Harapan dan Kehati-hatian di Balik Pertumbuhan Ekonomi Triwulan I-2021
Pertumbuhan ekonomi tinggi yang tengah terjadi belum menggambarkan ekonomi yang benar-benar pulih. Tingkat inflasi yang rendah dan keyakinan konsumen yang menurun menjadi tantangan menjaga terus tumbuhnya perekonomian.
Pertumbuhan ekonomi triwulan II 2021 yang membawa Indonesia keluar dari resesi memunculkan harapan membaiknya kondisi perekonomian nasional akibat dampak pandemi Covid-19. Meski demikian, sejumlah indikator perekonomian masih menunjukkan perlu adanya kehati-hatian untuk menjaga pertumbuhan ekonomi periode berikutnya.
Munculnya harapan di tengah pandemi ditunjukkan saat Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi triwulan II-2021. Dalam rilis itu BPS menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia tumbuh 7,07 persen jika dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun lalu.
Laju pertumbuhan tersebut layak disebut sebagai harapan lantaran selama empat triwulan sebelumnya pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi akibat pandemi Covid-19. Dengan kata lain, Indonesia kini berhasil keluar dari resesi yang dialami setidaknya selama satu tahun terakhir.
Capaian tersebut juga sesuai dengan prediksi pemerintah, yakni pertumbuhan Indonesia mampu menyentuh level 7 persen. Pertumbuhan tinggi tersebut seiring dengan perbaikan perekonomian pada bulan April dan Mei 2021 bersamaan dengan perayaan Idul Fitri.
Momentum tersebut turut mendorong peningkatan kinerja sektor industri pengolahan yang ditunjukkan melalui nilai prompt manufacturing index Bank Indonesia (PMI-BI) sebesar 51,45 persen pada triwulan II 2021. Nilai tersebut menunjukkan bahwa aktivitas perekonomian kembali menunjukkan penguatan.
Tak hanya dari dalam negeri, permintaan dari luar negeri pun meningkat. Hal itu tecermin dari ekspor Indonesia yang meningkat 55,89 persen pada triwulan II-2021 (year-on-year) atau 10,36 persen dibandingkan triwulan sebelumnya.
Peningkatan tersebut tak lepas dari kembali bangkitnya perekonomian sejumlah mitra dagang Indonesia, seperti Singapura (14,3 persen), Amerika Serikat (12,2), dan China (7,9).
Pada akhirnya, seluruh rangkaian tersebut mampu membuat pertumbuhan ekonomi triwulan II-2021 menjadi yang tertinggi sejak triwulan IV-tahun 2004, yakni 7,16 persen.
Low base effect
Laju pertumbuhan tinggi saat ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi triwulan II-2020 sebagai dasar perbandingan sangat rendah. Saat itu pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi terdalam, yakni minus 5,32 persen. Alhasil, tercapai pertumbuhan 7,07 persen pada triwulan II tahun ini. Secara teori, hal tersebut biasa disebut dengan low base effect.
Hal itu kemudian memunculkan pertanyaan, apakah ekonomi sudah benar-benar tumbuh? Tak hanya di Tanah Air, pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena adanya low base effect juga pernah terjadi di China.
Pada triwulan I-2021, ekonomi ”negeri panda” itu tumbuh pesat sebesar 18,3 persen secara tahunan. Mesi demikian, dasar pertumbuhan tahun sebelumnya sangat rendah.
Merujuk laporan Bappenas tentang Perkembangan Ekonomi Indonesia dan Dunia, ekonomi China pada triwulan I-2020 terkontraksi minus 6,8 persen, juga sebagai dampak adanya pandemi. Begitu pula dengan Inggris. PDB bulanan pada April 2021 diperkirakan tumbuh 27,6 persen setelah terkontraksi minus 20,4 persen pada April 2020.
Grant Fitzner, Kepala Ekonom Kantor Statistik Nasional Inggris, menyatakan perlunya kehati-hatian terhadap efek dasar tersebut. Fitzner juga mengatakan, untuk menghindari jebakan tersebut dan melihat kondisi ekonomi sebenarnya, dapat dilakukan dengan melihat pergerakan selama beberapa bulan terakhir dan membandingkannya tiga bulan terakhir dengan triwulan sebelumnya. Cara lainnya adalah membandingkannya dengan aktivitas ekonomi sebelum pandemi.
Di Indonesia, pertumbuhan ekonomi triwulan II secara triwulanan juga tumbuh positif, yakni sebesar 3,31 persen.Meski demikian, jika ditelusuri ke belakang, besarannya masih di bawah rata-rata pertumbuhan triwulanan pada triwulan II tahun sebelumnya.
Tahun 2018, misalnya, pertumbuhan ekonomi triwulan I terkontraksi minus 0,41 persen secara triwulanan (quarter-to-quarter), tetapi kemudian tumbuh positif pada triwulan II menjadi 4,21.
Begitu pula tahun berikutnya, ekonomi tumbuh minus 0,52 persen pada triwulan I-2019 dan tumbuh positif 4,20 persen triwulan berikutnya. Pertumbuhan positif pada triwulan II itu pun tak lepas dari momentum Ramadhan dan Idul Fitri, ditambah dengan adanya musim panen raya.
Hal tersebut membuktikan bahwa perekonomian Tanah Air saat ini sudah mulai menuju perbaikan. Mengikuti pola tahun-tahun sebelumnya, pertumbuhan ekonomi triwulan II selalu relatif lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Meski demikian, pertumbuhannya belum sebaik saat situasi normal.
Inflasi rendah
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi tinggi yang tengah terjadi juga belum menggambarkan ekonomi yang benar-benar pulih. Salah satu indikatornya tampak dari tingkat inflasi yang rendah.
Tingkat inflasi secara umum pada Juni 2021 jauh dari target yang ditetapkan, yakni hanya 1,33 persen (year-on-year). Padahal, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 124/PMK.010/2017 tanggal 18 September 2017, target inflasi pada 2021 ditetapkan 3 persen dengan deviasi 1 persen. Artinya, tingkat inflasi idealnya berada di kisaran 2-4 persen. Tingkat inflasi tersebut juga menjadi yang terendah setelah Agustus 2020 (1,32 persen).
Capaian inflasi di bawah target itu telah berlangsung selama satu tahun. Sejak Juni tahun lalu, tingkat inflasi umum sudah berada di bawah level 2 persen, yakni hanya mencapai 1,96 persen. Padahal, bulan-bulan sebelumnya inflasi selalu berada di antara 2 hingga 4 persen.
Bahkan, sepanjang tahun 2020, tingkat inflasi hanya mendapat 1,68 persen dan menjadi inflasi terendah setidaknya dalam satu dekade terakhir. Tak hanya itu, inflasi tahun 2020 kembali meleset dari target setelah lima tahun sebelumnya berada di kisaran target yang ditetapkan.
Tingkat inflasi yang rendah memang sebenarnya menjadi sasaran. Namun, inflasi rendah yang tengah terjadi bukan karena terkendalinya tingkat harga, melainkan karena permintaan yang menurun akibat pandemi dan berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat.
Kondisi tersebut tecermin dari minimnya tingkat inflasi inti. Inflasi inti adalah komponen inflasi yang pergerakannya cenderung tetap. Merujuk data Bank Indonesia, inflasi inti pada Juni 2021 sebesar 0,14 persen, lebih rendah dari Mei 2021 yang sebesar 0,24 persen.
Meski tingkat inflasi bulan Juli secara tahunan lebih besar dari Mei, yakni 1,49 persen, besarannya masih berada di bawah target yang ditetapkan pemerintah. Inflasi inti tersebut mencerminkan daya beli dan ekspektasi masyarakat.
Tingkat inflasi menjadi salah satu indikator penting karena inflasi menggambarkan tentang daya beli masyarakat. Jika inflasi yang mencerminkan lemahnya daya beli masyarakat terlalu rendah, akan berdampak pada melemahnya pergerakan roda perekonomian. Sebab, masyarakat selaku komponen rumah tangga menjadi kontributor terbesar PDB nasional.
Tantangan berikutnya
Tumbuhnya ekonomi nasional menjadi harapan pemulihan dari krisis pandemi. Meski demikian, seperti yang terjadi saat ini, proyeksi tersebut didasarkan pada pertumbuhan yang rendah di tahun sebelumnya.
Jika dilihat secara triwulanan, pertumbuhan positif saat ini menjadi tantangan untuk capaian triwulan yang akan datang karena dasar perhitungannya tumbuh positif. Padahal, triwulan III mendatang masih diawali dengan tingkat inflasi yang masih jauh dari target, yakni hanya 1,40 persen, bahkan lebih rendah dari Juni 2021.
Di lain sisi, pertumbuhan ekonomi tersebut juga dibayangi turunnya optimisme konsumen. Tingkat keyakinan konsumen pada Juli 2021 kembali pada area pesimis (80,2) setelah menunjukkan optimisme sepanjang April hingga Juni 2021. Pesimisme itu tampak pada situasi saat ini maupun ekspektasi di masa yang akan datang dari semua kelompok sosial ekonomi, terutama oleh kelompok sosial ekonomi terendah.
Turunnya keyakinan masyarakat akan kondisi ekonomi tak lepas dari adanya kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat yang masih berlangsung, setidaknya hingga 16 Agustus 2021. Pelonggaran yang diberikan, seperti dibukanya kembali pusat perbelanjaan di sejumlah daerah, juga belum tentu mengungkit perekonomian dengan sangat cepat.
Jika tidak dibarengi dengan kedisiplinan yang tinggi akan protokol kesehatan, justru berpotensi memperluas penyebaran virus korona. Lonjakan virus korona pasti akan diikuti kebijakan pembatasan aktivitas warga dan usaha. Jika berlangsung terus-menerus, bukan tidak mungkin akan diikuti dengan semakin panjangnya pembatasan aktivitas masyarakat, yang lagi-lagi dapat menurunkan kinerja ekonomi.
Di luar turunnya keyakinan konsumen, kewaspadaan juga harus diberikan dari munculnya kasus baru Covid-19 di negara mitra dagang. China sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia juga kembali mencatatkan kasus baru Covid-19.
Baca juga: Membaca Optimisme Konsumsi pada Masa Pandemi
Pada 9 Agustus 2021, terdapat 181 kasus baru Covid-19 di China. Kasus baru tersebut merupakan yang tertinggi sejak infeksi Covid-19 kembali meningkat di China pada 20 Juli 2021. Situasi tersebut menuntut penguatan ekonomi domestik sebagai antisipasi masih belum stabilnya situasi global.
Pengawasan dan pemberian jaring pengaman sosial yang tepat sasaran menjadi penting agar ratusan triliun dana yang dikucurkan untuk pemulihan efektif membangkitkan ekonomi dan mengembalikan optimisme masyarakat. Percepatan vaksinasi juga menjadi keharusan untuk mengurangi risiko gelombang pandemi yang baru. Langkah-langkah inilah yang pada akhirnya akan memperbesar harapan terus tumbuhnya perekonomian nasional. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Tantangan Mengentaskan Penduduk Miskin di Tengah Krisis