”Binge Watching”, Tenggelam dalam Arus Film Digital
Semakin muda usia, semakin tinggi perilaku menonton film terus-menerus tanpa jeda atau disebut ”binge watching”.
Menonton film melalui streaming video on demand (SVOD) hampir seharian tanpa jeda istirahat menjadi fenomena yang semakin menguat di masa pandemi, khususnya di kalangan remaja dan usia produktif.
Pola menonton film yang dinamakan binge watching ini sebetulnya bukan sesuatu yang baru. Menonton hingga tuntas satu serial dengan belasan episode hanya dalam 24 jam sudah menjadi rutinitas publik di sejumlah negara maju.
Salah satu contohnya adalah Amerika Serikat (AS). Menurut Sidneyeve Matrix, peneliti komunikasi digital di AS, hal itu bisa dilihat saat serial Arrested Development ditayangkan Netflix tahun 2013. Di masa itu, sekitar 60 persen rumah tangga di AS juga sudah beralih dari televisi konvensional ke tayangan streaming.
Tahun 2018, hasil survei Morningconsult di AS juga menguatkan fenomena tersebut. Lembaga ini melakukan jajak pendapat pada 25-26 Oktober 2018 dengan sampel 2.044 pemirsa televisi berusia 18 tahun ke atas lewat wawancara secara daring.
Hasil survei mereka menemukan, sebagian responden menonton film di televisi secara maraton. Ada tiga alasan yang ditemukan dari hasil survei, yaitu pemirsa ingin mengikuti cerita sampai akhir, kemudian faktor mengidolakan pemerannya, dan faktor ketiga adalah adanya waktu senggang yang harus dilewatkan.
Hasil riset dari lembaga itu juga mengungkapkan, sebagian besar responden melakukan binge watching beberapa kali seminggu atau bahkan setiap hari. Hasil jajak tersebut menunjukkan pola konsisten pada beberapa kelompok usia.
Semakin muda usia, semakin banyak juga responden yang mempunyai perilaku menonton film terus-menerus tanpa jeda. Sebanyak enam dari 10 responden dalam dalam jajak pendapat Morningcunsult yang melakukan binge streaming tayangan televisi adalah kalangan remaja dan usia produktif, di kelompok usia 18-29 tahun.
Mereka tak mempermasalahkan dampak buruk dari aktivitas itu, seperti tidur lebih larut, begadang, bahkan membatalkan acara lain agar tak putus menonton.
Baca juga : Industri Film Global di Tengah Pandemi
Kecanduan Menonton
Fenomena ini paling tidak menunjukkan bahwa kecanduan menonton terjadi secara jamak pada masa kemajuan media komunikasi teknologi saat ini. Merujuk Derek Johnson, peneliti budaya dan media di Universitas Wisconsin, AS, konsep binge watching bermula dari melalui televisi berbayar (TV kabel).
Sejumlah saluran televisi (channel) menayangkan serial-serial yang sama, secara berulang-ulang, baik siang maupun malam hari. Pola tersebut tetap dikonsumsi pemirsa dan makin berkembang ketika pemirsa juga bisa berpindah-pindah media, dari TV kabel ke streaming, bahkan sesekali menikmati rekaman melalui DVR (digital video recorder).
Upaya menarik pemirsa untuk terus-menerus menonton juga pernah dilakukan MTV ketika bekerja sama dengan Nickelodeon tahun 2007. Saat itu, Nickelodeon memproduksi serial Drake & Josh, iCarly, dan sejumlah tayangan video untuk anak-anak.
Cara yang sama kemudian dilakukan sejumlah platform tontonan digital, seperti Netflix, Disney, dan Amazon. Mereka pun menayangkan koleksi film produksi Nickelodeon. Pendek kata, gejala binge watching sebenarnya telah muncul sejak era televisi.
Kriti Krishan, psikolog India yang juga praktisi user experience, dalam artikelnya bertajuk ”Bingewatch Culture: Netflix, UX, and the Slow Demise of Moderation” (Juni 2020) menjelaskan, ada beberapa aspek yang menjelaskan kemampuan produsen film ”menjerat” seseorang menonton film hingga berjam-jam.
Pertama, strategi binge release. Keinginan untuk terus mengikuti cerita diupayakan bukan dari episode pertama, melainkan sejumlah kelanjutannya. Artinya, penonton langsung diberi sekian episode sekaligus.
Kedua, keseimbangan algoritma. Netflix mengukur segala hal yang spesifik terkait dengan kesenangan seseorang, mulai dari genre dan subgenre (film), selera warna, judul, hingga mengatur jeda antarepisode dan konten-konten tertentu. Hal itu dimaksudkan agar penonton bisa mengatur ritme selama menikmati tayangan. Keseimbangan ini bisa diistilahkan, the right title at the right time.
Menurut Krishan, dua strategi itu juga tak lepas dari kecenderungan psikologis yang terjadi di otak kita. Ada efek zeigarnic atau kecenderungan mengingat lebih kuat hal-hal yang belum selesai dikerjakan. Dan ini bisa termanifestasi dalam sebuah tontonan. Penonton pun akan terus terpengaruh oleh efek cliff-hanger atau perasaan penasaran dalam pikiran.
Di samping itu, ada juga efek eskapisme dan immersion (keterlibatan lebih dalam). Mengikuti sejumlah episode tanpa putus bisa membuat kita nyaman sejenak dari masalah hidup.
Efek ini juga membuat orang tak mudah untuk berubah. Dengan kata lain, mengapa ingin terus menonton, karena tak mau berubah dari sesuatu yang sudah biasa dijalani. Ini lebih kurang sama dengan efek hormon dopamin yang semakin meninggi jika frekuensi menonton semakin tinggi.
Ada pula efek spoiler culture. Karena rutin dan ”terlatih” mengikuti tanpa sela, perilaku binge menjadikan orang seperti ”rakus” menonton. Begitu ada tayangan baru, semua akan menonton secepat mungkin dan tak mau ketinggalan satu episode pun.
Baca juga : Menatap Masa Depan Film Indonesia di Ruang Digital
Tren meningkat
Pada sisi lain, sejatinya orang memiliki keterbatasan daya tahan dalam mengonsumsi tayangan film. Sebagai contoh, Netflix pernah melakukan penelitian skala binge yang dilakukan pada 2015-2016. Setelah mencermati lebih dari 100 tayangan serial televisi di 190 negara, mereka menetapkan bahwa kemampuan rata-rata menonton (sampai selesai) adalah sekitar dua jam sehari.
Meski demikian, faktor pandemi pun sedikit banyak ”memaksa” orang semakin banyak di rumah. Kondisi ini memperkuat peluang pasar konsumen media streaming. Netflix yang didirikan Wilmot Reed Hastings Jr pada tahun 1997 juga menjadi merek (brand) unggulan pada masa pandemi.
Mengacu pada The Worlds Most Valuable Brands 2020, keuntungan Netflix sekitar 26,7 miliar dollar AS. Persentase keuntungan setahun terakhir Netflix berada di atas brand terkenal lain, seperti Chanel, Amazon, Microsoft, dan PayPal.
Ketidakpastian akhir pandemi ke depan agaknya akan terus mendorong pertumbuhan platform penyedia layanan streaming video on demand, seperti Amazon Prime Video, Disney+, dan Netflix. Dengan koleksi genre film yang sangat beragam, Netflix pun melakukan ancang-ancang memperkuat tayangan konten lokal yang akan diproduksi di Brasil, Korea Selatan, Jerman, India, dan Jepang.
Melihat kecenderungan tersebut, kecanduan menonton, baik tayangan televisi maupun streaming film, masih akan menjadi wacana yang mengemuka. Pada akhirnya, semua kembali pada kesadaran dan kepedulian antar-individu agar tontonan hiburan tidak membawa diri pribadi tenggelam di dalamnya. (LITBANG KOMPAS)