Melawan Ancaman Prostitusi Anak
Lemahnya apek penegakan hukum memudahkan para pencari jasa seks anak berkeliaran di Indonesia.
Dalam situasi pandemi Covid-19, praktik prostitusi anak tetap terjadi. Hal ini menjadi peringatan bagi pemerintah dan masyarakat untuk tidak lengah mengupayakan perlindungan anak di Indonesia.
Pandemi tidak menjadi penghalang bagi pelaku kejahatan seksual untuk melakukan operasinya. Justru saat pandemi, celah-celah eksploitasi seksual semakin meningkat.
Ditreskrimum Polda Metro Jaya pada 19 dan 20 Mei 2021 telah mengamankan sejumlah pelaku, anak di bawah umur, tamu, dan karyawan dua hotel di Jakarta Barat yang terlibat dalam praktik prostitusi. Operasi tersebut membongkar praktik prostitusi yang dilakukan dua mucikari pada 18 anak perempuan.
Sebelumnya, pada 16 Maret 2021, polisi juga berhasil membongkar dugaan praktik prostitusi di sebuah hotel di Tangerang. Ada 15 anak-anak yang terjaring dalam operasi penggerebekan itu. Anak-anak yang berusia 14-16 tahun itu adalah korban eksploitasi mucikari yang diduga bekerja sama dengan pemilik hotel.
Dua operasi tersebut hanyalah sebagian dari praktik prostitusi anak-anak yang dilakukan pada masa pandemi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendata, selama Januari hingga April 2021 ditemukan 35 kasus yang melibatkan 234 anak. Kasus-kasus tersebut terdiri dari kasus prostitusi (83 persen), eksploitasi ekonomi (11 persen), dan perdagangan anak (6 persen). Anak-anak yang terlibat dalam kasus prostitusi tersebut berusia 12 hingga 17 tahun.
Praktik prostitusi anak sendiri menjadi masalah laten di Indonesia. Berdasarkan penelusuran pemberitaan Kompas, berita mengenai prostitusi anak sudah terjadi sejak 1967. Diberitakan pada tanggal 28/06/1967, sejumlah pelajar perempuan dan laki-laki menjadi pemuas seks pria dan wanita dewasa. Kemudian, pada 1970, di Jakarta, sebanyak 1.600 orang dari 20.000 wanita tunasusila (WTS) sudah menjadi WTS sebelum umur 15 tahun (Kompas, 21/08/1970).
Empat dekade kemudian, laporan lembaga ECPAT Indonesia menyebutkan, diperkirakan ada 40.000-70.000 anak korban eksploitasi seksual di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 21.000 anak diperkirakan terlibat praktik prostitusi di Pulau Jawa.
Media sosial
Praktik prostitusi yang menyasar anak-anak seolah-olah tidak pernah berhenti. Bahkan, praktik kejahatan ini berkembang mengikuti kemajuan teknologi. Media sosial dan transaksi daring memudahkan eksploitasi seksual anak-anak.
Berdasarkan temuan KPAI, dari 35 kasus eksploitasi anak, ada dua jalur yang digunakan pelaku untuk menjalankan aksinya. Sebanyak 60 persen dilakukan melalui media sosial, sedangkan sisanya dijalankan melalui cara konvensional.
Cara melalui media sosial dilakukan aplikasi Michat, Whatsapp, dan Facebook. Sementara pemesanan lokasi prostitusi dilakukan melalui aplikasi Reddorz. Media sosial ini dilakukan untuk menjaring dan menjajakan korban prostitusi.
Modusnya, pelaku biasanya berkenalan dengan korban baik secara virtual melalui media sosial atau dengan bertemu langsung. Lalu pelaku mengajak korban berpacaran dan mulai mengajak berhubungan seksual. Setelah itu, pelaku mengeksploitasi korban dengan menawarkan korban melalui aplikasi, seperti MiChat. Tak jarang pelaku juga memanipulasi usia korban demi keamanan.
Praktik prostitusi melalui media sosial ini menjadi cara yang lebih aman dan efektif bagi para pelaku untuk menjalankan usahanya. Tidak melalui perantara pun, anak-anak yang sudah masuk dalam jejaring prostitusi dapat dengan mudah menemukan pelanggannya.
Sebelum ada media sosial, prostitusi anak sebenarnya sudah banyak ditemukan di berbagai ruang publik. Di Semarang, Jawa Tengah, data Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan pemberitaan Kompas pada 2001 menyebutkan anak-anak baik laki-laki maupun perempuan menjajakan dirinya di sekitar lapangan Simpang Lima dan Jalan Pahlawan. Mayoritas anak-anak berusia 14-17 tahun, tetapi ada pula yang berusia di bawah 14 tahun.
Begitu pula di Medan, tempat-tempat hiburan seperti tempat biliar, taman bermain, pusat perbelanjaan, kafe, dan warung kopi sering dijadikan lokasi prostitusi anak-anak. Bahkan, pelacuran anak di kota ini sudah tercatat sejak 1970-an.
Kelompok rentan
Sebagian anak-anak yang masuk dalam dunia prostitusi didorong oleh situasi perekonomian keluarga yang kurang sejahtera. Situasi ini juga menyebabkan mereka tidak mendapatkan akses pendidikan sehingga sulit mendapatkan pekerjaan yang layak. Akibatnya, anak-anak ini merasa ingin membantu keluarga atau hanya sebatas memenuhi kebutuhan pribadinya dengan menyediakan jasa prostitusi.
Selain karena keinginannya sendiri, tidak jarang anak-anak ini dijadikan jaminan untuk menutup utang-utang orangtuanya. Modus ini sering kali dilakukan para mucikari untuk menjerat anak supaya dapat dieksploitasi. Anak-anak yang berada di keluarga kurang sejahtera rentan menjadi sasaran prostitusi.
Selain itu, faktor lingkungan sekitar juga mendorong anak-anak menjadi target eksploitasi seksual. Kondisi ini ditemukan pada prostitusi yang menggaet anak-anak jalanan sebagai pekerjanya. Kerasnya kehidupan jalanan menjadikan lingkungan anak-anak jalanan ini terpaksa bekerja menjadi penjaja seks.
Penelitian Yayasan Setara pada 1999 menemukan bahwa 46,4 persen anak jalanan perempuan di Semarang terlibat dalam prostitusi. Sebagian memang bekerja penuh dalam prostitusi, sebagian lainnya hanya kadang-kadang terlibat saat tidak melakukan kegiatan lain di jalanan. Beberapa mengungkapkan alasan keterlibatannya, seperti terjerat sindikat (germo), tidak perawan lagi, ingin mendapatkan uang lebih banyak, bahkan karena kecanduan pil.
Meski penelitian sudah lama dilakukan, risiko masuknya anak jalanan dalam dunia gelap prostitusi masih saja terjadi. Pada 2018, KPAI dan Polres Jakarta Selatan menangani kasus eksploitasi seksual anak jalanan. Dua anak penjual tisu dijajakan kepada warga negara asing oleh perantara yang juga masih di bawah umur. Anak-anak itu menerima tawaran itu karena iming-iming uang.
Tidak hanya di jalanan, aksi prostitusi anak juga rentan menyasar daerah tujuan wisata. Penelitian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama dengan Lembaga ECPAT Indonesia menemukan sejumlah kasus eksploitasi seksual anak di 10 daerah kunjungan wisata. Sepuluh daerah itu adalah Karang Asem, Bali; Gunungkidul, Yogyakarta; Garut, Jawa Barat; Toba Samosir, Sumatera Utara; Bukit Tinggi, Sumatera Barat; Lombok, NTB; Kefamenanu, NTT; Jakarta Barat; dan Pulau Seribu, DKI Jakarta.
Hal yang patut dikhawatirkan menurut penelitian tersebut adalah tidak semua pemerintah daerah memiliki peraturan tentang perlindungan anak. Sebagian daerah juga tidak memahami potensi kejahatan seksual di wilayahnya.
Aturan tentang perlindungan anak di Indonesia memang masih lemah. Bahkan, regulasi yang mengatur khusus tentang prostitusi anak tidak ada. UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak pun tidak mengatur spesifik tentang prostitusi anak.
Baca juga: Jerat Hitam Prostitusi Anak
Hal ini menjadi penghambat penegakan hukum terkait dengan eksploitasi dan prostitusi anak. Lemahnya hukum memudahkan para pencari jasa seks anak baik WNI maupun WNA berkeliaran di Indonesia.
Situasi ini dapat bertambah parah di masa pandemi di mana anak-anak lebih banyak waktu karena sekolah daring, rentan sekolah, dan mengalami kesusahan secara ekonomi. Pemerintah dari berbagai sektor mulai dari pendidikan, sosial, pariwisata diharapkan bekerjasama mengupayakan perlindungan anak dari ancaman prostitusi. Data peningkatan prostitusi anak selama empat bulan pertama 2021 hendaknya menjadi alarm bagi perlindungan anak Indonesia. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Bongkar Sindikat Prostitusi Anak Lapis Atas