Sinovac dan Urgensi Hadirnya Vaksin Alternatif
Negara harus berhati-hati dan mencermati vaksin yang akan diberikan serta perusahaan yang menciptakannya. Rekam jejak Sinovac perlu diperhatikan agar agenda vaksinasi sesuai dengan yang diharapkan.
Di pengujung tahun 2020, berita vaksin bak berkah yang sangat suram. Beberapa negara, termasuk Indonesia, kian mematangkan rencana menyusul Inggris melakukan vaksinasi awal tahun depan. Meskipun begitu, negara tetap harus berhati-hati dan terus mencermati vaksin yang akan diberikan serta perusahaan yang menciptakannya.
Berita baik ini salah satunya datang dari Inggris, di mana negara tersebut telah mulai melakukan vaksinasi terhadap warga negaranya. Inggris menjadi negara pertama di dunia yang melaksanakan vaksinasi terhadap masyarakatnya.
Hal ini dilakukan Inggris setelah Badan Pengawas Obat dan Layanan Kesehatan (MHRA) negara tersebut memberikan persetujuan terhadap vaksin Covid-19 dari Pfizer/BioNTech. Berbeda dengan beberapa calon vaksin lain, vaksin tersebut diklaim memiliki efikasi hingga mencapai 95 persen.
Sebelum vaksinasi ini terlaksana, Inggris telah memesan 40 juta dosis vaksin dari Pfizer. Di tahap awal, negara tersebut memberikan vaksin hanya kepada golongan masyarakat yang termasuk ke dalam kategori prioritas, yakni mereka yang memiliki risiko tinggi terinfeksi Covid-19. Beberapa golongan yang termasuk ke dalam kategori ini ialah warga negara berusia 80 tahun ke atas dan pekerja di rumah jompo.
Sebetulnya, Inggris bukanlah negara pertama yang menyuntikkan vaksin Covid-19 ke warga negaranya. Sebelumnya, Rusia dan China telah lebih dulu melakukan vaksinasi.
Namun, vaksin yang digunakan oleh kedua negara tersebut belum selesai diuji klinis fase III dan digunakan dengan status persetujuan darurat (emergency approval). Tak ayal, kabar vaksinasi di Inggris ini tentu menyiramkan harapan bagi seluruh orang di dunia.
Pada Desember ini, Indonesia mulai menerima kiriman bahan baku vaksin dari Sinovac sebanyak 15 juta dosis. Bahan baku tersebut kemudian akan diolah oleh PT Bio Farma (Persero) menjadi vaksin yang siap untuk dipakai sebanyak 12 juta dosis.
Vaksin dari Sinovac, yang bernama Coronavac, ini sejatinya merupakan vaksin berjenis virus yang diinaktivasi (inactivated virus). Sebelumnya, vaksin ini berhasil melindungi subyek penelitian (tikus dan primata bukan manusia) perlindungan parsial dan penuh dari pneumonia interstisial parah akibat Covid-19.
Vaksin Sinovac dan skandal perusahaannya
Meski Indonesia berhak berharap dengan dilaksanakannya vaksinasi di Inggris, negara semestinya tidak gegabah dan tetap berhati-hati. Hal ini karena vaksin yang tersedia di Inggris berbeda dengan yang nantinya ada di Indonesia. Terlebih lagi, perusahaan yang dipercaya oleh Pemerintah Indonesia, Sinovac, memiliki sejarah kasus korupsi di masa lampau.
Menurut laporan dari Washington Post pada 7 Desember lalu, Sinovac pernah terbukti melakukan suap terhadap sejumlah otoritas China. Saat menyampaikan kesaksiannya di sidang pada 2016, Yin Weidong, pendiri dan CEO Sinovac, mengakui soal suap ini.
Yin Weidong menyebutkan, ia memberikan suap 83.000 dollar AS selama tahun 2002 hingga 2011 kepada Yin Hongzang, mantan Direktur Deputi BPOM China, terkait dengan peninjauan vaksin Sinovac. Hal ini pun diakui oleh pihak perusahaan yang menyatakan bahwa CEO perusahaan itu terlibat kasus suap.
Pada persidangan, tak hanya Yin Weidong yang mengaku memberikan suap. Yin Hongzang selaku penerima suap pun mengakui perbuatannya. Saat itu, ia mengaku bahwa telah menerima suap selama sembilan tahun dengan imbalan memberikan perizinan vaksin hepatitis A, SARS, flu burung, penyakit kaki dan mulut (foot-and-mouth disease), serta influenza A.
Dalam rentang waktu sembilan tahun, uang haram yang diterima Yin Hongzang dari Sinovac pun digunakan untuk keperluan hidup ia dan istrinya. Pada 2002, ia mengaku telah menerima pemberian 15.200 dollar AS untuk membeli satu mobil baru.
Kejadian ini kembali berulang pada 2006, di mana Yin Hongzang menyatakan bahwa ia menerima uang 22.800 dollar AS untuk membeli perabotan apartemen. Terakhir, ia juga mengaku bahwa pada 2011 menerima dana 45.600 dollar AS untuk membeli sebuah vila di bagian utara Beijing.
Sampai pada 2018, fakta terkait dengan kasus suap oleh petinggi Sinovac pun terus terungkap. Dari proses persidangan, diketahui bahwa antara 2011 dan 2015, setidaknya 20 pejabat dan karyawan rumah sakit di China mengaku telah menerima suap dari perusahaan tersebut terkait penggunaan vaksin.
Keterangan tambahan diberikan oleh Yang, pegawai penjualan Sinovac, yang mengaku memberikan suap lebih dari 2.000 dollar AS kepada seorang pegawai RS di Guangdong pada rentang waktu 2011 hingga 2015. Dengan uang pelicin, pihak RS pun bersedia untuk membeli dan menggunakan sekitar 5.000 vaksin hepatitis A yang dikeluarkan oleh Sinovac.
Hingga kini, Sinovac belum merilis data kemanjuran dari vaksinnya. Tak ayal, belum ada kejelasan dari pihak pengembang terkait dengan keefektifan vaksin Coronavac. Sejauh ini, hanya ada pernyataan dari Pemerintah Brasil yang menyatakan bahwa vaksin yang dikembangkan oleh Sinovac merupakan yang paling aman yang pernah diuji di negara tersebut.
Meskipun begitu, klaim ini juga perlu dilihat secara skeptis mengingat Pemerintah Brasil sempat menghentikan sementara proses uji klinis fase III vaksin dari Sinovac pada awal November silam.
Terlepas dari kasus Sinovac, secara umum industri farmasi di China memang mungkin cukup mencurigakan. Pada 2018, perusahaan saingan Sinovac dari China, Sinopharm, menarik kembali 400.000 dosis vaksin difteri, pertusis, dan tetanus dari peredaran. Hal tersebut dilakukan karena diketahui bahwa vaksin yang telah beredar itu tidak memenuhi standar.
Kekhawatiran akan maraknya korupsi dan rendahnya transparansi di industri farmasi di China kian menguat jika melihat kasus korupsi yang melibatkan perusahaan multinasional. Pada 2014, GalxosmithKline (GSK) terbukti bersalah telah melakukan suap terhadap para dokter dan pegawai kesehatan untuk meningkatkan penjualan obat-obatan yang diproduksi perusahaan tersebut.
Atas perbuatannya, perusahaan itu dikenai denda 490 juta dollar AS dan beberapa petinggi perusahaan di cabang GSK China dijatuhi hukuman penjara. Kasus ini tentu menjadi preseden yang buruk bagi industri farmasi di China, mengingat perusahaan sebesar GSK yang termasuk dalam 10 perusahaan farmasi terbesar di dunia mesti mengikuti ”cara main” di pasar China untuk bertahan.
Vaksin alternatif
Hingga pengujung tahun 2020, situasi Covid-19 di Indonesia masih belum terkendali. Dalam tiga bulan terakhir, terjadi peningkatan jumlah penambahan kasus harian yang cukup signifikan. Meski sempat mengalami pelandaian pada awal November lalu, jumlah penambahan kasus naik tajam dalam kurun waktu sebulan terakhir.
Jika dilihat berdasarkan rerata mingguan (7-days moving average), jumlah penambahan kasus positif di Indonesia sebulan terakhir melonjak dari sekitar 4.000 kasus menjadi di kisaran 6.000 kasus. Bahkan, pada 3 Desember lalu, Indonesia mencatatkan rekor dalam hal penambahan kasus positif harian yang mencapai lebih dari 8.300 kasus.
Hal serupa terjadi dalam hal tingkat kematian. Setelah sempat mengalami penurunan pada awal November lalu, tingkat kematian akibat Covid-19 meroket sebulan terakhir. Sebelumnya, rerata mingguan kematian di Indonesia sempat berada di kisaran 90 kematian. Namun, angka ini naik hingga di atas angka 130 minggu ini. Bahkan, pada 9 Desember lalu, jumlah kematian akibat Covid-19 di Indonesia mencapai titik tertinggi di angka 171 kematian dalam satu hari.
Tak ayal, dengan kian memburuknya situasi pandemi di Indonesia, vaksin yang efektif menjadi persoalan hidup matinya bangsa. Tentunya, mengandalkan vaksin dari satu sumber saja merupakan pertaruhan amat besar yang mungkin tak mampu Indonesia bayar.
Terlebih lagi, tidak menutup kemungkinan jika vaksin yang dibeli oleh Indonesia dari Sinovac tak bekerja dengan maksimal, mengingat buruknya rekam jejak perusahaan pengembang.
Padahal, pertaruhan semacam itu sebetulnya bisa diusahakan untuk dihindari oleh pemerintah. Setidaknya, ada empat jenis vaksin lain yang lebih jelas teruji efektivitasnya, yakni vaksin buatan Moderna dengan efektivitas 95 persen, Pfizer/BioNTech dengan efektivitas 95 persen, AstraZeneca/University of Oxford dengan efektivitas 70 persen, dan bahkan buatan Gamaleya Scientific Research Institute dari Rusia yang memiliki efektivitas 92 persen.
Tak hanya itu, vaksin-vaksin buatan perusahaan yang telah disebutkan di atas juga dipercaya oleh lebih banyak negara di dunia. Vaksin dari Moderna, Pfizer/BioNTech, dan AstraZeneca/University of Oxford telah dipesan oleh belasan negara, termasuk juga oleh negara-negara maju di dunia Barat.
Hal ini berbeda dengan vaksin dari Sinovac yang baru dibeli oleh segelintir negara berkembang, termasuk Indonesia, Turki, dan Brasil. Maka, melihat hal tersebut, Pemerintah Indonesia perlu segera mengamankan jatah vaksin dari perusahaan yang lebih tepercaya. (LITBANG KOMPAS)