Menyeriusi Humor Agar Tetap Waras
Humor membantu seseorang agar tetap merasa rileks dan terhindar dari stres, terutama di masa pandemi Covid-19.
Masalah kesehatan mental dapat dialami tiap orang yang merasa cemas, tertekan, atau khawatir berlebih. Humor menjadi sarana murah agar mental tetap sehat.
Isu kesehatan mental menjadi permasalahan yang diperhatikan belakangan ini seiring pandemi Covid-19 yang tidak kunjung reda. Perubahan pola hidup, tekanan dalam berbagai aspek, serta ketidakpastian berakhirnya pandemi dapat memicu permasalahan kesehatan mental. Bertepatan dengan Hari Kesehatan Mental Dunia pada 5 Oktober 2020 lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyuarakan kampanye untuk meningkatkan jumlah pendanaan untuk kualitas layanan kesehatan mental di seluruh dunia.
Pasalnya, hasil survei WHO menyimpulkan bahwa pandemi Covid-19 telah mengganggu layanan kesehatan mental di 93 persen dari 130 negara. Selain itu, lebih dari 60 persen negara melaporkan gangguan layanan kesehatan mental untuk orang-orang yang rentan, termasuk anak-anak dan remaja (72 persen), orang dewasa yang lebih tua (70 persen), dan wanita yang membutuhkan layanan sebelum dan sesudah melahirkan (61 persen).
Lebih lanjut, WHO menemukan adanya keterkaitan antara masalah kesehatan mental dan produktivitas ekonomi suatu negara. Menurut WHO, sebelum pandemi Covid-19, hampir 1 triliun dollar AS dari produktivitas ekonomi menghilang akibat masalah depresi dan kecemasan. Sementara itu, tiap 1 dollar AS untuk biaya perawatan depresi dan kecemasan menghasilkan produktivitas senilai 5 dollar AS.
Secara spesifik, WHO tidak menyebutkan negara mana saja yang sedang mengalami krisis dalam menyelenggarakan layanan kesehatan mental. Jika melihat situasi saat ini, Indonesia masih disibukkan dengan penanganan pandemi beserta rentetan bencana alam yang melanda di awal tahun. Dalam situasi inilah, kesehatan mental tetap perlu dijaga oleh tiap individu dan salah satunya dengan humor.
Memahami humor
Humor dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “sesuatu yang lucu” atau “keadaan yang menggelikan hati”. Jika digali berdasarkan akar katanya, humor berasal dari bahasa Latin (umor) yang berarti “cairan”. Maka, dalam berbagai acara, seringkali digunakan istilah “mencairkan suasana” agar situasi tidak menegangkan atau kaku.
Sejalan dengan asal mula katanya, humor dapat ditelusuri dari masa Yunani Kuno. Sejak 400 SM, masyarakat Yunani Kuno beranggapan bahwa suasana hati manusia ditentukan oleh empat macam cairan di dalam tubuh, yakni darah (sanguis), lendir (phlegm), empedu kuning (choler), dan empedu hitam (melancholy).
Jumlah kadar dalam tiap cairan itulah yang menentukan suasana hati dalam seseorang atau kelebihan pada salah satu cairan berpengaruh pada suasana tertentu. Darah menentukan suasana gembira (sanguine), lendir menentukan suasana tenang atau dingin (phlegmatic), empedu kuning menentukan suasana marah (choleric), dan empedu hitam untuk suasana sedih (melancholic). Itulah sebabnya, jika seseorang yang cepat marah sering disebut sebagai “orang yang darah tinggi”.
Konsep awal inilah yang kemudian menjadi sumbangan dalam teori-teori psikologi selanjutnya. Psikologi modern mengaitkan konsep tersebut dengan aktivitas sistem saraf otonom, terutama dalam reaktivitas emosional atau respons tubuh yang terkait dengan disposisi neurotik. Dari sinilah kemudian muncul pembedaan temperamen dalam diri seseorang (periang, penyedih, dan sebagainya).
Dapat dikatakan, konsep awal tentang humor jauh dari kesan sesuatu yang lucu, bahkan dipandang sebagai suatu keburukan. Plato, filsuf Yunani Kuno, adalah pemikir awal tentang humor dan menulis kritik atas sikap humor. Dalam The Republic, ia menuliskan bahwa tawa karena humor adalah emosi yang mengesampingkan pengendalian diri yang rasional.
Bahkan dalam Philebus, Plato menganalisis kenikmatan humor sebagai bentuk cemoohan. Ia menuliskan bahwa secara umum kekonyolan adalah suatu keburukan, maksudnya orang menertawakan orang lain karena dirinya merasa diri mereka lebih kaya, lebih tampan, atau lebih berbudi luhur dari yang lainnya. Dengan tertawa, orang menikmati suatu keburukan yang sebenarnya terjadi.
Akan tetapi di tangan Aristophanes, penyair dan dramawan Yunani Kuno, humor diadopsi dalam drama komedi dan memiliki arti yang berbeda. Dua karya termasyur darinya ialah The Birds (414 SM) dan The Clouds (423 SM). Humor dijadikan sajian utama dalam drama yang memberikan unsur jenaka dan menghibur penonton.
Di sisi lain, Aristophanes juga menjadikan humor sebagai sarana untuk mengkritik hingga mengolok-olok (satire) politikus, pejabat negara, dan kaum intelektual yang sombong. Dengan itulah, drama komedi menjadi hiburan bagi rakyat biasa yang dalam kehidupan sehari-hari tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Dari sinilah istilah “komoidoumenoi” (Bahasa Latin yang artinya “yang diolok-olok dalam komedi”) menjadi dikenal hingga digunakan komika Pandji Pragiwaksono sebagai judul tur lawakan tunggalnya yang dimulai tahun lalu.
Menangkal stres
Bertolak belakang dengan humor, stres merupakan kekacauan mental dan emosional yang disebabkan oleh berbagai faktor. Jika diabaikan, stres dapat berakibat buruk pada kesehatan mental seseorang. Sebab, tubuh bereaksi terhadap stres dengan memberi respon fisik, mental, dan emosional.
Dalam konsep psikosomatis (bahasa Latin, pikiran: psyche dan tubuh: soma), pikiran dan tubuh sesungguhnya kesatuan yang terpisahkan dan saling memengaruhi. Singkatnya, jika pikiran terbebani, merasa tertekan, cemas, dan sebagainya, tubuh akan mengalami penurunan daya tahan sehingga menimbulkan penyakit tertentu.
Gangguan psikosomatis ini sudah dikenal di dunia kedokteran dan kerap diatasi dengan terapi atau pengobatan yang berfokus pada kesehatan mental pasien. Melansir dari hellosehat.com, sistem saraf pusat pada manusia menjadi bagian tubuh yang paling bertanggung jawab dalam merespon stres, mulai dari pertama kali dirasakan hingga stres menghilang.
Sistem ini memberikan perintah dari hipotalamus ke kelenjar adrenal untuk melepaskan hormon adrenalin dan kortisol. Saat kortisol dan adrenalin dilepaskan, hati menghasilkan lebih banyak gula dalam darah untuk memberi energi pada tubuh seseorang.
Pelepasan hormon adrenalin dan kortisol menyebabkan peningkatan detak jantung, pernapasan lebih cepat, pelebaran pembuluh darah di lengan dan kaki, dan kadar glukosa darah meningkat. Saat stres mulai menghilang, sistem saraf pusat juga yang pertama kali memerintahkan tubuh untuk kembali ke normal.
Stres juga membuat pernapasan seseorang lebih cepat agar mengalirkan oksigen ke seluruh tubuh. Napas yang cepat atau hiperventilasi ini dapat menyebabkan serangan panik. Bahkan, dapat menyebabkan kambuhnya penyakit asma atau emfisema (penyakit karena rusaknya kantong udara) bagi penderitanya.
Selain itu, stres juga dapat berimbas pada sistem kekebalan tubuh atau imun manusia. Jika seseorang merasakan stres yang sementara, stres akan membantu mencegah infeksi dan penyembuhan luka. Sementara bagi yang merasakan stres berkepanjangan (stres kronis), tubuh akan lebih rentan terkena penyakit seperti influenza, flu, atau penyakit infeksi lainnya.
Di sinilah, humor membantu seseorang agar tetap merasa rileks dan terhindar dari stres. Ketika seseorang menerima stimulus humor hingga tertawa, bagian organ otak tengah akan memproduksi hormon endorfin dan dopamin alami yang mampu menjaga tubuh agar tetap rileks. Bahkan kedua hormon ini juga membantu meredakan nyeri hingga meningkatkan motivasi dan produktivitas seseorang.
Banyak cara
Kendati humor akan kehilangan esensinya jika ditanggapi dengan serius, namun jangan sepelekan manfaatnya bagi kesehatan fisik dan mental. Ada banyak cara untuk mengakses konten-konten humor saat ini. Humor dapat ditemukan di manapun, mulai dari tayangan televisi, media sosial, film, hingga obrolan ringan bersama orang terdekat.
Bahkan, dalam peristiwa serangan teroris beberapa minggu lalu, ada humor yang terselip. Warganet menyoroti kembali pernyataan Kasubdit Napi Deradikalisasi BNPT, Kolonel Sigit Karyadi pada 2017 silam yang menyatakan bahwa orang humoris sulit direkrut ke jaringan teroris. Alasannya, orang yang humoris cenderung mudah bergaul dan terbuka terhadap orang di sekitarnya, sedangkan orang yang tertutup lebih mudah dipengaruhi pikirannya.
Maka, tidak ada salahnya memelihara selera humor untuk menjaga kewarasan. Mengutip “mantra” lawas dari grup Warkop DKI di tiap penghujung filmnya, “Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang”. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mencegah Gelombang Pandemi Kesehatan Mental