi Covid-19 berupa limbah klinis yang memiliki karakteristik infeksius, seperti masker bekas, gaun medis, sarung tangan medis, pelindung kepala, pelindung sepatu, pelindung mata, serta pelindung wajah. Sementara limbah yang dihasilkan dari uji sampel dan vaksinasi Covid-19 meliputi peralatan uji sampel, seperti kapas, tabung alat swab, papan uji reaksi, dan pipet sekali pakai, serta kemasan produk farmasi.
Selain dari jenis limbah, hal lain yang menjadi perhatian dari limbah B3 Covid-19 adalah sumber limbah. Sumber limbah tersebut dapat berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, laboratorium kesehatan, rumah sakit darurat, tempat isolasi, uji deteksi Covid-19, serta tempat vaksinasi Covid-19. Di luar limbah B3 Covid-19, terdapat juga sumber sampah yang dapat berasal dari rumah tangga dan kawasan komersial.
Limbah medis pasien Covid-19 perlu diolah dengan tepat, sebab ada durasi cukup lama untuk virus menempel di permukaan benda dan menyebabkan infeksi. Penumpukan dan pengelolaan yang tidak tepat hanya akan membuka celah penularan melalui medium limbah. Apalagi, saat terjadi kenaikan kasus infeksi dan perawatan yang masif, dibutuhkan pengolahan yang cepat.
Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terdapat peningkatan kapasitas limbah B3 Covid-19 saat terjadi penambahan kasus positif korona. Pengamatan yang dilakukan di lima provinsi episentrum Covid-19 menunjukkan lonjakan limbah, bahkan ada yang melebihi 1.000 persen.
Lonjakan limbah yang paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Barat, mencapai 1.030,6 persen. Pada Maret 2021, tercatat jumlah limbah B3 Covid-19 di Jawa Barat sebanyak 74,03 ton, kemudian naik menjadi 836,98 ton di Juli 2021. Di saat yang sama, kasus infeksi yang bermula sekitar 1.600 orang melonjak hingga sekitar 10.700 orang.
Tak hanya di Jawa Barat, kenaikan limbah medis secara drastis terjadi juga di Jawa Tengah (309,1 persen), Banten (159,5 persen), DKI Jakarta (45,9 persen), dan Jawa Timur (23,6 persen). Seluruh provinsi yang menjadi pusat penularan mencatat kenaikan limbah di periode Maret-Juli 2021.
Secara nasional terdapat 18.000 ton jumlah limbah B3 Covid-19 pada Juli 2021. Selain jumlah limbah, persoalan lainnya adalah keterbatasan teknologi pengelolaan di Indonesia. Dari sisi kuantitas pengolahan, kapasitas mesin pengolahnya sudah memenuhi kebutuhan. Namun, fasilitas pengolahan limbah medis masih terpusat di Pulau Jawa.
Jumlah rumah sakit yang memiliki fasilitas pengolahan limbah juga sangat terbatas, hanya sekitar 4,1 persen. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa pengolahan limbah medis pasien Covid-19 masih belum optimal.
Sebagai catatan, statistik limbah medis yang dilaporkan oleh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutahan berasal dari pusat-pusat fasilitas layanan kesehatan tingkat daerah hingga nasional. Artinya, ada lingkup area yang belum terhitung, yaitu limbah pasien isolasi mandiri.
Hingga kini belum ada mekanisme pencatatan limbah yang dihasilkan oleh rumah yang dijadikan lokasi isolasi mandiri. Padahal, pasien isoman juga menghasilkan limbah medis, seperti masker dan tisu. Oleh sebab itu, dibutuhkan sistem terpadu, mulai dari penyediaan kotak dan plastik khusus limbah hingga angkutan limbah.
Tersebar
Penanganan limbah medis sangat mendesak untuk dilakukan dengan metode yang tepat. Celah penularan dapat saja terbuka lebar karena kemampuan virus hidup di beberapa jenis permukaan benda terbilang cukup lama.
Berdasarkan penelitian ”Covid pollution: impact of Covid-19 pandemic on global plastic waste footprint” (2021), kemampuan virus korona bertahan di luar tubuh manusia tidak sebentar. Virus yang menempel di masker medis bisa bertahan hingga 168 jam atau sekitar 7 hari, sementara durasi di permukaan benda plastik adalah 72 jam atau 3 hari.
Baca juga: Bahaya Limbah Medis B3 bagi Manusia
Untuk benda dengan permukaan kaca atau gelas bahkan mencapai 48 jam atau 2 hari. Tak hanya bahan masker, plastik, atau gelas, virus juga dapat bertahan hingga 6 jam di permukaan benda yang terbuat dari kayu, sedangkan di bahan tisu bertahan sekitar 30 menit.
Kemampuan virus untuk bertahan hidup di berbagai jenis permukaan benda menuntut perbaikan pengelolaan limbah medis. Apalagi, jumlah limbah yang dihasilkan oleh pasien sangatlah banyak dan terus bertambah setiap harinya, kecuali terjadi penurunan signifikan kasus infeksi dan perawatan.
Keberadaan limbah B3 Covid-19 ini kian mengkhawatirkan apabila dilihat dari sudut pandang global, sebab sedikitnya 3,4 miliar limbah medis jenis masker dihasilkan setiap hari. Limbah medis tersebar merata dengan jumlah yang sangat banyak di setiap wilayah di dunia. Asia menjadi wilayah dengan estimasi jumlah tertinggi, yaitu 1,9 miliar masker bekas setiap hari.
Wilayah yang juga tercatat banyak menghasilkan limbah medis adalah Eropa dan Afrika, yaitu lebih dari 400 juta masker bekas setiap hari. Tak hanya Asia, Eropa, dan Afrika, wilayah lain yang menyumbang limbah cukup banyak adalah Amerika Selatan (380,4 juta masker bekas), Amerika Utara (244,3 juta masker bekas), dan Oseania (21,7 juta masker bekas).
Banyaknya limbah medis selama penanganan dan perawatan pasien Covid-19 perlu segera diselesaikan. Limbah yang terus bertambah hanya akan merusak lingkungan, sekaligus menimbulkan konsekuensi pembangunan berkelanjutan setelah usai masa pandemi ini.
Terobosan teknologi
Situasi pandemi yang belum terkendali hingga saat ini akan terus menyumbang peningkatan jumlah limbah medis. Apalagi, ada ancaman varian virus yang jauh lebih infeksius sehingga mampu menyebabkan lonjakan kasus beserta jumlah limbah.
Untuk memecahkan masalah limbah medis, sejumlah program dapat dilakukan mulai dari menyediakan tempat pembuangan limbah, memperbanyak lokasi pengolahan limbah medis, serta memberikan edukasi kepada masyarakat.
Tempat pembuangan limbah medis diperlukan untuk menampung bahan berbahaya ini agar tidak menyebarkan potensi virus yang ada di dalamnya. Dalam jangka panjang, penyediaan teknologi pengolahan limbah juga dapat diperbanyak untuk mempercepat proses pengelolaan limbah medis.
Sarana pengelolaan tentu tidak terbatas skala besar, tetapi perlu didetailkan hingga skala domestik atau rumah tangga. Teknologi pengelolaan limbah skala domestik dapat menjangkau daerah-daerah terpencil dan bersifat mobile.
Selain jangkauan yang lebih mikro, teknologi tersebut memiliki biaya operasional lebih murah. Sarana pengelolaan yang ramah biaya ini diperlukan mengingat alokasi dana untuk pengolahan limbah di Indonesia baru mencapai Rp 1,3 triliun.
Selain pengembangan teknologi, penguatan pengelolaan limbah perlu dilakukan di tingkat regulasi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menegaskan bahwa praktik pembuangan limbah medis ke tempat pembuangan akhir (TPA) tidak diperbolehkan.
Seiring pengembangan teknologi dan regulasi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memiliki dua solusi teknologi pengolahan limbah yang tidak hanya menjamin dari sisi kesehatan dan lingkungan, melainkan dapat digunakan untuk industri.
Saat ini telah ada alat penghancur jarum suntik yang residu akhirnya berupa stainless steel murni atau baja tahan karat. Selain untuk kebutuhan arsitektur dan konstruksi, stainless steel dapat pula untuk industri otomotif, peralatan medis, dan industri makanan serta minuman.
Teknologi lainnya adalah daur ulang alat pelindung diri dan masker yang menghasilkan polipropilena (PP) atau polimer termo-plastik. Kegunaan PP polipropilena untuk bahan tekstil, alat tulis, perlengkapan laboratorium, komponen otomotif, dan lainnya.
Baca juga: Timbunan Limbah Medis Semakin Melebihi Kapasitas
Persoalan limbah medis tidak bisa dibiarkan begitu saja, sebab memiliki konsekuensi terhadap kesehatan dan lingkungan. Dari sisi kesehatan, penumpukan limbah berpotensi menjadi medium infeksi lanjutan, sementara dari sisi lingkungan akan menambah volume sampah tak terurai di seluruh dunia dengan jumlah yang terus meningkat.
Cara untuk menekan jumlah limbah medis tidak hanya terbatas penyediaan teknologi pengolahan. Faktor lain yang sangat berpengaruh adalah pengendalian bagian hulu, yaitu memutus rantai penularan Covid-19, sehingga mengurangi jumlah kasus infeksi dan pasien yang dirawat. Pencegahan penularan ini menuntut konsistensi pemerintah dalam mengendalikan pandemi Covid-19 serta partisipasi masyarakat mematuhi protokol kesehatan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mana yang Lebih Pas Menangani Limbah Medis: Pembakaran atau Autoklaf