Kasus prostitusi anak di Rawa Bebek menjadi pintu masuk untuk membongkar jaringan atau sindikat prostitusi besar yang dioperasikan di kota-kota besar selama ini, yang terlibat dalam praktik perdagangan orang.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Langkah pihak kepolisian dan berbagai pihak yang membongkar lembaga prostitusi yang melibatkan anak di Rawa Bebek, Penjaringan, Jakarta Utara, mendapat apresiasi dari pihak terkait. Kasus p rostitusi anak di Rawa Bebek menjadi pintu masuk untuk membongkar jaringan atau sindikat prostitusi besar yang dioperasikan di kota-kota besar.
“Modusnya sangat rapi, melibatkan banyak pihak, bahkan oknum petinggi pejabat sipil / militer memback up bisnis ini. Karena itu yang dibongkar bukan hanya lapis bawah bisnis ini tetapi juga tingkat atas sehingga sindikasi ini bubar, ”kata Ahmad Sofian, Koordinator Nasional ECPAT (Prostitusi Anak Akhir, Pornografi Anak & Perdagangan Anak-Anak Untuk Tujuan Seksual) Indonesia, Jumat (24) / 1/2020), di Jakarta.
Sofian menilai, kasus pembongkaran sindikasi yang terjadi di Jakarta Utara, merupakan kasus "recehan". Polisi menyidik baru pada tingkat paling bawah dari bisnis ini. Jika penyidikan dinaikkan ke tingkat menengah, maka akan lebih kelihatan aliran dan perputaran uang bisnis. “Perputaran uangnya lebih besar dari Rp2 miliar,” ungkap Sofian.
Modusnya sangat rapi, melibatkan banyak pihak, bahkan oknum petinggi pejabat sipil / militer memback up bisnis ini. Karena itu dibongkar bukan hanya lapis bawah bisnis ini, tetapi juga tingkat atas.
Untuk membongkar sindikat kelas kakap, menurut Sofian, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) harus dilibatkan dalam penelusuran aliran uang bisnis seks anak-anak tersebut. Pendanaan dan perputaran uang bisnis seks menggunakan fintech (teknologi keuangan), sehingga Otoritas Jasa Keuangan harus memerketat pengawasan sistem pembayaran dengan menggunakan penyedia platform fintech .
Sofian menambahkan, perdagangan anak untuk tujuan seks merupakan bagian dari “bisnis” seks anak terorganisir dan dapat digolongkan sebagai kejahatan lintas negara teroganisir (kejahatan transnasional terorganisasi). “Bisnis prostitusi anak adalah bisnis seks global," ungkapnya.
Untuk itu, Kementerian Sosial dan Kementerian Dalam Negeri perlu memberi perhatian lebih serius pada anak-anak yang jadi korban. Salah satunya dengan menyediakan unit layanan anak-anak korban kekerasan dan eksploitasi seks anak di tiap kabupaten / kota. Apalagi, tren anak-anak korban kekerasan dan eksploitasi seksual meningkat, sedangkan pusat layanan hanya ada di 10 tempat.
Saat dihubungi secara terpisah, Deputi Perlindungan Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Nahar, menyatakan, KPPPA telah memberikan perhatian penuh terhadap kasus prostitusi di Rawa Bebek yang terungkap pada Senin (20/1/2020) lalu.
“Kami segera membentuk tim penjangkauan untuk menindaklanjuti kasus-kasus seperti ini dan menindaklanjutinya bersama lembaga terkait seperti kepolisian dan rumah aman,” tegas Nahar.
Pantau semua kafe atau bar
Emmy Lucy, Ketua Tim Perlindungan Anak Wahana Visi Indonesia (WVI), dalam siaran pers, menyatakan, kepolisian dan pemerintah perlu bekerja sama memantau tempat-tempat semacam kafe atau bar dan memastikan di tempat-tempat itu tidak terdapat anak yang bekerja di sana. "Jika ada kafe atau bar memekerjakan anak, maka perlu ditindak sesuai hukum yang berlaku," ujarnya.
Selain itu, mereka yang terlibat dalam proses perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual komersial anak perlu ditindak, mulai dari perekrutan daerah asal, saat transportasi anak, saat anak transit, hingga ke tempat tujuan anak.
Anak yang menjadi korban ekspolitasi seksi komersial juga harus mendapatkan layanan kesehatan, psikologis dan hukum, bukan sebaliknya. " Masyarakat perlu aktif melaporkan bila ada eksploitasi seksual anak yang terjadi di wilayahnya," ungkapnya menegaskan.
Orang tua perlu membesarkan dan meminta anak-anak mereka di media sosial yang digunakan untuk merekrut anak-anak. Ke depan, keterampilan pendidikan anak-anak dibutuhkan dalam kurikulum pendidikan nasional agar anak-anak dapat mendukung dan mengatasi tantangan, mengatasi kesulitan, melengkapi diri mereka dengan mengambil keputusan, dan mengatasi stereotip gender.
Anak-anak juga diharapkan melaporkan tantangan dan eksploitasi. Menurut Survei Nasional Pengalaman Penyiaran Anak dan Remaja pada Tahun 2018 oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 1 dari 11 anak perempuan mendukung 13-17 di Indonesia yang mendukung pelecehan seksual, hanya 5-6 persen melaporkannya.