Jumlah sarjana yang menganggur meningkat sejak awal pandemi. Prospek karier pun berubah drastis dibandingkan dengan ketika awal mengenyam bangku kuliah. Meningkatkan kualitas diri tetap menjadi kunci.
Oleh
Gianie
·5 menit baca
Menyemai mimpi di awal perkuliahan, mahasiswa yang lulus tahun 2020 dan 2021 dihadapkan pada kenyataan pahit akibat pandemi. Jumlah sarjana yang menganggur meningkat sejak awal pandemi. Prospek karier pun berubah drastis dibandingkan ketika awal mengenyam bangku kuliah.
Tahun 2020 menjadi tahun terberat bagi mahasiswa yang baru lulus kuliah dan menyandang gelar sarjana. Lowongan pekerjaan langka. Perusahaan banyak yang menghentikan penerimaan karyawan baru seiring dengan krisis ekonomi yang melanda. Banyak perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan operasional.
Bagi mahasiswa yang masuk kuliah tahun 2020 dan 2021, ketidakpastian juga menghantui masa depan. Struktur ekonomi dan pasar tenaga kerja tentunya berubah saat kelulusan tiba. Masih relevankah ilmu yang dipelajari sekarang dengan kebutuhan masa depan?
Setiap tahun, tidak kurang dari satu juta mahasiswa baru yang memulai perkuliahan, baik di perguruan tinggi negeri, swasta, maupun kedinasan di bawah kementerian.
Tahun 2019 lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat jumlah mahasiswa baru bahkan sudah mencapai angka 2 juta orang. Jumlah tersebut naik hampir 50 persen dibandingkan lima tahun sebelumnya.
Tahun 2021 ini, mahasiswa baru yang berasal dari jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tercatat sebanyak 110.459 orang. Sementara dari jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) adalah sebanyak 184.942 orang. Jumlah tersebut hasil seleksi dari 777.858 siswa yang mendaftar.
Belum diketahui berapa jumlah mahasiswa baru yang masuk akan PTN lewat seleksi mandiri. Begitu juga dengan jumlah mahasiswa baru di perguruan tinggi swasta atau kedinasan.
Jumlah mahasiswa yang lulus tiap tahunnya juga tidak kurang dari satu juta orang. Tahun 2019 lalu, jumlah lulusan dari perguruan tinggi mencapai 1.757.169 orang. Angka tersebut meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan lima tahun sebelumnya.
Namun, tidak semua lulusan mendapat pekerjaan layak sesuai yang dicita-citakan. Dalam laman Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) disebutkan jumlah lulusan yang mendapat pekerjaan yang layak pada tahun 2020 hanya sebanyak 55,62 persen.
Tidak sedikit lulusan perguruan tinggi di masa pandemi ini malah menganggur. Sebelum pandemi, berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) dari Badan Pusat Statistik Agustus 2009, pengangguran yang berasal dari kalangan terdidik, dengan gelar sarjana diploma dan strata satu (S-1), berjumlah 955.513 orang atau 13,6 persen dari total pengangguran nasional.
Di masa virus korona merebak, pengangguran kaum terdidik berdasarkan Sakernas Februari 2020 naik menjadi 1.080.807 orang atau 15,7 persen dari total pengangguran. Angka tersebut meningkat lagi menjadi 1.286.464 orang (Agustus 2020) dan turun tipis enam bulan berikutnya menjadi 1.254.000 orang (Februari 2021). Dari jumlah tersebut, porsi terbesar adalah pengangguran yang bergelar S1 ( 75-80 persen). Selebihnya sarjana diploma.
Menyiasati ketidakpastian
Dalam kondisi pandemi yang penuh dengan ketidakpastian, beberapa hal dapat dilakukan para sarjana agar tidak menganggur. Pertama adalah membuka peluang bekerja untuk diri sendiri dengan berwirausaha. Kedua, melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ketiga, mempelajari keterampilan baru yang akan bermanfaat untuk pekerjaan dan kehidupan ke depan.
Untuk opsi pertama dan kedua tentunya membutuhkan sejumlah biaya. Besar atau kecilnya biaya tergantung pada usaha apa yang akan dijalankan atau program studi di perguruan tinggi mana yang akan diambil.
Dukungan keluarga dari segi finansial menjadi penting dalam situasi sekarang. Meski tentunya tersedia peluang mendapatkan beasiswa untuk jenjang strata dua (S2) dan bantuan permodalan untuk berusaha skala mikro, kecil, dan menengah dari kementerian atau perbankan.
Sementara untuk opsi memperoleh keterampilan baru bisa dilakukan otodidak dengan memanfaatkan platform daring. Sejumlah pembelajaran dan pelatihan kini banyak tersedia secara online. Dalam menentukan keterampilan apa yang akan dipelajari diperlukan analisis kecil-kecilan untuk menggali minat dan kelebihan-kekurangan diri serta peluang yang terbuka ke depan.
Memiliki keterampilan baru menjadi nilai tambah untuk mendapatkan pekerjaan atau posisi yang lebih baik. Pun bisa menjadi nilai tambah suatu saat dilakukan wawancara kerja ketika pewawancara menanyakan apa yang dilakukan di masa pandemi setelah lulus kuliah.
Membekali diri dengan keterampilan baru penting dilakukan mengingat dunia usaha dan pasar tenaga kerja terus berubah dibandingkan saat awal seseorang memilih bidang akademik yang akan ditekuni. Ditambah lagi dengan disrupsi teknologi yang berlangsung cepat dan massif.
Dalam laporan mengenai pekerjaan di masa depan yang dilansir World Economic Forum atau WEF pada 20 Oktober 2020 menyebutkan pandemi Covid-19 menyebabkan terjadinya percepatan datangnya jenis pekerjaan baru. Masa depan terjadi lebih awal. Pandemi mendisrupsi adopsi teknologi menjadi lebih cepat. Sehingga, jenis pekerjaan dan keterampilan berubah dalam lima tahun ke depan.
Laporan tersebut juga mengungkap sebanyak 43 persen dari bisnis yang disurvei mengurangi tenaga kerjanya karena mulai menerapkan integrasi teknologi. Pada tahun 2025 nanti, waktu yang digunakan untuk bekerja antara manusia dengan mesin akan seimbang seiring dengan digunakannya sistem otomasi (automation).
Di masa pandemi seperti saat ini saja, sebanyak 84 persen pemberi kerja sudah menerapkan sistem kerja yang terdigitalisasi, termasuk melakukan pekerjaan jarak jauh (remote work), atau ada juga istilah work from home. Masalah produktivitas atau kesejahteraan yang timbul diselesaikan dengan kriteria dan alat ukur yang juga terdigitalisasi.
WEF memperkirakan pada tahun 2025 sebanyak 85 juta pekerjaan akan hilang karena peralihan penggunaan otomasi. Namun, 97 juta jenis pekerjaan yang baru akan muncul terkait perubahan divisi tenaga kerja antara manusia, mesin, dan algoritma.
Dengan perubahan ini, akan terjadi kesenjangan keterampilan antara sumber daya yang ada sekarang (supply) dengan yang diharapkan (demand). Oleh sebab itu, perusahaan-perusahaan menginginkan pekerja meningkatkan keterampilannya (reskilling dan upskilling) secepatnya, dalam jangka waktu enam bulan atau kurang.
Untuk penerimaan karyawan yang baru, jika ada, lebih diharapkan yang sudah memiliki keterampilan yang baru yang terkait dengan integrasi teknologi. Di sinilah peluang bagi para sarjana baru untuk mendapatkan pekerjaan.
Namun, terlepas dari ketergantungan terhadap teknologi yang tinggi, tetap ada syarat kemampuan utama human skills yang harus dimiliki. Hal tersebut adalah kemampuan melakukan analisis dan berpikir kritis, kemampuan mengatasi persoalan (problem solving), serta manajemen diri (self-management). Untuk kemampuan yang terakhir ini terkait dengan gambaran pembelajaran aktif, resiliensi, fleksibilitas, dan mengatasi stres yang dimiliki individu.
Dunia terus bergerak. Penyesuaian-penyesuaian secara alami akan terjadi. Meski mengejar mimpi kini tak seindah sebelum pandemi, selalu ada peluang yang bisa dimanfaatkan untuk mendayung di tengah gelombang ketidakpastian yang tinggi. Dengan memperbaiki kualitas diri, cepat atau lambat cita-cita dan mimpi yang dibangun akan terwujud jua. (LITBANG KOMPAS)