Mana yang Lebih Pas Menangani Limbah Medis : Pembakaran atau Autoklaf?
Penanganan limbah medis B3 perlu mendapatkan perhatian, terlebih adanya potensi peningkatan jumlah limbah jenis ini di masa pandemi.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pandemi Covid-19 yang berlangsung secara maraton di Indonesia membuat limbah medis berpotensi menumpuk di fasilitas kesehatan. Metode penanganan limbah medis ini perlu mempertimbangkan aspek ramah lingkungan.
Di Rumah Sakit Pusat Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, Jakarta, limbah medis infeksius meningkat selama wabah. Berdasarkan dokumen yang dikirim Kepala Instalasi Kesehatan Lingkungan RSPI Sulianti Saroso, Eko Haryadi, Kamis (19/11/2020), ada 5.852 kg limbah medis setiap bulan, yang diolah melalui pembakaran atau insinerasi. Jumlah limbah medis padat itu meningkat lebih dari 100 persen dibanding sebelum pandemi Covid-19.
Dalam dokumen tersebut, rumah sakit terlebih dahulu memilah kategori limbah medis yang infeksius dan noninfeksius. Limbah medis infeksius dengan kategori bahan berbahaya beracun (B3) dalam bentuk padat dikemas dalam kantong plastik warna kuning. Sementara limbah medis cair dialirkan ke IPAL untuk selanjutnya diolah dengan sistem exetended aeration.
Limbah B3 medis yang sudah dikemas dibawa ke tempat penyimpanan sementara. Setelah dicatat, limbah tersebut disemprot dengan cairan disinfektan. Lalu, limbah dimasukkan ke insinerator untuk dibakar dalam waktu 2x24 jam. Residu pembakaran disimpan di tempat pembuangan sementara limbah B3. Durasi penyimpanan residu pembakaran paling lama 180 hari sebelum diangkut dan diolah oleh pihak ketiga, dalam hal ini PT PPLI.
Menurut Eko, insinerator milik RSPI Sulianti Saroso berstandar tinggi dan mengantongi izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Karena itu, warga tidak perlu mengkhawatirkan emisi pembakaran karena insinerator tidak mengeluarkan asap dan partikel.
Eko melanjutkan, penanganan limbah B3 padat dengan metode autoklaf memiliki kelemahan, yaitu tidak semua limbah B3 padat bisa masuk, seperti limbah pascaoperasi. "Limbah pascaoperasi, misalnya tulang, bagaimana? Kalau dibakar kan hancur semua. Saya sering berdebat juga soal ini (penguapan). Apakah (penguapan) bisa benar-benar membunuh kuman? Ini juga masih teka-teki," katanya.
Di tingkat puskesmas, limbah B3 dipilah lalu diserahkan ke pihak ketiga atau pengolah limbah B3.
Kepala Puskesmas Kebayoran Lama Jakarta Selatan, Rully Dewi Anggraeni menjelaskan, tim kesehatan lingkungan memisahkan sampah infeksius dan noninfeksius. "Setiap seminggu sekali, limbah B3 diambil oleh transporter lalu diserahkan ke pemusnah limbah B3 di Cilegon, Banten," jelasnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Kepala Puskesmas Tanah Abang, Jakarta Pusat, Ulfa Sari. Selain memilah limbah medis, tim kesehatan lingkungan juga meminta kepada seluruh tenaga kesehatan untuk merusak masker yang akan dibuang. Ini agar masker tersebut tak digunakan lagi.
Sukarelawan tenaga kesehatan di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet, Jakarta, Futri Dewi, menjelaskan, limbah medis menumpuk karena alat perlindungan diri (APD) kebanyakan hanya untuk sekali pakai.
"Masker dua lapis dan baju hazmat itu cuma sekali pakai. Kalau kacamata/pelindung wajah dan sepatu itu bisa dipakai lagi setelah disemprot dengan disinfektan," ujarnya.
Pencemaran lingkungan
Yuyun Yunia Ismawati, PhD candidate Medical Research - International Health LMU, Ludwig Maximilian University of Munich, menjelaskan, metode pembakaran limbah B3 berpotensi menimbulkan masalah baru, yakni pencemaran lingkungan.
Terlebih, di Indonesia belum ada pemantauan dioksin, partikel sangat lembut (ultrafine particles), dan logam berat yang berpotensi mencemari air, tanah, dan udara. Dioksin terkandung dalam abu yang terbang di udara, kerak sisa pembakaran, dan emisi dari insinerator.
Pemantauan dioksin tak dilakukan, katanya, karena Indonesia belum memiliki laboratorium yang bisa mengukurnya. Jika diukur di laboratorium luar negeri, biaya satu sampel dioksin mencapai 1.500 dollar AS atau lebih dari Rp 21 juta.
Selain itu, dia melanjutkan, pemilahan sumber limbah medis di rumah sakit belum diawasi secara ketat.
Merujuk pada Peraturan Menteri KLHK Nomor P.56 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan, sudah ada pengaturan warna kemasan wadah limbah B3.
Warna merah digunakan untuk limbah radioaktif, kuning untuk limbah infeksius dan patologis, ungu untuk limbah sitotoksik, dan cokelat untuk limbah bahan kimia kadaluwarsa; tumpahan atau sisa kemasan; dan limbah farmasi.
"Tetapi di lapangan, semua dibungkus warna kuning. Sampah berupa kardus dan botol air mineral pun tetap dimasukkan ke insinerator. Ditambah lagi, kualitas insinerator milik rumah sakit juga dipertanyakan. Coba saja evaluasi dari 117 rumah sakit yang memegang izin operasional pengolahan limbah B3, berapa yang insineratornya bena-benar berkualitas?" tanyanya.
Oleh sebab itu, dia lebih menyarankan metode autoklaf. Dia menjelaskan, autoklaf mengolah limbah medis menjadi steril dengan menggunakan uap panas, dicacah, dan akhirnya dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir. Di Indonesia, teknologi autoklaf sudah tersedia. Akan tetapi, perizinannya sangat rumit.
"Perizinan rumit karena belum ada standar baku mutu keluaran autoklaf yang diperkuat oleh Peraturan Menteri KLHK," ujar Yuyun.
Dia melanjutkan, pemerintah harus memberi kesempatan bagi teknologi lain selain pembakaran. Kalau semua limbah medis di rumah sakit atau fasilitas layanan kesehatan dibakar di tungku atau insinerator, risiko dioksin tersebar di udara kian besar. Sebab, banyak rumah sakit yang menggunakan bahan-bahan yang mengandung karena klorin, salah satu pemicu dioksin.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya dan Beracun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati di Jakarta, Jumat (13/11/2020), mengatakan, berdasarkan laporan dari 34 provinsi di seluruh Indonesia per 15 Oktober 2020 setidaknya terdapat 1.662,75 ton limbah medis terkait Covid-19. Volume limbah medis ini meningkat sekitar 30-50 persen dari tahun sebelumnya.
Berdasarkan data Kemenkes per Oktober 2020, hanya ada 117 rumah sakit yang mendapatkan izin operasional untuk pengelolaan limbah B3 dan 17 jasa pengelolaan limbah yang berizin. Dari fasilitas yang tersedia tersebut sebagian besar berada di Pulau Jawa.
"Untuk menambah fasilitas yang ada, pemerintah berencana untuk membangun fasilitas pengelolaan limbah B3 di lokasi lain, yakni di Aceh, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Diharapkan pada akhir 2020 fasilitas ini sudah selesai dibangun dan bisa dioperasikan,” kata Vivien (Kompas, 14/11/2020).