Menyiapkan Skenario Terbaik Sekolah Tatap Muka Saat PPKM
Varian virus korona yang lebih infeksius perlu dipahami oleh pengelola sekolah dan orangtua/wali murid. Tidak ada yang dapat menjamin keselamatan anak-anak dan tenaga pendidik dari paparan virus yang mematikan ini.
Kebijakan sekolah tatap muka harus terus dievaluasi di tengah situasi pandemi yang masih tidak menentu saat ini. Ratusan anak tercatat meninggal karena infeksi Covid-19, sementara sarana sekolah dan vaksinasi tenaga pendidik masih belum memadai.
Bulan Juli 2021 merupakan awal tahun ajaran baru bagi sekolah-sekolah di Tanah Air. Namun, tidak mudah menentukan kebijakan sekolah tatap muka di saat lonjakan kasus belum terkendali. Tahun ajaran baru saat ini dilakukan di masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Kebijakan PPKM mulai diberlakukan sejak 11 Januari 2021. Karena kondisi penularan virus korona makin meluas, pemerintah menerapkan kebijakan lebih ketat di wilayah Jawa dan Bali. Mulai 3 Juli 2021 diberlakukan PPKM darurat Jawa-Bali dengan target menurunkan jumlah kasus harian menjadi kurang dari 10.000 kasus. Kebijakan ini kemudian diperluas di sejumlah wilayah di luar Jawa-Bali.
Walau sudah menunjukkan tren perbaikan dari aspek laju penambahan kasus, tingkat keterisian tempat tidur di rumah sakit, dan positivity rate, tetapi penularan Covid-19 masih tetap terus diwaspadai. Saat memperpanjang kebijakan PPKM level 4 pada 26 Juli 2021, terdapat 28.228 penambahan kasus baru dan 560.275 kasus aktif di Indonesia. Karena itu, pemerintah masih melanjutkan kebijakan penerapan PPKM level 4 hingga 9 Agustus 2021.
Rangkaian kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat tersebut memberikan gambaran masih terjadinya lonjakan penularan virus korona di Indonesia. Virus korona yang masih masif menular membutuhkan kebijakan pengetatan mobilitas masyarakat di sejumlah sektor, termasuk pendidikan. Mengingat kondisi ini, wacana pembukaan sekolah di tahun ajaran baru saat ini, harus tetap memperhatikan faktor risiko penularan, sekalipun di wilayah yang sudah berada di zona hijau atau kuning.
Faktor risiko yang wajib diperhatikan dalam pembukaan sekolah setidaknya meliputi empat aspek, yaitu potensi pelanggaran disiplin kesehatan, jumlah kasus kematian anak akibat Covid-19, ketersediaan sarana protokol kesehatan sekolah, serta capaian vaksinasi bagi tenaga pendidik.
Risiko anak makin besar saat banyak satuan pendidikan yang ternyata melanggar protokol kesehatan atau menyelenggarakan sekolah tatap muka meskipun berada di zona merah atau PPKM level 4. Data laporan warga yang dihimpun LaporCovid-19 selama Juli 2021 menyebutkan, ada 29 aduan terkait pelanggaran sekolah tatap pada saat PPKM pada Juli 2021.
Sebanyak 52 persen warga mengeluhkan pelanggaran protokol kesehatan di sekolah. Ada pula yang melaporkan kekhawatiran terhadap keselamatan anak-anak saat di sekolah yang telah menerapkan pembelajaran tatap muka.
Apabila didetailkan ke tingkat kota/kabupaten, ada 96,6 persen laporan pelanggaran pelaksanaan sekolah tatap muka yang berasal dari wilayah PPKM level 4, seperti Bogor, Bandung, Jakarta, dan Tangerang. Dibutuhkan pengawasan lebih ketat melalui Dinas Pendidikan atau Satgas Covid-19 Daerah, agar tidak ada pelanggaran serupa di wilayah lain.
Pelanggaran pelaksanaan sekolah tatap muka atau opsi pembelajaran langsung tentu menempatkan peserta didik dalam risiko infeksi yang besar. Pertimbangan risiko tersebut didasari oleh performa 3T (pemeriksaan, pelacakan, perawatan) dan vaksinasi belum optimal, serta munculnya beragam varian yang jauh lebih infeksius. Laju kasus positif juga masih sangat tinggi, di atas 20 persen. Bahkan, dalam seminggu terakhir kasus kematian di atas 1.000 orang tiap harinya.
Tak hanya itu, data Kementerian Kesehatan menyebutkan sedikitnya 765 anak meninggal karena infeksi virus korona di seluruh Indonesia hingga akhir Juli 2021. Wilayah terbanyak adalah Jawa Barat, yaitu 156 anak, disusul Jawa Tengah (137 anak), Jawa Timur (85 anak), dan DKI Jakarta (46 anak).
Selain data kematian, kasus terkonfirmasi usia anak terbilang tinggi, bahkan melebihi kaum lanjut usia. Data per awal Agustus 2021 menyebutkan, ada 12,8 persen anak usia 0-18 tahun yang terkonfirmasi positif, sedangkan warga lansia 11,4 persen. Usia anak yang paling berisiko adalah 0-2 tahun sebab tingkat kematiannya lebih dari 30 persen.
Mempertimbangkan situasi yang belum kondusif, pemerintah menyiapkan sejumlah aturan, salah satunya adalah Keputusan Bersama Empat Menteri yang dimulai sejak Juli 2020. Beragam penyesuaian dilakukan, termasuk pembaruan aturan baru pada Maret 2021.
Sekolah tatap muka menjadi salah satu bahasan prioritas pemerintah, mengingat jutaan siswa harus menghadapi kondisi belajar dengan berbagai keterbatasan karena pandemi Covid-19. Selama masa pembatasan mobilitas, dua skema penyelenggaraan pembelajaran meliputi pembelajaran tatap muka terbatas dengan protokol kesehatan dan pembelajaran jarak jauh.
Catatan penting berikutnya adalah untuk orangtua/wali murid peserta didik, yaitu mereka dapat memilih pembelajaran tatap muka terbatas atau jarak jauh bagi anaknya. Keputusan tersebut berada di pihak orangtua atau wali murid sehingga penting bagi mereka untuk melihat bahwa keselamatan dan kesehatan anak adalah prioritas.
Belum siap
Gambaran tingkat kematian dan kasus infeksi terhadap anak menunjukkan risiko besar terhadap keselamatan mereka di tengah pandemi. Tingkat risiko ini juga menhadapi tantangan dari kesiapan sekolah menyiapkan sarana dan prasara penunjang protokol kesehatan.
Pantauan ketersediaan sarana protokol kesehatan sekolah juga terbilang belum memadai. Tercatat ada 21,3 persen satuan pendidikan yang belum memiliki fasilitas kesehatan, seperti akses ke medis, area wajib masker, dan pengukur suhu tubuh.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melakukan pemantauan ke seluruh satuan pendidikan. Dari 300.524 satuan pendidikan yang melaporkan, ketersediaan fasilitas kesehatan memang masih di bawah kepatuhan sekolah menyediakan sarana sanitasi dan kebersihan.
Dari parameter sanitasi dan kebersihan, 96 persen sekolah telah memiliki toilet atau kamar mandi bersih dan sarana cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir atau hand sanitizer. Sementara sekolah yang menyediakan program disinfektan mencapai 87 persen.
Kondisi cukup berbeda diperlihatkan sekolah-sekolah yang mampu menjamin fasilitas kesehatan bagi tenaga pendidik atau siswanya. Setidaknya dua dari sepuluh sekolah belum memiliki akses ke fasilitas kesehatan memadai, tidak ada area wajib masker, serta tidak melakukan pengukuran suhu tubuh.
Tak hanya sanitasi dan akses ke fasilitas kesehatan, ternyata 61 persen sekolah tidak melakukan pemetaan risiko penularan yang meliputi riwayat kontak erat, riwayat perjalanan dari zona berisiko tinggi Covid-19, keamanan transportasi saat ke sekolah, dan data komorbid tenaga pendidikan serta siswa. Artinya, aktivitas di sekolah terbilang sangat berbahaya karena siapa saja dapat tertular dengan mudah.
Baca juga: Perkuat Protokol Kesehatan di Tengah Krisis Pandemi Covid-19
Tingkat kerawanan infeksi di sekolah makin meningkat karena belum semua tenaga pendidik mendapat vaksin. Performa vaksinasi tenaga pendidik masih 39 persen dari target 5,6 juta jiwa. Sementara vaksinasi untuk remaja dan anak juga baru dimulai, sehingga cakupannya masih kurang dari 5 persen dari target yang ditentukan.
Kesiapan sekolah untuk mengadakan pembelajaran tatap muka terbilang cukup rendah. Kesiapan sanitasi dan akses fasilitas pendidikan tentu tidak cukup, mengingat upaya preventif berupa pelacakan riwayat aktivitas dan komorbid tidak dilakukan sebagian besar sekolah. Bahkan, vaksinasi saja masih tergolong sangat rendah.
Antisipasi komunal
Wacana pembukaan sekolah tatap muka di masa PPKM perlu menjadi bahasan mendalam pemerintah pusat, daerah, hingga orangtua peserta didik. Keputusan untuk memberlakukan pembelajaran jarak jauh tidak sepenuhnya menjawab permasalahan pendidikan anak. Namun, skenario tersebut menjadi pilihan yang paling banyak manfaatnya agar anak tetap mendapat jaminan keselamatan sekaligus masih dapat mengakses pendidikan.
Hingga 5 Agustus 2021, situasi pandemi Covid-19 saat ini belum membaik, apalagi bermunculan varian virus yang lebih infeksius, yaitu varian Delta. Data Worldometer menyebutkan, jumlah penambahan kasus harian dan penambahan harian kasus kematian Covid-19 masih tertinggi di dunia.
Dalam konteks aktivitas di sekolah, penambahan kasus tersebut dapat terjadi di sekolah. Risiko anak terpapar virus korona dapat berasal dari kontak langsung dengan orang lain, seperti teman sekolah atau guru. Saat bermain dengan teman sekolah, kadang anak menjadi lalai protokol kesehatan.
Tak hanya itu, interaksi dengan guru di ruang kelas dalam durasi lama juga meningkatkan potensi penularan, apalagi ruangan tersebut berventilasi buruk. Guru atau anak-anak di sekolah juga tidak mengetahui siapa yang telah terinfeksi dan belum karena lemahnya pelacakan kasus infeksi atau riwayat aktivitas yang berisiko tinggi.
Varian virus yang lebih infeksius perlu dipahami oleh sekolah dan orangtua/wali murid. Perubahan struktur sel virus memunculkan karakteristik yang lebih adaptif terhadap jenis perawatan, pengobatan, bahkan vaksinasi. Kondisi tersebut membuat pandemi jauh lebih berbahaya bagi anak-anak.
Dari sisi kesehatan, opsi pembukaan sekolah tatap muka bukan skenario terbaik saat ini. Keselamatan anak terlalu berharga untuk dipertaruhkan saat pandemi. Tentu ada kekhawatiran dari orangtua/wali murid serta lembaga pendidikan terkait perkembangan anak dari sisi ilmu pengetahuan dan tekanan sosial lainnya.
Mengingat adanya potensi putus sekolah yang cukup besar, penurunan capaian belajar, hingga kekerasan di rumah, dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak untuk menekan risiko tersebut. Dari sisi pemerintah pusat dan daerah perlu menyediakan kanal pelaporan dan pemantauan berkala ke rumah siswa. Tak hanya itu, dibutuhkan juga layanan konseling sosial bagi keluarga.
Baca juga: Perketat Protokol Kesehatan di Lingkungan Rumah
Pola pembelajaran yang diberikan oleh sekolah melalui guru pun harus dibuat lebih interaktif dan beragam agar anak lebih semangat mengikuti program sekolah. Keleluasaan pola pendidikan terbuka lebar sebab kebijakan sekolah di tengah pandemi tidak mengatur secara langsung pola-pola pembelajaran.
Saat ini pemerintah masih menerapkan PPKM level 1 hingga 4 dengan beragam penyesuaian. Kebijakan ini diterapkan pemerintah mengingat bahaya penularan virus korona yang masih mengancam keselamatan warga Indonesia. Catatan penting untuk situasi pandemi yang masih dalam fase parah penularan adalah potensi bahaya pola-pola kegiatan pembelajaran tatap muka sebab tidak ada yang dapat menjamin keselamatan anak-anak dan tenaga pendidik dari paparan virus yang mematikan ini. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Hari Anak dan Perlunya Memahami Varian Delta untuk Keselamatan Anak