Menyoal Jabatan Politis Komisaris BUMN
Nuansa politis dalam penunjukan komisaris memperjelas anggapan banyak pihak bahwa tata kelola perusahaan negara masih tak lepas dari unsur politik.
Polemik pengangkatan jabatan komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terus berulang. Nuansa politis dalam penunjukan komisaris memperjelas anggapan banyak pihak bahwa tata kelola perusahaan negara masih tak lepas dari unsur politik.
Anggapan itu semakin menguat dengan berita termutakhir pengangkatan Izedrik Emir Moeis sebagai komisaris di PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), yang merupakan anak perusahaan PT Pupuk Indonesia (Persero).
Emir Moeis yang juga mantan bendahara PDIP itu, dinilai tak layak menduduki jabatan tersebut karena dikaitkan rekam jejaknya sebagai mantan terpidana kasus korupsi tahun 2014 lalu.
Emir terbukti menerima suap USD 357 ribu dari PT Alstom Power Incorporated Amerika Serikat dan Marubeni Incorporated Jepang dalam proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap 1.000 watt di Tarahan, Lampung tahun 2004. Hakim memvonis empat tahun enam bulan penjara dan denda Rp 200 juta kepada Emir Moeis.
Meskipun baru diperbincangkan akhir-akhir ini, berdasarkan keterangan pada laman resmi PT PIM, Emir Moeis telah diangkat sebagai komisaris sejak Februari 2021 lalu. Sorotan juga mengarah pada belum disampaikannya Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) hingga enam bulan masa jabatan sebagai komisaris.
Pemberian ruang jabatan kepada eks koruptor, menurut Indonesian Corruption Watch (ICW) adalah pukulan berat bagi pemberantasan korupsi. Hal tersebut jauh dari semangat untuk menghadirkan tata kelola yang berintegritas dan bersih di lingkungan BUMN.
ICW bahkan mendesak Kementerian BUMN untuk membatalkan keputusan pengangkatan Emir Moeis sebagai komisaris. Sebagai bagian dari jabatan publik, Komisaris di BUMN memang harus diisi oleh sosok yang berkapasitas dan berpengalaman, serta sekaligus berintegritas.
Baca juga : Tata Kembali Regulasi Pengangkatan Komisaris BUMN
Jabatan politis
Sebelumnya, perihal jabatan komisaris BUMN juga banyak disoroti publik karena dianggap hanya sebagai tempat untuk bagi-bagi jabatan ketimbang bertujuan untuk memajukan perusahaan negara.
Masih segar dalam ingatan, pada Maret 2021 lalu Kementerian BUMN secara resmi menunjuk Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj sebagai Komisaris Utama merangkap Komisaris Independen PT Kereta Api Indonesia (KAI). Posisi Komisaris Utama sebelumnya dijabat oleh mantan Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal.
Pengangkatan Said Aqil untuk mengisi posisi komisaris PT KAI dinilai banyak pihak tak cukup tepat karena latar belakang dan debut profesional yang tak sejalan dengan bidang perusahaan yang harus digeluti.
Beberapa bulan setelahnya, kontroversi serupa juga berulang dengan ditunjuknya gitaris grup musik Slank, Abdi Negara Nurdin sebagai Komisaris Independen PT Telkom Indonesia.
Baik dalam pengangkatan KH Said Aqil Siradj maupun Abdi Negara sebagai komisaris di perusahaan negara, sulit untuk tidak mengkaitkannya dalam afiliasi kepentingan politis untuk saling menguntungkan. Bukan rahasia lagi, keduanya adalah representasi dari basis pendukung presiden terpilih.
Persoalan lain yang juga tak kalah serius dalam pengangkatan para komisaris tersebut terkait dengan status rangkap jabatan. Tak main-main jumlahnya, lembaga Ombudsman RI mencatat ada sekitar 564 rangkap jabatan komisaris yang melibatkan perusahaan negara dengan berbagai instansi lainnya.
Pertengahan 2021 lalu, pengangkatan Rektor Universitas Indonesia (UI), Ari Kuncoro sebagai wakil komisaris Bank Rakyat Indonesia (BRI) juga mendapat kritikan masyarakat.
Kali ini kekecewaan publik memang begitu jelas karena Ari yang masih berstatus sebagai Rektor UI juga mengemban amanah sebagai wakil komisaris perusahaan BUMN.
Di tengah ramainya penolakan dan kritik, pemerintah justru merespon dengan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) tentang Statuta Universitas Indonesia (UI) dari PP No.68/2012 diubah menjadi PP 75/2021.
Hal itu dilakukan salah satunya untuk mengubah poin terkait larangan rangkap jabatan bagi rektor dan wakil rektor. Perubahan itu menjadi restu bagi Ari untuk merangkap dua jabatan sekaligus sebagai rektor dan wakil komisaris.
Namun, untuk mengakhiri polemik berkepanjangan pada akhirnya Rektor UI memilih mundur dari jabatan di BUMN tersebut.
Secara tertulis, larangan rangkap jabatan untuk Dewan Komisaris BUMN tertuang pada Peraturan Menteri (Permen) BUMN RI No. PER-10/MBU/10/2020. Meskipun demikian, adanya rangkap jabatan sebagai anggota dewan komisaris pada perusahaan BUMN masih dimungkinkan dengan sejumlah ketentuan yang mengacu pada peraturan perundang-undangan sektoral.
Sejumlah pengamat sempat mendesak poin aturan ini untuk dihilangkan karena tetap dapat menjadi celah bagi praktek pengangkatan komisaris yang rangkap jabatan.
Baca juga : Rangkap Jabatan Berisiko Konflik Kepentingan
Tata kelola
Posisi komisaris ataupun petinggi di perusahaan pelat merah memang bisa dikatakan sebagai tempat yang paling aman untuk berbagi posisi jabatan karena jumlah perusahaan yang begitu banyak.
Dalam keterangannya tahun 2020 lalu, pemerintah memetakan setidaknya ada hampir seribu perusahaan yang terdiri dari 142 BUMN beserta tidak kurang dari 800 anak cucu usahanya.
Jika salah satu atau dua direksi dan komisaris merupakan “jatah” pemerintahan yang berkuasa, maka ada ribuan posisi jabatan yang bisa diisi. Sulit dimungkiri bahwa praktik semacam ini merupakan hal yang sudah berlangsung sejak lama.
Tak hanya terkait soal imbal jasa politik bagi pendukung, namun sesungguhnya juga merupakan cara kepanjangan tangan agar kebijakan pemerintah yang berkuasa lebih terjamin.
Terkait pengangkatan jabatan komisaris maupun elit perusahaan negara tersebut, politisi PDIP Adian Napitupulu pernah menyampaikan kritik sebagai lanjutan dari penyampaian surat terbuka kepada Menteri BUMN menyoal kasus pengelolaan Garuda Indonesia.
Adian mengamini bahwa jabatan komisaris BUMN memang menjadi titipan karena tidak pernah dibuka dalam proses lelang secara umum.
Karena tidak ada proses yang terbuka dan transparan, wajar saja jika pada prakteknya jabatan-jabatan elit di perseroan akan diisi oleh orang-orang dalam lingkaran kekuasaan.
Berbagai polemik pengangkatan jabatan komisaris atau direksi di rumpun BUMN baru sebagian kecil dari banyaknya jatah jabatan yang diperuntukkan bagi mereka yang berasal dari kalangan relawan, politisi partai, atau pun instansi lainnya pendukung pemerintahan.
Dalam mekanisme pengangkatan komisaris yang diatur dalam UU No.19/2003 tentang BUMN, dijelaskan dalam pasal 27 bahwa pengangkatan dan pemberhentian komisaris dilakukan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan ditetapkan oleh menteri.
Pada ketentuan ini juga tidak disebutkan bahwa penunjukan elit perusahaan ini harus melalui mekanisme lelang atau seleksi terbuka secara umum.
Lebih lanjut dalam pasal 28 peraturan tersebut dijelaskan bahwa persyaratan yang harus dipenuhi oleh anggota komisaris untuk diangkat dengan pertimbangan integritas, dedikasi, kemampuan manajemen hingga pengetahuan pada bidang usaha terkait.
Jika dilihat dari prasyarat yang harus dipenuhi seseorang yang akan menduduki jabatan komisaris itu, banjir kritik publik yang menghampiri pengangkatan sejumlah nama-nama memang cukup berdasar.
Merujuk Peraturan Menteri BUMN No. Per-10/MBU/10/2020, Dewan Komisaris adalah organ perusahaan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.
Amanah dan beban tugas komisaris untuk memberikan pendapat, analisa terkait pengelolaan dan penyelesaian masalah untuk sebuah badan usaha memang harus dilakukan dengan tepat.
Kritik-kritik yang mengalir tak ubahnya wujud dari harapan besar publik untuk terwujudnya good corporate governonce di tubuh BUMN.
Perusahaan negara sejatinya bukan lagi hanya sekadar tempat untuk berbagai jatah jabatan, tapi dapat dikelola dengan penuh integritas dan tumbuh menjadi perseroan yang berkualitas demi kemajuan negara dan bangsa. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Kegaduhan Rangkap Jabatan