Membuka Lebar Akses Vaksinasi Covid-19
Fenomena nasionalisme vaksin muncul di sejumlah negara. Negara maju yang menjadi produsen vaksin membatasi ekspor demi memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Tak pelak, akses terhadap vaksin pun terjadi ketimpangan.

Meski menjadi salah satu kunci untuk menyelamatkan nyawa di tengah wabah yang mengganas, tak semua punya akses yang sama untuk mendapatkan vaksin. Baik di tingkat dunia maupun nasional, mereka yang tak berpunya masih sulit mendapatkan jatah dosis. Padahal, justru merekalah pihak yang paling tertekan oleh pandemi.
Di tingkat global, hal ini sebetulnya bukanlah persoalan baru. Semenjak akhir tahun lalu, telah muncul fenomena nasionalisme vaksin di mana negara-negara produsen untuk membatasi ekspor vaksin demi memenuhi kebutuhan dalam negerinya dahulu. Meski terdengar masuk akal, hal ini sebetulnya justru bisa berbahaya bagi komunitas internasional secara kolektif.
Bahaya nasionalisme vaksin ini terbukti pernah terjadi sebelumnya. Saat wabah virus flu babi (H1N1) merebak pada 2009, Australia sebagai penemu vaksin memutuskan memblokade ekspor.
Baca juga: Dunia Perangi Penolakan Vaksin Covid-19
Hasilnya, hanya sebagian negara besar dan maju saja yang mendapatkan vaksin virus ini dengan cepat. Sementara itu, negara lebih lemah yang situasi wabahnya lebih mengkhawatirkan telat mendapatkan dosis. Bahkan, beberapa di antaranya mendapatkan vaksin sebagai donasi ketika virus tersebut sudah tak mewabah lagi.
Dalam konteks pandemi Covid-19, distribusi vaksin berdasarkan kemampuan produksi dan daya beli merupakan sebuah resep untuk bencana. Berbeda dengan varian flu lainnya, laju persebaran Covid-19 lebih tinggi berkali lipat. Maka, distribusi vaksin sudah seharusnya lebih didasarkan pada risiko transmisi virus.

Ketimpangan dunia
Sejak April lalu, WHO sebetulnya telah mengangkat isu soal ketimpangan vaksin ini. Saat itu, rata-rata negara berpenghasilan tinggi telah memvaksinasi satu dari empat warga negaranya.
Capaian tersebut sangat jauh meninggalkan rerata vaksinasi negara berpendapatan rendah dengan angka di kisaran satu dari 500 orang lebih penduduknya.
Selaras dengan temuan WHO, data dari Our World in Data juga menunjukkan adanya ketimpangan soal distribusi vaksin di tingkat dunia. Berdasarkan organisasi besutan University of Oxford tersebut, dari sekitar 3,2 miliar dosis yang diberikan ke 24,2 persen populasi penduduk dunia, hanya 1 persen di antaranya yang diberikan kepada penduduk negara berpendapatan rendah.
Bahkan, analisis dari harian Washington Post Mei silam terhadap data dari Our World in Data, nyaris separuh dari seluruh dosis yang disuntikkan hanya diberikan kepada 16 persen dari populasi penduduk dunia.
Ketidakadilan distribusi vaksin ini sejalan dengan perilaku negara dalam menimbun vaksin. Sejak April lalu, lembaga Duke Global Health Innovation Center menemukan bahwa 4,6 miliar dosis vaksin terkumpul di negara-negara berpendapatan tinggi.

Warga menerima vaksin Covid-19 dosis pertama di sentra vaksinasi massal di Bintaro Jaya Xchange Mall, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (29/6/2021).
Sementara negara berpendapatan menengah ke bawah hanya dapat mengumpulkan sekitar 670 juta dosis vaksin saja. Artinya, negara-negara yang dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah hanya dijatah sepertujuh dari dosis vaksin negara kaya.
Selain dari dimensi mampu dan tak mampu, ternyata ketimpangan soal distribusi vaksin juga terjadi dalam dimensi jender. Di negara dengan tendensi ketimpangan jender yang cukup tinggi, seperti di India, ternyata kaum laki-laki cenderung lebih mudah mendapatkan vaksin dibandingkan dengan kaum perempuan.
Hal ini terlihat dari perbedaan persentase vaksinasi di beberapa negara bagian, seperti Uttar Pradesh di mana dari 29 juta dosis vaksin yang diberikan, hanya 42 persennya saja yang disuntikkan ke perempuan.
Persentase yang serupa juga tampak di Negara Bagian Bengal di mana dari semua dosis vaksin yang diberikan, perempuan hanya mendapatkan 44 persennya. Bahkan situasi ketimpangan lebih parah terjadi di Dadra dan Nagar Haveli dengan jatah vaksin untuk perempuan berkisar di angka 30 persen.
Tak hanya di tingkat global, nyatanya ketimpangan vaksinasi juga terjadi di dalam negeri.
Ketimpangan nasional
Tak hanya di tingkat global, nyatanya ketimpangan vaksinasi juga terjadi di dalam negeri. Dari 32 juta orang yang telah divaksinasi setidaknya sekali, sebagian besar masih tinggal di kota-kota besar. Sementara itu persentase penduduk yang telah divaksin di kota dan kabupaten yang jauh dari pusat masih jauh lebih kecil.
Jangankan di tingkat nasional, di Pulau Jawa saja ketimpangan vaksinasi terlihat jelas. Salah satunya bisa dilihat dari perbedaan laju vaksinasi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Barat.
Dibandingkan dengan empat provinsi lainnya, Jawa Timur menjadi provinsi dengan jumlah penduduk tervaksinasi terbanyak. Hingga 5 Juli kemarin, provinsi ini telah memberikan vaksin kepada lebih dari 5,3 juta penduduknya paling tidak satu kali. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa Barat (3,6 juta), dan Jawa Tengah (3,5 juta).

Hal ini juga tampak dari persentase penduduk yang telah tervaksinasi dosis pertama. Di Kota Surabaya sendiri, setidaknya lebih dari 1 juta penduduknya, atau setara dengan 21,55 persen dari target provinsi, telah mendapatkan vaksin dosis pertama.
Menyusul di bawah Surabaya, ada Kabupaten Jombang yang telah memberikan vaksinasi terhadap 391.000 penduduk atau setara dengan 8,13 persen dari target vaksinasi provinsi.
Dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Barat, persentase ini jauh lebih baik. Kota Semarang yang menjadi salah satu yang tertinggi di Jawa Tengah saja baru mampu menyuntikkan vaksin dosis pertama kepada sekitar 420.000 penduduknya atau 7,76 persen dari target vaksinasi provinsinya saja.
Baca juga: Sinovac dan Urgensi Hadirnya Vaksin Alternatif
Di Jawa Barat, Kota Bandung yang paling banyak memberi vaksin dosis pertama juga baru mampu mengimunisasi 8 persen populasi target atau sekitar 540.000 penduduknya.
Cerita lain justru datang dari Provinsi Yogyakarta. Meski secara jumlah jauh tertinggal dari provinsi lain di Pulau Jawa, provinsi ini justru memiliki persentase populasi penduduk tervaksin paling tinggi.
Dengan total vaksinasi berada di kisaran 800.000, rata-rata persentase populasi tervaksin dosis pertama di kota dan kabupaten di provinsi ini berada di angka 21,4 persen dari target provinsi.
Meskipun demikian, masih ada ketimpangan yang cukup jauh antara Gunungkidul sebagai kabupaten dengan populasi tervaksinasi terendah (9,21 persen) dan Sleman dengan kabupaten dengan populasi tervaksinasi tertinggi (35,27)
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F06%2Fd24a0283-ac7f-47e5-b14b-e1c59ce34312_jpg.jpg)
Warga melintasi mural ajakan untuk bersama-sama melawan Covid-19 dengan 3M dan mengikuti vaksinasi di Jalan Pramuka, Jakarta Timur, Rabu (30/6/2021).
Tak hanya di Yogyakarta, pola ketimpangan ini juga terjadi di kota dan kabupaten di provinsi lain. Daerah yang cenderung jauh dari pusat jauh sekali tertinggal soal vaksinasi. Bahkan, masih ada puluhan kota dan kabupaten di Pulau Jawa yang populasi penduduk tervaksinasinya masih berada di bawah 2 persen.
Padahal, kota dan kabupaten di bawah 2 persen ini masih berada satu pulau dengan Ibu Kota yang rerata vaksinasi kabupaten dan kotanya berada di kisaran 32 persen dari target.
Maka, jangan heran apabila masih ada puluhan kota dan kabupaten lain di luar Pulau Jawa yang persentase penduduk yang menerima vaksin Covid-19 di bawah 1 persen.
Baca juga: Adu Cepat Laju Vaksinasi di Panggung Global
Kesimpulannya, sama dengan fenomena di tingkat global, akses untuk vaksin di dalam negeri pun belum setara bagi setiap orang. Padahal, meski kasus harian di daerah tak sebanyak di kota pusat, kapasitas fasilitas kesehatan mereka juga tak sebesar kota besar. Artinya, situasi mereka pun tak kalah rentan dengan kota-kota besar yang kini tengah berjibaku dengan peningkatan tajam kasus positif baru.
Dengan semakin mengganasnya Covid-19, pemerintah perlu memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk menggenjot laju vaksinasi. Tentu, dengan besarnya luasan geografis, banyaknya populasi serta sulitnya medan di wilayah terdepan di Indonesia, pekerjaan vaksinasi ini akan sangat menantang.
Namun, hingga target vaksinasi 70 persen populasi penduduk belum tercapai di tiap kabupaten kota, Indonesia tak akan benar-benar terbebas dari Covid-19. Praktis, membuka akses vaksinasi lebih lebar agar tidak terjadi ketimpangan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. (LITBANG KOMPAS)