Kehadiran polisi virtual disambut terbuka, meski peran mereka di dunia maya belum banyak dipahami. Literasi digital tetap jadi pekerjaan rumah di tengah meningkatnya interaksi di media sosial yang rentan akan kejahatan
Oleh
Arita Nugraheni/Litbang Kompas
·6 menit baca
Perbincangan tentang polisi virtual muncul setelah pada 19 Februari 2021 Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menerbitkan Surat Edaran Kapolri Nomor 2 Tahun 2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat dan Produktif.
Melalui surat edaran ini, polisi virtual bertugas untuk memantau aktivitas warga di media sosial. Jika konten yang diunggah berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektornik (UU ITE), polisi virtual akan mengirimkan pesan langsung kepada pemilik akun berupa peringatan untuk menghapus konten. Dalam catatan Kompas, pada rentang waktu 23 Februari-11 Maret 2021, polisi virtual telah mengidentifikasi 125 konten yang diajukan untuk mendapat teguran.
Laporan masyarakat atas kejahatan siber melonjak enam kali lipat di tahun 2020, bahkan angkanya sempat melonjak lebih dari sepuluh kali lipat di tahun 2019
Sebelum kehadiran polisi virtual, kepolisian juga membentuk satuan tugas bernama polisi siber. Satuan ini bertugas untuk melakukan penegakan hukum kejahatan di internet. Ruang lingkup polisi siber adalah kejahatan dengan alat utama komputer (computer crime) dan kejahatan dengan alat bantu komputer (computer-related crime). Seperti misalnya peretasan sistem elektronik, intersepsi ilegal, pornografi, atau perjudian.
Hal ini tidak lepas dari tren kejahatan di dunia maya cenderung meningkat dalam lima tahun terakhir ini. Data yang dikutip dari laman patrolisiber.id menyebutkan, di tahun 2015 jumlah laporan masyarakat akan kejahatan siber tercatat mencapai 352 laporan. Angka ini melonjak enam kali lipat di tahun 2020, bahkan angkanya sempat melonjak lebih dari sepuluh kali lipat di tahun 2019.
Hal ini tidak lepas dari tren semakin tingginya pengguna media sosial di Indonesia. Data Digital Report 2021 dari Hootsuite dan We Are Social menyebutkan, pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 ini mencapai 202,6 juta jiwa. Ada peningkatan 15,5 persen atau 27 juta jiwa jika dibandingkan pada Januari 2020. Penetrasi internet di Indonesia pada awal 2021 menurut laporan tersebut telah mencapai 73,7 persen.
Sayangnya, kehadiran satuan tugas kepolisian di ranah maya ini belum banyak diketahui masyarakat. Jajak pendapat Litbang pada 23-25 Maret 2021 memotret, sebanyak 61,1 persen responden tidak mengetahui keberadaan polisi virtual maupun polisi siber. Padahal, lebih dari 70 persen responden merupakan pengguna media sosial.
Sebanyak 61,1 persen responden tidak mengetahui keberadaan polisi virtual maupun polisi siber. Padahal, lebih dari 70 persen responden merupakan pengguna media sosial.
Kedekatan yang belum terbangun antara kepolisian dan masyarakat menjadi batu sandung terciptanya ekosistem yang sehat di dunia digital. Fungsi pengawasan yang pada hakikatnya bertujuan memberikan keamanan pada warganet dapat menjadi bumerang. Alih-alih menciptakan simbiosis mutualisme, polisi virtual justru dipandang sebelah mata, bahkan dikhawatirkan menjadi ancaman kebebasan berekspresi.
Disambut baik
Meskipun belum banyak yang mengetahui soal kehadiran polisi virtual ini, mayoritas responden dalam jajak pendapat menyambut baik kehadiran mereka. Sebanyak 77,4 persen responden menyampaikan, tugas polisi virtual untuk melakukan pengawasan di media sosial dianggap perlu. Penerimaan responden ini menyumbang narasi penting di tengah perdebatan soal peran polisi virtual yang seharusnya tidak melakukan fungsi pengawasan.
Tidak sekadar menyambut baik, publik juga berpendapat polisi virtual dinilai perlu menggandeng penyedia layanan media sosial guna melakukan langkah pencegahan. Harapan ini disampaikan oleh 70,1 persen responden yang melihat relasi keduanya menjadi penting dilakukan agar upaya pengawasan sekaligus pencegahan bisa lebih efektif.
Bagaimanapun, pengawasan diharapkan mampu menghadirkan ruang digital yang lebih sehat. Namun, pengawasan tidak akan efektif jika tidak dibarengi dengan literasi digital. Tidak bisa dipungkiri jika saat ini problem literasi digital tidak hanya menyelimuti masyarakat dengan latar pendidikan rendah. Ujaran kebencian dan konten bermuatan tidak pantas pun tidak jarang berasal dari figur publik.
Penilaian ini tercermin dari pengalaman responden yang sering melihat unggahan tidak beretika dari akun-akun figur publik. Sebanyak 64,6 persen dari kelompok responden pengguna media sosial mengaku pernah melihat konten yang diturunkan atau take down karena mengandung ujaran kebencian atau bermuatan tidak pantas. Konten yang tidak sehat itu pun tidak jarang berasal dari figur-figur panutan. Sebanyak 26,1 persen responden melihat unggahan di-take down berasal dari akun milik artis dan sebanyak 10,2 persen berasal dari akun figur politik.
Akun warga masyarakat yang berseliweran juga tak luput dari penurunan konten. Sebanyak 27,6 persen responden pernah menemukan konten yang diturunkan akun warga, bahkan sebagian di antara responden mengaku kontennya sendiri pernah diturunkan. Hal tersebut membuktikan bahwa konten bermuatan tidak pantas berasal hampir dari semua lapisan masyarakat.
Di tengah karut marut literasi digital yang belum matang, harapan hadir dari segelintir responden yang aktif bermedia sosial ini. Mereka memiliki kesadaran untuk berpikir berkali-kali lipat sebelum mengunggah konten. Hal ini nampak dari sebagian responden yang memutuskan untuk secara mandiri menghapus konten yang dianggap kurang pantas. Meski jumlahnya masih sedikit, kelompok kecil responden ini menjadi harapan peningkatan literasi digital yang bersumber dari inisiatif sendiri.
Harapan tersebut tercermin dari 7,5 persen responden yang mengaku pernah menghapus unggahan atau postingan karena ragu isinya akan menyinggung pihak lain atau sensitif. Sementara 2,5 persen lainnya bersedia menghapus unggahan atas permintaan pihak lain karena dianggap merugikan. Publik yang memiliki sikap mawas diri sebelum mengunggah konten ini tentunya perlu diapresiasi. Jumlahnya memang sedikit, tapi kesadaran mereka akan dampak negatif dari postingan di media sosial layak untuk diapresiasi.
Setidaknya hal ini disampaikan oleh 34,3 persen responden yang khawatir kehadiran polisi virtual ini mengancam kebebasan berpendapat di media sosial
Kebebasan berpendapat
Kehadiran polisi virtual yang melakukan pengawasan di media sosial juga tidak lepas dari kekhawatiran publik akan ancaman terhadap kebebasan berpendapat. Seperti yang dinyatakan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Wahyudi Djafar, polisi virtual bisa jadi menguatkan efek ketakutan, sehingga publik kian khawatir ketika akan berekspresi atau berpendapat di media sosial. Di sisi lain, pemantauan secara masif tanpa landasan hukum yang jelas berpotensi melanggar privasi (Kompas, 27/2/2021).
Kekhawatiran ini juga tertangkap di hasil jajak pendapat. Setidaknya hal ini disampaikan oleh 34,3 persen responden yang khawatir kehadiran polisi virtual ini mengancam kebebasan berpendapat di media sosial. Meskipun sebagian responden yang lainnya berpendapat sebaliknya, namun kekhawatiran dari sebagian responden ini tetap menjadi pekerjaan rumah bagi kepolisian. Setidaknya ada jaminan bahwa di tengah pengawasan yang dilakukan oleh polisi virtual, tetap ada jaminan tidak adanya pembatasan berekspresi di media sosial.
Meskipun demikian, imbas dari kekhawatiran ini pada akhirnya juga melahirkan sikap yang cenderung hati-hati bagi sebagian responden ketika berinteraksi melalui media sosial. Separuh lebih responden (57,6 persen) menyatakan lebih berhati-hati mengunggah konten di media sosial, baik berupa status, foto, atau video. Gejala ini memiliki dua arti, yakni mereka makin memiliki tingkat kesadaran untuk mengunggah konten yang tidak mengandung ujaran kebencian. Namun, di satu sisi, sikap ini juga berpotensi adanya ketakutan untuk berekspresi di ranah daring.Pada akhirnya, kehadiran polisi virtual diharapkan mampu membuka ruang kesadaran publik akan pentingnya literasi digital. Peran edukasi dan sosialisasi terkait rambu-rambu dalam penerapan UU ITE diharapkan juga menjadi agenda yang diperankan oleh semua pihak, termasuk polisi virtual.
Tentu, publik tidak berharap polisi virtual justru memunculkan dilema. Di satu sisi mereka melakukan pengawasan, namun di sisi lain mereka juga melahirkan ancaman dan kekhawatiran bagi publik. Terjaminnya kebebasan berpendapat dan perlindungan warga di dunia maya akan menjadi kata kunci sekaligus jawaban atas dilema tersebut.