Pasang Surut Partai Gurem Pascapemilu
Sistem multipartai melahirkan distribusi suara partai yang tidak merata. Akibatnya, partai gurem hadir sebagai konsekuensi sistem multipartai. Ada yang bertahan, ada yang layu sebelum berkembang.
Sistem multipartai yang dianut oleh Indonesia turut melahirkan partai dengan raihan suara kecil atau partai gurem sejak Pemilu 1955. Meski gagal meraih basis dukungan dalam skala besar, partai-partai kecil kerap kali menciptakan sebuah gerakan guna menjaga eksistensi. Beberapa di antaranya layu sebelum berkembang, sebagian lainnya berhasil bertahan.
Jika partai politik adalah arus sungai utama, partai gurem adalah anak sungai yang pasang surutnya tak kalah menarik untuk dicermati. Kecuali pada masa orde baru, partai gurem selalu hadir dalam ruang politik di Indonesia.
Sejak Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan maklumat pada 3 November 1945, Indonesia resmi menjadi negara yang menganut sistem multipartai.
Keputusan ini cukup berani karena saat itu tidak banyak negara yang bersedia mengawinkan sistem pemerintahan presidensial dan multipartai mengingat ancaman stabilitas yang harus dihadapi.
Ada beberapa dampak yang ditimbulkan dari lahirnya kebijakan multipartai pada awal periode kemerdekaan. Pertama, munculnya partai berdasarkan politik aliran, yakni sosialisme demokrat, nasionalisme radikal, Islam, tradisionalisme Jawa, hingga komunisme (Feith&Castles, 1988).
Konsekuensi dari munculnya politik aliran adalah terbentuknya polarisasi basis massa berdasarkan ideologi yang dianut oleh partai politik. Persoalannya, politik aliran ini cenderung menguntungkan partai-partai yang telah memiliki pijakan historis yang cukup kuat.
Bagi partai yang telah memiliki catatan sejarah panjang sebelum kemerdekaan, tak sulit untuk merawat basis massa yang telah terbentuk. Hal ini tampak dari raihan suara PNI, Masyumi, NU, dan PKI yang berhasil menduduki peringkat empat besar pada Pemilu 1955.
Namun, bagi partai alternatif lainnya, tampak begitu tertatih untuk mendulang raihan suara. Angkatan Comunis Muda (Acoma), misalnya, sama-sama menawarkan ideologi komunis, partai ini hanya meraih 64.514 suara (0,17) persen dalam Pemilu 1955, kalah jauh dari PKI yang menguasai 6,9 juta suara (16,36 persen).
Kondisi inilah yang melahirkan dampak kedua dari penerapan kebijakan multipartai, yakni munculnya partai-partai dengan raihan suara kecil atau partai gurem.
Dari seluruh partai yang ikut serta dalam pemilu 1955, hanya empat partai yang berhasil meraih suara di atas 15 persen. Sementara partai lainnya hanya meraih suara di bawah tiga persen.
Sebagai perbandingan, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) sebagai partai peraih suara terbanyak kelima dalam Pemilu 1955 hanya meraih 2,89 persen raihan suara, sangat jauh terpaut dibandingkan partai peringkat keempat, PKI yang meraih 16,36 persen suara.
Geliat
Meski berstatus sebagai partai kecil, saat itu partai politik yang memperoleh suara di bawah satu persen tetap dapat mengirimkan wakilnya ke parlemen. Pasalnya, belum ada ambang batas parlemen seperti yang saat ini diterapkan. Partai Republik Indonesia Merdeka, misalnya, meski hanya meraih 0,19 persen suara, partai ini mengirimkan satu perwakilan ke parlemen.
Sayangnya, empat tahun berselang, Soekarno mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 1959 tentang syarat-syarat dan penyederhanaan partai. Satu per satu partai berguguran saat itu, terutama setelah lahirnya Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 1960 tentang pembubaran DPR hasil Pemilu 1955. Dengan pembubaran DPR hasil pemilu, maka sirna sudah eksistensi satu per satu partai gurem hasil pemilu 1955.
Partai politik yang bertahan dan diakui oleh pemerintah hanya tinggal beberapa, seperti PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Murba, PSII, dan IPKI. Tampak beberapa partai gurem hasil Pemilu 1955 masih masih mampu bertahan, yakni Partai Katolik, Murba, PSII, dan IPKI.
Di tengah dominasi kepemimpinan Soekarno, partai-partai kecil ini tetap mencoba untuk menunjukkan eksistensinya di tengah-tengah gelanggang politik nasional. Pada Oktober 1965, misalnya, PSII, Partai Katolik, dan IPKI, dengan lantang menyuarakan kepada pemerintah agar membubarkan organisasi yang terlibat dalam gerakan kontra revolusi (Kompas, 6 Oktober 1965).
Ketiga partai ini juga tegas menyuarakan pembubaran PKI setelah peristiwa September 1965. Bersama sejumlah partai lainnya, seperti NU dan Parkindo, ketiga partai gurem ini senada menyuarakan tuntutan yang sama. Artinya, tampak partai-partai kecil hasil Pemilu 1955 masih memiliki taring untuk menyuarakan pandangannya di tengah kecamuk peristiwa 1965.
Suara-suara lantang juga masih disampaikan oleh IPKI pada masa transisi rezim pemerintah. Pada tahun 1968, misalnya, IPKI secara lantang mendesak pemerintah untuk menyelenggarakan pemilu secepat mungkin.
Saat itu, IPKI mengkhawatirkan adanya pihak-pihak dari rezim pemerintahan sebelumnya yang menghalangi penyelenggaraan pemilu. Kondisi ini menggambarkan bahwa sebagai partai kecil, IPKI tetap berani menyuarakan desakannya kepada pemerintahan (Kompas, 16 Oktober 1969).
Sayangnya, geliat partai gurem ini tak lagi tampak sepanjang era Orde Baru. Pasalnya, pemerintah melakukan fusi partai untuk menjaga stabilitas pemerintahan pada tahun 1973. PSII akhirnya bertransformasi menjadi PPP.
Sementara IPKI dan Partai Katolik melebur dengan partai lainnya ke dalam wadah Partai Demokrasi Indonesia. Bersama Golkar, praktis hanya tiga partai yang menghiasi pemilu dan parlemen sejak Pemilu 1971 hingga 1997.
Reformasi
Memasuki periode reformasi, partai gurem kian jamak bermunculan. Pada Pemilu 1999, misalnya, kehadiran 48 partai dalam pemilu menghasilkan banyak partai-partai dengan raihan suara kecil.
Menariknya, beberapa partai gurem yang muncul dari Pemilu 1999 adalah partai-partai yang mencoba mengulang jejak kejayaan di tahun 1955. Hal ini terlihat dari munculnya partai-partai dengan diksi yang mirip dengan partai pemenang Pemilu 1955, seperti PNI Front Marhaenis, PNI Massa Marhaen, hingga Masyumi baru. Namun, partai-partai ini hanya meraih suara di bawah 0,5 persen.
Pada akhirnya, satu per satu partai gurem hasil Pemilu 1999 layu sebelum berkembang. Tak ada gerakan masif yang dilakukan oleh partai gurem hingga Pemilu 2004. Dominasi partai dalam panggung politik nasional masih dimainkan oleh partai politik dengan raihan suara terbanyak.
Pada Pemilu 2009, 2014, dan 2019, tampak bahwa fragmentasi pilihan semakin mengental terhadap partai politik. Partai yang mendominasi pada setiap pemilu tidak begitu mengalami perubahan secara masif. Kondisi ini turut melahirkan partai gurem yang juga konsisten dengan raihan suara kecil dalam beberapa pemilu.
Baca juga: Pemilu 1955 Pembelajaran dari Era Partai Ideologis
Partai Persatuan Daerah (PPD), misalnya, jika pada tahun 2004 memperoleh 0,58 persen suara, pada Pemilu 2009 partai ini hanya meraih 0,53 persen suara. Kondisi serupa juga dialami oleh partai lainnya sepanjang sejarah pemilu dalam era reformasi.
Meski berstatus sebagai partai gurem dan tidak memiliki kekuatan di parlemen, partai-partai kecil ini tetap berupaya untuk menunjukkan eksistensinya di panggung politik nasional. Gerakan ini salah satunya tampak saat partai gurem bergabung dalam menentang ambang batas parlemen sebesar 3,5 persen pada tahun 2012.
Secara alamiah, ambang batas parlemen memang berfungsi untuk menyeleksi partai politik untuk masuk ke parlemen. Kebijakan ini menjadi pembeda antara pemilu saat ini dengan pemilu pada era orde lama dan orde baru. Sebab, partai dengan raihan suara kecil secara otomatis tidak dapat mengirimkan wakilnya ke parlemen.
Jelang 2024
Kini, jelang Pemilu 2024, sejumlah partai gurem hasil Pemilu 2019 tampak mulai menggeliat untuk terus menjaga eksistensinya. Berdasarkan hasil Pemilu 2019 lalu, terdapat beberapa partai yang gagal meraih ambang batas parlemen, yakni Perindo, Berkarya, PSI, Hanura, PBB, Garuda, dan PKPI.
Partai Hanura, misalnya, saat ini sejumlah pengurus di daerah telah mulai menggelar konsolidasi untuk mempererat internal partai. Hanura untuk pertama kalinya gagal lolos ke parlemen pada 2019 lalu setelah terlibat dalam dualisme kepengurusan partai politik.
Gerakan lainnya juga dilakukan oleh Partai Berkarya. Saat ini, partai tersebut tengah berjuang untuk keluar dari dualisme kepengurusan partai melalui jalur hukum. Pada Pemilu 2019 lalu, Berkarya cukup memberikan kejutan karena berhasil meraih suara yang lebih tinggi dibandingkan partai gurem berpengalaman lainnya, seperti Hanura dan PBB.
Sepanjang Indonesia menerapkan sistem multipartai dan ambang batas parlemen, selama itu pula partai gurem akan selalu hadir dalam gelanggang politik di negeri ini. Tentu menarik untuk menanti gerakan atau manuver politik yang dilakukan oleh partai kecil hingga ke sejumlah wilayah. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?