Membangkitkan Kembali Kejayaan Film di Dalam Negeri
Di tengah beratnya tantangan penanggulangan Covid-19, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan terus berupaya menyiapkan langkah strategis guna mengembalikan geliat industri film nasional.
Oleh
Eren Marsyukrilla
·5 menit baca
KOMPAS/DOKUMENTASI MENTARI PROJECT
Proses shooting film dokumenter berjudul Cipto Rupo yang disutradarai Catur Panggih Raharjo. Film itu diproduksi dengan bantuan pendanaan dari Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2019. Foto ini merupakan dokumentasi Mentari Project.
Pandemi Covid-19 memang telah memukul ke titik keterpurukan paling dalam di tengah perkembangan industri film dalam negeri yang sedang melejit. Di tengah beratnya tantangan penanggulangan Covid-19, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan terus berupaya menyiapkan langkah strategis guna mengembalikan geliat industri film nasional.
Berdasarkan data dari laman resmi organisasi film nasional, filmindonesia.or.id, pertumbuhan film Indonesia selama satu dekade lalu menunjukkan tren yang sangat positif. Setelah tahun 2012, jumlah produksi film Indonesia terus stabil lebih dari 100 film.
Bahkan, di masa itu pula, pada 2016, rekor jumlah penonton terbanyak terpecahkan oleh film berjudul Warkop DKI Reborn: Jangkrik Bos! Part 1. Film bergenre komedi yang disutradarai Anggy Umbara itu menggaet lebih dari 6,8 juta penonton. Menyusul kemudian film Dilan 1990 yang dirilis pada 2018, juga mencatatkan diri sebagai film dengan jumlah penonton tembus di atas 6 juta penonton.
Kesuksesan banyak film di tahun 2018 itu menandakan pula puncak dari produksi film yang tercatat mencapai 146 judul film. Setahun kemudian, trennya sempat menurun di angka 130 film, tetapi angka produksi itu tergolong masih sangat stabil jika dibandingkan dengan capaian di tahun-tahun sebelumnya.
Perubahan drastis akibat belenggu Covid-19 benar-benar dirasakan sepanjang tahun 2020, di mana insan perfilman di Tanah Air hanya mampu menelurkan karya 58 film. Pembatasan aktivitas dan sejumlah penyesuaian baru yang diterapkan oleh pemerintah sebagai langkah untuk menekan penyebaran virus pun tentu berdampak pada proses pembuatan film baik yang sedang berjalan maupun yang dalam tahap rencana. Di pertengahan tahun 2020, ada sedikitnya ada 30-an film yang batal proses produksinya.
Dalam pembuatan film, ada banyak proses kreatif yang harus dilakukan secara langsung tatap muka dengan sokongan jumlah kerabat kerja yang tak sedikit jumlahnya. Adanya kemungkinan kerumunan di lokasi shooting selama proses kreatif dan pengambilan gambar membuat hal tersebut berat untuk dilakukan dengan pertimbangan keselamatan seluruh pihak dari penyebaran virus.
Tren menurun
Tak hanya proses di hulu, pandemi juga memukul industri hiburan teater. Di awal masa pembatasan sosial lalu, bioskop menjadi salah satu sektor komersial yang tak lagi dapat beroperasi.
Hal itu tak pelak membuat seluruh lini industri hiburan layar harus menelan pil pahit, mulai dari pemecatan karyawan hingga tak sedikit bioskop yang harus gulung tikar akibat tak kuasa mengeluarkan biaya perawatan gedung teater di tengah ketiadaan pemasukan.
Asosiasi Produser Film (Aprofi) memperkirakan, selama tahun 2020, potensi kehilangan pendapatan industri film mencapai Rp 1,6 triliun hanya akibat hilangnya potensi pendapatan yang berasal dari tiket bioskop.
Jumlah kerugian itu tentunya lebih besar lagi jika harus mengalkulasi adanya penambahan biaya karena penyesuaian proses pembuatan film atau bahkan film yang batal diproduksi.
Melesunya produktivitas hulu industri film selama pandemi pun berdampak pada menurunnya ketersediaan film buatan dalam negeri yang dapat dinikmati oleh penggemarnya.
Hal tersebut pun tergambar dari hasil jajak pendapat yang dilakukan Kompas terhadap 518 responden. Hasil survei tersebut mengungkap bahwa sebagian besar (62,9 persen) responden mengaku tak pernah menonton film buatan Indonesia selama enam bulan terakhir.
Sebanyak 18,1 persen responden lainnya menyatakan pernah menonton satu hingga dua film Indonesia. Sementara terdapat 11,7 persen responden yang menonton telah menonton tiga hingga lima film dalam negeri.
Para responden penikmat film tersebut berasal dari latar usia yang cukup beragam. Rata-rata didominasi oleh kalangan Gen Y yang masuk kategori milenial dewasa (22-30 tahun) dan Gen X (41-52 tahun).
Selain ketersediaan film yang minim dan pembatasan aktivitas di bioskop, adanya berbagai platform digital yang menyediakan layanan menonton film dari rumah cukup menjadi alternatif di masa pembatasan aktivitas. Tak kurang dari 15,7 persen responden memanfaatkan layanan digital berbayar untuk dapat mengakses film-film pilihannya.
Meskipun demikian, lebih dari sepertiga responden lainnya justru lebih memilih kanal-kanal streaming yang gratis tanpa harus berlangganan. Di tengah rendahnya kesadaran membayar tayangan film yang belum tumbuh baik melalui platform resmi, bertebarannya kanal film berbasis daring yang gratis dan mudah diakses itu justru manjadi sandungan besar bagi dukungan kemajuan industri film di dalam negeri di tengah terpaan krisis masa pandemi.
Sempat lebih dari enam bulan terpuruk dan tak boleh beroperasi, harapan industri film untuk dapat kembali bergeliat muncul setelah pada Oktober 2020 pemerintah memperkenankan sebagian bioskop di Jakarta untuk kembali dibuka.
Tentunya pelayanan hiburan yang dapat dinikmati penonton harus mengikuti protokol kesehatan yang ketat, misalnya tempat duduk yang berjarak hingga keluar ruang teater di setiap 30 menit untuk menghirup udara luar.
Beroperasinya kembali bioskop-bioskop tak lantas mengembalikan industri film seperti sediakala. Tentu tak mudah untuk mengembalikan antusiasme masyarakat untuk kembali menonton film di bioskop di tengah bayang-bayang penularan Covid-19 dan sejumlah aturan protokol kesehatan yang diterapkan. Pandemi yang masih membelenggu memang belum dapat mengembalikan roda perputaran industri film dalam negeri yang sedang menikmati musim seminya.
Terkait hal tersebut, di awal Maret 2021 para insan perfilman bersurat kepada Presiden Joko Widodo. Selain mencurahkan kondisi bioskop yang belum sepenuhnya bangkit, dalam surat tersebut juga tebersit harapan pemerintah dapat lebih memperhatikan nasib pekerja dan industri film yang sangat terpukul akibat pandemi Covid-19.
ARSIP CAHYO PRIHANTORO
Di masa pandemi Covid-19, CLC Purbalingga masih melanjutkan pendampingan untuk para pelajar yang memproduksi film.
Bak gayung bersambut, surat yang dikirim tersebut pun mendapat respons langsung dari presiden dan beberapa hari setelah itu perwakilan industri film diundang untuk bertemu langsung dengan presiden.
Dalam pertemuan itu, insan perfilman menyampaikan sejumlah permohonan, termasuk di antaranya stimulus untuk distribusi film lewat dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), menggalakkan kampanye menonton di bioskop, keringanan pajak untuk industri film, menindak pembajakan film, hingga program vaksinasi untuk pekerja film.
Menanggapi permohonan itu, Presiden Joko Widodo berjanji akan melakukan langkah konkret guna dapat membangkitkan kembali industri film di dalam negeri. Langkah-langkah perbaikan pun segera dirumuskan oleh pemerintah, termasuk berkoordinasi dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta para kepala daerah.
Tanggapan positif dari pemerintah serta langkah konkret yang diupayakan tentu menjadi oase di tengah kegundahan pelaku industri film dalam negeri setelah sekian lama terpuruk pandemi.
Optimisme dan membaiknya industri film nasional juga tergambar dari tren positif produksi film yang ditunjukkan sepanjang triwulan tahun 2021, tercatat ada 17 film yang sudah selesai diproduksi dan siap dinikmati oleh penonton.
Kini, dengan terus membaiknya upaya penanganan penyebaran Covid-19, ada harapan besar dunia perfilman dalam negeri pun perlahan dapat bangkit dari keterpurukan. Semoga kerja berat yang tengah digencarkan seluruh pihak itu dapat berdampak positif bagi kemajuan film di Tanah Air. (LITBANG KOMPAS)