Tantangan Mengentaskan Penduduk Miskin di Tengah Krisis
Ketepatan alokasi anggaran Negara menjadi salah satu kunci agar kemiskinan dapat ditekan. Namun, dalam pelaksanaannya, program dan alokasi anggaran tersebut juga membutuhkan pengawasan yang optimal.
Oleh
Agustina Purwanti
·6 menit baca
Peningkatan angka kemiskinan di saat kondisi ekonomi nasional sedang tertekan akibat sebuah krisis memang sulit dihindari. Namun dengan ketepatan pilihan kebijakan dan alokasi anggaran negara, maka akan menjadi langkah strategis yang mencegah agar penduduk miskisn dan rentan miskin tidak terpuruk semakin dalam.
Kemiskinan masih menjadi persoalan laten yang harus dihadapi negara berkembang seperti Indonesia. Lima dekade yang lalu (1970), jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 70 juta jiwa. Jumlah tersebut hampir dua per tiga dari total penduduk yang ada saat itu. Kondisi itu membuat Indonesia masuk dalam daftar negara termiskin di kawasan Asia.
Seiring pertumbuhan ekonomi yang kian membaik dan berbagai kebijakan pengentasan kemiskinan dijalankan, jumlah orang miskin turut mengalami penurunan. Penduduk miskin yang dimaksud adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan.
Satu dekade berselang, jumlah penduduk miskin turun menjadi 42 juta jiwa (1980). Jumlah itu setara dengan 28 persen dari total penduduk. Pertumbuhan ekonomi yang mendorong turunnya angka kemiskinan tersebut tak lepas dari komoditas minyak yang kala itu menjadi kekuatan ekonomi Indonesia. Penguasaan minyak di tengah tingginya harga minyak membuat ekonomi kian melejit.
Angka kemiskinan pun semakin berkurang dari masa ke masa. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, hingga tahun 1993 terdapat 25 juta jiwa penduduk miskin yang ada di Tanah Air. Artinya, terjadi penurunan kemiskinan lebih kurang 63 persen dalam waktu hampir seperempat abad.
Namun demikian, pencapaian tersebut ibarat hilang dalam waktu semalam saat krisis finansial melanda Indonesia. Untuk pertama kalinya, angka kemiskinan meningkat secara drastis, setelah konsisten menurun di tahun-tahun sebelumnya.
Gejolak nilai mata uang yang memicu krisis ekonomi terjadi di beberapa negara di Asia pada 1997. Arus modal asing di sejumlah negara Asia berlarian, disusul dengan makin kuatnya nilai tukar dollar AS.
Akibatnya, nilai tukar Indonesia kian tergerus dan perekonomian terpuruk. Kurs rupiah terhadap dollar AS mengalami depresiasi dari Rp 2.447 pada Juni 1997 hingga menyentuh Rp 14.700 pada Juli 1998. Depresiasi rupiah dan peningkatan suku bunga menyebabkan sejumlah besar perusahaan tak sanggup membayar utang dan kredit.
Perekonomian nasional yang tertekan hebat membuat banyak perusahaan menghentikan aktivitas sehingga jumlah pengangguran bertambah dan meningkatkan angka kemiskinan. Masih merujuk data BPS, jumlah penduduk miskin Indonesia tahun 1998 naik menjadi 49,50 juta jiwa atau sekitar 24,20 persen dari populasi.
Dengan kata lain, dalam waktu lima tahun jumlah penduduk miskin naik hampir dua kali lipat. Kondisi tersebut seakan mengalami kemunduran ke dua dekade sebelumnya.
Alokasi anggaran
Merespon tekanan krisis ekonomi tersebut, pemerintah menyusun sejumlah program dan kebijakan agar jurang kemiskinan tidak semakin dalam. Program dan kebijakan yang dihadirkan tidak lepas dari realokasi anggaran belanja pemerintah.
Merujuk Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 1998/1999, terdapat sejumlah penyempurnaan anggaran. Alokasi anggaran untuk proyek-proyek khusus (specific grant) dialihkan untuk bantuan umum (block grant).
Dua di antara proyek khusus tersebut adalah program pembangunan jalan dan pemugaran pasar. Dana kedua program tersebut diintegrasikan untuk membentuk program-program baru agar kondisi kelompok rentan miskin tidak kian terpuruk.
Beberapa program bantuan baru, yang kala itu dikenal dengan inpres, adalah bantuan untuk desa tertinggal dan program perluasan jaring pengaman sosial. Keduanya dibentuk dalam rangka mempercepat pengentasan kemiskinan.
Anggaran untuk sejumlah bidang di tahun berikutnya pun meningkat, dan diperuntukkan bagi upaya pengentasan kemiskinan. Bidang kesejahteraan sosial menjadi salah bidang dengan peningkatan terbesar untuk tahun 1999/2000.
Alokasi anggarannya sebesar Rp 4.786,9 miliar, naik 13,8 persen dari tahun sebelumnya. Salah satu fokus anggarannya adalah untuk meningkatkan efektivitas pelayanan sosial, salah satunya untuk 42.100 keluarga miskin.
Dua bidang lainnya adalah Pendidikan serta Bidang Kependudukan dan Keluarga Sejahtera. Meski peningkatan anggaran tidak signifikan, namun alokasi anggaranya juga difokuskan untuk penanggulangan kemiskinan.
Pertanian dan kehutanan menjadi salah satu bidang yang turut andil dalam upaya mendukung jaring pengaman sosial. Meski angkarannya justru mengalami penurunan, namun dialokasikan untuk pemberdayaan ekonomi rakyat dan menjaga ketahanan pangan rakyat.
Tekanan pandemi
Beragam upaya tersebut berhasil membawa Indonesia perlahan keluar dari jurang kemiskinan saat krisis ekonomi. Tahun 2001, jumlah orang miskin berkurang menjadi 37 juta orang atau turun 12 juta jiwa dibandingkan saat 1998.
Berbagai program jaring pengaman sosial masih terus diluncurkan agar kemiskinan terus berkurang. Tahun 2007 pemerintah mengeluarkan Program Keluarga Harapan (PKH), disusul dengan program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Kelompok Usaha Bersama (KUBE), dan sejumlah program lainnya.
Sejalan dengan itu, tren penurunan penduduk miskin juga dicapai Indonesia. Pada 2010, jumlah penduduk miskin Indonesia menjadi 31,02 juta jiwa, atau sekitar 13,33 persen dari populasi. Kondisi tersebut menggambarkan pencapaian program pembangunan, yaitu berhasil kembali ke situasi sebelum krisis.
Hingga 2018, untuk pertama kalinya persentase kemiskinan di Indonesia berada di bawah angka 10 persen, yakni 9,66 persen. Jumlah penduduk yang masuk kategori miskin sebanyak 25,67 juta jiwa. Angkanya terus turun di tahun berikutnya menjadi 24,78 juta jiwa (9,22 persen).
Namun demikian, stabilitas ekonomi kembali terganggu saat pandemi Covid-19 melanda dunia, termasuk Indonesia. Penanganan kemiskinan kembali diperhadapkan pada sejumlah tantangan di tengah perlambatan ekonomi, penurunan daya beli, dan lonjakan pengangguran.
Data terakhir yang dirilis BPS menunjukkan, jumlah penduduk miskin Indonesia pada September 2020 kembali naik menjadi 27,55 juta jiwa (10,19 persen). Peningkatan tersebut merupakan dampak dari terkontraksinya pertumbuhan ekonomi sebesar minus 3,49 persen pada triwulan III. Pengeluaran konsumsi rumah tangga pun terkontaksi sebesar minus 4,04 persen.
Sebagaimana kondisi di masa krisis ekonomi 1997/1998, pemerintah kemudian membongkar pasang anggaran Negara demi menghindari jurang kemiskinan yang lebih parah. Pada Juni 2020, Presiden Joko Widodo menandatangai Perpres Nomor 72 Tahun 2020 terkait perubahan postur APBN 2020.
Anggaran program perlindungan sosial dan pengentasan kemiskinan yang disusun setiap tahunnya diubah, porsinya dinaikkan di tahun 2020. Sebelumnya, besaran anggaran untuk keperluan tersebut sebesar Rp 387,7 triliun, ditambah menjadi Rp Rp 495 triliun.
Anggaran tersebut dialokasikan untuk sejumlah program seperti di bidang pendidikan (PIP), Kesehatan (KIS), PKH, KUBE, dan sejumlah program jaring pengaman sosial lainnya. Anggaran tersebut masih disusun untuk tahun ini, meski nilainya lebih kecil dari tahun lalu, yakni Rp 419,3 triliun.
Mencermati pengalaman sebelumnya dalam mengatasi krisis dan mempertimbangkan kondisi terkini akibat dampak pandemi Covid-19, ketepatan alokasi anggaran menjadi salah satu kunci agar kemiskinan dapat ditekan.
Tentu saja di semua sektor dan bidang membutuhkan anggaran untuk mengakselerasi pembangunan. Namun demikian, pembobotannya harus disesuaikan dengan situasi ekonomi. Kondisi kemiskinan yang meningkat di saat krisis membutuhkan dukungan prioritas alokasi anggaran.
Inilah tantangan yang dihadapi oleh pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan di tengah krisis ekonomi. Agaknya tidak berlebihan jika porsi anggaran untuk pengentasan kemiskinan dipertahankan, bahkan ditingkatkan. Pasalnya, kelompok ekonomi rendah rentan masuk jurang kemiskinan saat ekonomi tertekan.
Dalam pelaksanaannya, program dan alokasi anggaran tersebut membutuhkan pengawasan yang optimal. Ini harus dilakukan agar hak-hak kaum miskin tidak disalahgunakan dan tingkat kemiskinan dapat lebih cepat berkurang. (LITBANG KOMPAS)