Darurat Ancaman Krisis Air Dunia
Risiko krisis air dapat menyebabkan bencana global yang memengaruhi berbagai sektor kehidupan. Perilaku hemat air dan menjaga ekosistem air diperlukan untuk mencegah ancaman krisis air di masa depan.

Sejumlah warga di Desa Manulea, Kecamatan Sasitamean, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, menggunakan air keruh di Kali Babeko untuk mandi dan mencuci, 21 Oktober 2020. Krisis air bersih sudah menjadi langganan di daerah itu.
Kelangkaan air diperkirakan semakin meluas di masa depan. Tekanan perubahan iklim, peningkatan populasi penduduk, dan keterbatasan sumber daya air menambah parah krisis air dunia. Sama seperti pemanasan global, setiap negara dan masyarakat dunia bertanggung jawab mencegah ancaman krisis air di masa depan.
Baru-baru ini dunia dikejutkan dengan sejumlah bencana yang dipicu perubahan iklim. Kebakaran hutan dan lahan melanda sejumlah wilayah di Yunani, Turki, Rusia, dan Amerika Serikat.
Bahkan, bencana ini juga terjadi di wilayah yang sebelumnya tidak pernah terjamah api, seperti Lingkar Arktik. Di bagian dunia lain, seperti Italia dan Kanada, gelombang panas melanda. Banjir juga tiba-tiba terjadi di Jerman, Belanda, Belgia, dan Swiss.
Sejumlah peristiwa ini menggugah perhatian dunia lantaran bukan kejadian biasa. Hal itu diperkuat laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) pada 9 Agustus 2021 yang menyatakan bahwa perubahan iklim sudah tidak terkendali. Selain bencana banjir, gelombang panas, kebakaran lahan dan hutan, IPCC juga memperingatkan kembali risiko krisis air sebagai akibat dari perubahan iklim.

Warga mengantre untuk mendapatkan air bersih yang disuplai PDAM Bandarmasih di Pulau Bromo, Kelurahan Mantuil, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan (30/9/2019). Setiap musim kemarau, warga yang tinggal di pesisir Sungai Martapura tersebut kesulitan air bersih akibat Sungai Martapura terintrusi air laut.
Dalam laporan tersebut disebutkan, perubahan iklim berdampak pada kelangkaan air. Dari sudut pandang lingkungan, kelangkaan tersebut karena kekeringan yang dipicu perubahan siklus air bumi. Ironisnya, di bagian dunia lain, perubahan siklus air ini menyebabkan intensitas hujan meningkat dan berpotensi meningkatkan risiko bencana banjir.
Kondisi bumi yang memburuk menambah parah krisis air yang telah terjadi selama bertahun-tahun. Berdasarkan data UN Water, saat ini saja 4 miliar orang atau dua pertiga penduduk dunia hidup dalam kekurangan air minimal dalam sebulan. Sementara 500 juta orang kekurangan air selama satu tahun. Permasalahan ini menjadi pembahasan utama di tingkat dunia. Sebab, hampir setiap negara, bahkan negara maju pun, mengalami krisis air.
Menurut laporan Forum Ekonomi Dunia (WEF), sejak 2012 hingga 2021, krisis air termasuk dalam lima besar risiko dunia yang patut diwaspadai. Padahal, sebelumnya, menurut data 2007-2011, krisis air tidak tergolong masalah utama. Perubahan tersebut menandakan krisis air sudah meluas dan banyak dirasakan sehingga menjadi salah satu problem sosial yang patut diwaspadai.
Disebut problem sosial karena permasalahan air menyangkut hidup mati manusia. Bahkan, krisis air manjadi penyebab konflik di 45 negara. Beberapa di antaranya hingga menyebabkan kekerasan dan penggunaan senjata.

Kelangkaan air
Krisis air tidak hanya disebabkan perubahan iklim. Secara alami, krisis air yang berkaitan dengan kelangkaan air dipicu pertambahan penduduk. Semakin banyak penduduk, kebutuhan air meningkat. Masalahnya, sumber daya air yang dapat kita gunakan sangat terbatas.
Dari total air di dunia, mayoritas (96,5 persen) adalah air laut. Sisanya adalah saline water (0,9 persen) dan air tawar (2,5 persen). Dari semua itu, hanya air tawar yang diperuntukkan untuk kegiatan manusia. Dari air tawar itu, hanya air permukaan (1,2 persen) dan air tanah (30,1 persen) yang dapat digunakan. Sisanya tersimpan dalam gletser dan bongkahan es (68,7 persen).
Dengan demikian, sumber daya air yang dapat digunakan sangat terbatas. Air tanah memang dapat digunakan, tetapi penggunaannya yang tidak terkontrol dapat menyebabkan penurunan muka air tanah. Air laut juga mulai dimanfaatkan melalui desalinasi, tetapi belum semua negara mampu mengolahnya.
Keberadaan sumber daya air juga bergantung pada kondisi geografis suatu lokasi. Bisa jadi suatu tempat berlimpah air, sementara di tempat lain sama sekali tidak ada sumber air.

Warga mengambil air bersih bantuan dari pemerintah yang disalurkan oleh BPBD Boyolali di Desa Kalinanas, Kecamatan Wonosegoro, Boyolali, Jawa Tengah (23/8/2019). BPBD setiap hari mengirim 15 truk tangki berisi air bersih ke daerah yang mengalami krisis air bersih.
Keterbatasan sumber daya air tersebut harus dihadapkan pada pertambahan penduduk bumi. Pada 2050, jumlah penduduk bumi diperkirakan bertambah menjadi 9,4 miliar sampai 10,2 miliar jiwa. Dengan pertambahan tersebut, kebutuhan air diperkirakan meningkat 20 persen dari 4.600 kilometer kubik menjadi 5.500 sampai 5.000 kilometer kubik.
Ketersediaan sumber daya air yang tidak seimbang dengan kebutuhan ditunjukkan melalui proyeksi kelangkaan air (water stress) oleh World Resource Institute (WRI). Proyeksi ini dihitung berdasarkan perbandingan pengambilan air dengan ketersediaan pasokan air permukaan dan air tanah. Semakin tinggi skor menandakan tingginya persaingan mendapatkan pasokan air.
Berdasarkan perhitungan itu, pada 2020 terdapat 49 negara yang menghadapi risiko kelangkaan air tinggi, yaitu dengan skor 3-5. Sementara pada 2040 jumlahnya bertambah menjadi 59 negara. Sembilan negara yang menghadapi risiko tertinggi pada 2020 adalah Bahrain, Kuwait, Qatar, San Marino, Singapura, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Israel, dan Oman.

Warga membagi air bersih ke jeriken-jeriken saat truk tangki mendistribusikan air bersih di kawasan Desa Sirnajati, Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat (22/8/2019). Kecamatan tersebut masuk kategori wilayah siaga darurat kekeringan.
Indonesia juga termasuk dalam negara yang menghadapi risiko kelangkaan air tinggi pada 2040. Dengan skor 3,26, Indonesia menempati peringkat ke-51 negara dengan kelangkaan air tertinggi.
Prediksi kelangkaan air di negara-negara tersebut tidak semata-mata karena faktor pertambahan populasi penduduk. Faktor kondisi alam pun memengaruhi keberadaan sumber daya air. Misalnya, wilayah Timur Tengah menerima curah hujan lebih sedikit dibandingkan wilayah lain.
Kondisi ini menyebabkan sumber daya air terbatas. Akan tetapi, dengan perekonomian yang tinggi, kondisi tersebut dapat diatasi dengan desalinasi dan mengimpor seluruh kebutuhan pangan agar menghemat penggunaan air di sektor pertanian.

Tanaman tembakau yang rusak diletakkan di atas pematang sawah di Desa Teruwai, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 30 Juni 2021. Kerusakan tanaman tembakau itu disebabkan oleh anomali cuaca berupa hujan dengan intensitas tinggi di musim kemarau yang melanda kawasan tersebut selama beberapa hari terakhir.
Bencana global
Terlepas dari segala teknologi, materi, dan upaya untuk mengatasi kelangkaan air, prediksi tersebut patut dijadikan peringatan. Melihat kondisi bumi saat ini, risiko krisis air dapat menyebabkan bencana global yang memengaruhi berbagai sektor kehidupan. Dampaknya dapat dilihat dari distribusi penggunaan air dunia selama ini.
Dalam kehidupan manusia sehari-hari, air digunakan untuk mencukupi kebutuhan domestik, seperti memasak, mandi, dan mencuci. Namun, penggunaan air untuk kebutuhan domestik hanya 12 persen dari total penggunaan air di dunia.
Sisanya, air digunakan untuk pertanian (69 persen) dan industri (19 persen). Keterbatasan air dalam sektor pertanian dan industri dapat menyebabkan krisis pangan dan gangguan pada sektor industri, perdagangan, dan ekonomi hingga tingkat global. Hal ini tergambarkan dari konsep perdagangan air virtual (virtual water trade).

Kondisi debit air di Bendungan Raknamo, Kabupaten Kupang, NTT, terlihat penuh, 8 Juli 2021. Bendungan yang diresmikan Presiden Joko Widodo itu memberi manfaat bagi irigasi petani, mencegah banjir, dan menjadi cadangan air bersih bagi warga setempat.
Konsep air virtual yang dikenalkan oleh Tony Allan pada 1990-an ini menjelaskan banyaknya air yang dibutuhkan dalam proses produksi industri dan pertanian. Sebagai contoh, untuk menghasilkan 1 kilogram daging ayam dibutuhkan air sebanyak 3.900 liter. Untuk menghasilkan 1 kilogram keju, dibutuhkan 5.000 liter air.
Maka, jika suatu negara mengekspor produk yang membutuhkan air dalam proses produksinya, berarti negara tersebut mengekspor air dalam bentuk maya. Dengan demikian, perdagangan global juga terkait dengan sistem air dunia.
Melansir artikel ahli klimatologi Dodo Gunawan di Kompas (14/10/2003), jika dilihat dari perdagangan air virtual, sebanyak 15 persen air di dunia digunakan untuk memenuhi kebutuhan luar negeri di belahan benua lain. Artinya, jika terjadi gangguan pada sistem air regional, pasokan kebutuhan yang dihasilkan dari 15 persen air dunia tersebut ikut terganggu.

Bendungan Samboja, Kutai Kartanegara, digunakan untuk memenuhi kebutuhan air baku dan irigrasi di Kutai Kartangera, Kalimantan Timur, 19 Desember 2019. Volume air mencapai 5,09 juta meter kubik dengan debit 1.167 liter per detik. Bendungan juga akan dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan air baku di calon ibu kota baru.
Sama seperti pemanasan global dan perubahan iklim, setiap negara, kota, dan manusia turut bertanggung jawab terhadap sistem air global. Aktivitas dan kebijakan yang tidak memihak pada keberlanjutan sumber daya air tidak hanya berdampak pada suatu wilayah atau negara saja, tetapi juga dunia. Karena itu, dibutuhkan komitmen dan sinergi antarnegara untuk mencegah bencana kelangkaan air yang semakin parah di masa depan.
Hal ini perlu diterapkan dalam setiap sektor kehidupan manusia. Di sektor domestik, dapat dilakukan upaya menghemat penggunaan air, memperluas tangkapan air melalui biopori atau wadah lain, dan memanen air hujan (rain harvesting). Manajemen dan penyaluran air bersih juga perlu dioptimalkan agar pengambilan sumber air, seperti air tanah, terkontrol.
Baca juga : Jalan Panjang Penyediaan Akses Air Bersih
Di sektor pertanian dan industri, penggunaan air dilakukan secara efisien dan berkelanjutan. Upaya ini dapat dilakukan, misalnya, dengan menggunakan bibit dengan kebutuhan air sedikit, menggunakan teknologi ramah lingkungan, mengatur sistem irigrasi, dan melakukan daur ulang air. Menerapkan perilaku hemat air dan menjaga ekosistem air diperlukan untuk mencegah ancaman krisis air di masa depan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Ancaman Kerusakan Lingkungan dari Industri ”Fast Fashion”