Survei ”Kompas” menangkap penilaian publik terkait kinerja ekonomi dari pemerintah yang belum sepenuhnya berhasil memulihkan ekonomi akibat pandemi, tetapi mampu menahan kejatuhan yang lebih dalam.
Oleh
Gianie
·5 menit baca
Kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin bidang ekonomi di masa 1,5 tahun periode ini dinilai publik tidak lebih baik dibandingkan tiga bulan sebelumnya. Publik menilai, kinerja pemerintah belum sepenuhnya berhasil memulihkan ekonomi akibat pandemi, tetapi mampu menahan kejatuhan yang lebih dalam.
Kepuasan publik untuk kinerja ekonomi yang terekam dalam survei opini Kompas April 2021 ini cenderung stagnan. Dalam survei yang dilakukan secara periodik, kali ini kepuasan publik di bidang ekonomi mencapai 57,8 persen, kurang lebih sama dengan periode tiga bulan sebelumnya yang 57,9 persen.
Sebelumnya, kepuasan terhadap kinerja bidang ekonomi trennya naik, yang sudah dimulai secara perlahan sejak awal periode kedua pemerintahan Jokowi pada Oktober 2019. Pada saat itu, kepuasan terhadap kinerja ekonomi baru di tingkat 50 persen.
Di periode kedua ini, tampaknya publik merasa puas dengan kinerja pemerintah bidang ekonomi. Berbeda dengan kondisi periode pertama di mana ketidakpuasan lebih mendominasi.
Bahkan, kinerja ekonomi pada survei April 2015 bisa dianggap terpuruk di mata publik karena kepuasan responden pada saat itu mencapai titik terendah, yaitu 33 persen. Kondisi pandemi saat ini berperan menahan kenaikan tingkat kepuasan menjadi stagnan.
Meskipun tingkat kepuasan terhadap kinerja ekonomi pemerintah bisa dikatakan berada pada jalur tren meningkat, angkanya selalu lebih rendah dibandingkan kinerja bidang lainnya.
Kepuasan tertinggi disematkan responden terhadap kinerja di bidang politik-keamanan serta kesejahteraan sosial dengan masing-masing 77 persen dan 71,3 persen. Adapun kepuasan di bidang hukum sebesar 65,6 persen.
Salah satu kinerja ekonomi yang diapresiasi publik dengan cukup baik berkaitan dengan upaya pemerataan pembangunan antarwilayah untuk mengatasi kesenjangan, termasuk di wilayah perdesaan, kawasan timur, dan perbatasan.
Upaya ini bisa dilihat dari pembangunan infrastruktur hingga ke wilayah Papua. Termasuk juga dengan rencana pemindahan ibu kota negara ke Pulau Kalimantan yang diharapkan dapat mendorong pembangunan di kawasan timur.
Meski demikan, rapor buruk diberikan publik terkait dengan penyediaan lapangan kerja. Upaya pemerintah untuk mengurangi angka pengangguran menuai ketidakpuasan dari sebanyak 57 persen responden.
Di masa pandemi ini, berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik pada November 2020, di Indonesia terdapat 29,12 juta orang yang merupakan penduduk usia kerja yang terdampak Covid-19.
Dari jumlah tersebut, pengangguran karena Covid-19 sebanyak 2,56 juta orang. Jumlah yang bukan angkatan kerja karena Covid-19 sebanyak 0,76 juta orang, sedangkan yang tidak bekerja karena Covid-19 sebanyak 1,77 juta orang.
Selain itu, penduduk bekerja yang juga mengalami pengurangan jam kerja karena Covid-19 sebanyak 24,03 juta orang. Total pengangguran per Agustus 2020 tercatat 9,77 juta orang atau bertambah sebanyak 2,89 juta orang dibandingkan kondisi Februari tahun yang sama.
Kinerja dalam mengendalikan harga barang dan jasa juga belum memuaskan publik. Hal itu terlihat dari 52 persen responden yang menyatakan kepuasannya terkait harga-harga di masa pandemi ini. Ketidakpuasan agaknya dipicu oleh berkurangnya penghasilan yang diterima masyarakat karena ekonomi yang melambat.
Rendahnya tingkat kepuasan juga terkait dengan upaya pemerintah dalam memenuhi sendiri kebutuhan pangan dalam negeri alias tidak melakukan impor bahan-bahan pangan. Kepuasan terhadap aspek ini hanya mencapai 55 persen.
Terkait masalah impor ini, kasus yang cukup menonjol menyita perhatian publik selama bulan Maret lalu adalah soal rencana impor beras sebanyak 1 juta ton untuk tahun ini. Padahal, pasokan beras dari petani bakal melimpah menyusul masa panen raya. Sementara stok beras yang dikelola Bulog juga masih memadai.
Mulai dari petani, asosiasi petani hingga kepala daerah menyuarakan protes dan meminta pemerintah mengutamakan penyerapan gabah petani. Untuk menyudahi ribut-ribut soal perberasan ini, Presiden Joko Widodo pun akhirnya memastikan tidak ada impor beras hingga Juni 2021 dan memerintahkan Menteri Keuangan menyiapkan anggaran untuk menyerap beras petani.
Bisa melesat
Tren kepuasan publik terhadap kinerja ekonomi pemerintah sebenarnya sudah mulai meningkat sejak awal periode kedua Presiden Jokowi hingga Januari 2021, tetapi kemudian stagnan. Kepercayaan publik perlahan tergerus akibat pandemi yang berkepanjangan.
Perekonomian Indonesia seharusnya bisa melesat tinggi jika pandemi Covid-19 tidak membuyarkannya. Indikator ke arah tersebut sebenarnya tampak cukup jelas. Tahun 2020 dibuka dengna optimisme yang menguat.
Di tingkat global hal itu ditandai dengan meredanya perang dagang antara Amerika Serikat dan China serta dimulainya masa transisi Brexit. Dari dalam negeri, postur APBN 2020 ditopang oleh defisit yang masih rendah, yaitu 1,76 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Meski demikian, pada Februari-Maret, kasus Covid-19 mulai mengubah kepercayaan diri pemerintah dan arah perekonomian baik global maupun Indonesia secara drastis. Dampaknya terbaca dari kondisi keuangan pemerintah yang terbebani dari sisi pendapatan. Defisit anggaran pun melebar menjadi 6,09 persen dari PDB.
Agar defisit anggaran tidak sampai melanggar ketentuan perundang-undangan dengan batas 3 persen dari PDB, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 yang memperlebar batasan defisit anggaran bisa melampaui 3 persen dari PDB selama penanganan Covid-19. Kewenangan ini berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya tahun anggaran 2022.
Perekonomian Indonesia terpuruk pada kuartal II-2020 menjadi minus 5,32 persen. Namun, perlahan bangkit menjadi minus 3,49 pada kuartal III-2020 dan minus 2,19 pada kuartal IV-2020. Secara tahunan, pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 terkontraksi sebesar 2,07 persen.
Tahun 2021, pemerintah berharap dapat bangkit lebih tinggi dengan mencapai pertumbuhan sebesar 5 persen. Bank Pembangunan Asia (ADB) memproyeksikan perekonomian Indonesia akan tumbuh 4,5 persen pada 2021. Sementara versi Bank Dunia, Indonesia akan tumbuh 4,4 persen.
Anggaran dari APBN terbukti berhasil menahan konstraksi ekonomi yang lebih dalam akibat tekanan pandemi Covid-19. Tahun 2020 pemerintah mengeluarkan stimulus ekonomi sebesar Rp 579,78 triliun (dari target Rp 695,2 triliun) untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Tahun 2021, anggarannya diperbesar menjadi Rp 699,43 triliun karena ada alokasi untuk penyediaan vaksin dan fasilitas pendukungnya.
Efektivitas stimulus ekonomi ini diyakini akan kembali menahan kontraksi ekonomi yang lebih dalam, bahkan bisa mengangkat pertumbuhan kembali positif. Roda ekonomi tidak lagi sekadar berputar, tetapi akan berputar lebih kencang.
Jika hal ini tercapai, kepercayaan publik terhadap kinerja ekonomi pemerintah akan pulih, beranjak dari stagnasi. Selain itu, tingkat kepuasan juga akan ditentukan oleh angka pengangguran dan kemiskinan baru yang akan diumumkan BPS. Kedua indikator ini menggambarkan kondisi masyarakat yang lebih riil. (LITBANG KOMPAS)