Pembatasan Periode Perkuat Sistem Presidensial (Bagian Kedua)
Di tengah alasan pandemi yang membuat revisi UU Pemilu dibatalkan, wacana tiga periode jabatan presiden yang harus melalui amendemen tentu menjadi sekadar cek ombak untuk mengukur respons publik.
Pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut dirinya tidak lagi tertarik menjabat presiden untuk periode ketiga menjadi jawaban atas polemik wacana penambahan masa jabatan presiden tersebut.
Pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode ini jamak dilakukan oleh negara-negara yang mempraktikkan sistem presidensial dalam pemerintahannya.
Di Indonesia sendiri, pilihan membatasi masa jabatan presiden paling lama dua periode ini semangatnya untuk menjaga kesinambungan program pemerintah sekaligus menjaga ritme sirkulasi elite nasional. Apalagi pembatasan ini pada hakikatnya untuk memperkuat sistem presidensial itu sendiri.
Pembatasan masa jabatan presiden dua periode pada hakikatnya untuk memperkuat sistem presidensial.
Selain pembatasan masa jabatan, sistem presidensial juga dikuatkan dengan proses bagaimana keterpilihan presiden dan wakil presiden. Jika sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR, pada hasil amendemen ketiga UUD 1945, 1-9 November 2001, disebutkan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Memilih langsung presiden diyakini lebih memperkuat sistem presidensial dari aspek dukungan sosial.
Penguatan sistem presidensial lainnya adalah terkait syarat pemberhentian presiden. Sebelumnya, memberhentikan presiden di tengah jalan relatif lebih banyak ditopang oleh alasan-alasan politis. Hal tersebut dilakukan ketika Presiden Soekarno diberhentikan karena dianggap tidak mampu menjelaskan peristiwa 30 September 1965.
Hal yang sama juga dialami oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang dinilai melanggar konstitusi dengan membubarkan DPR/MPR. Kini, amendemen menghasilkan Pasal 7A UUD 1945 memberikan dalil pelanggaran hukum yang lebih rigid untuk pemberhentian presiden dan tidak lagi semata alasan politik.
Dalam pasal tersebut, presiden dan wakil presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatan kalau dia melanggar norma yang secara eksplisit disebutkan dalam konstitusi, seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela ataupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
Usul pemberhentian pun harus diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR.
Pendapat tersebut terkait bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Dan pendapat bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
Pengajuan permintaan DPR kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.
Tentu, syarat dukungan ini juga sesuatu yang tidak mudah untuk diwujudkan ketika tren dukungan parlemen kepada pemerintah lebih dominan dibandingkan kekuatan partai politik yang berada di luar pemerintahan.
Pro-kontra
Namun, tentu wacana ini penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode tetap melahirkan pro dan kontra, terutama di kalangan politisi sendiri. Wacana presiden tiga periode ini pertama kali dicuitkan oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Puyuono melalui akun media sosialnya menanggapi pernyataan mantan Ketua MPR Amien Rais yang menduga ada rencana amendemen terkait masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
Politisi Gerindra ini setuju wacana presiden tiga periode tersebut, bahkan dalam salah satu tayangan di televisi, Arief meyakini 85 persen masyarakat mendukung wacana ini.
Sementara sikap partai politik lainnya cenderung menolak wacana ini, bahkan tidak ada rencana soal perubahan amendemen terkait masa jabatan presiden. Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Masinton Pasaribu, menegaskan bahwa wacana presiden tiga periode merupakan wacana liar.
Menurut Masinton, sampai saat ini tidak ada pembahasan mengenai perubahan ketentuan pembatasan periode jabatan presiden, baik di DPR maupun MPR. Menurut Masinton, sejauh ini MPR hanya membahas amendemen terbatas konstitusi untuk mengatur pokok-pokok haluan negara (GBHN).
Usulan menghidupkan GBHN bisa jadi akan menyasar pada presiden beserta pemilihannya dan masa jabatan, termasuk periodisasi.
Hal yang sama juga dinyatakan oleh politisi Golkar yang juga Ketua MPR Bambang Soesatyo yang memastikan bahwa MPR tidak pernah melakukan pembahasan apa pun untuk mengubah Pasal 7 UUD 1945. Sikap yang sama juga disampaikan Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid yang menegaskan, tidak ada agenda MPR untuk mengamendemen UUD 1945 guna memperpanjang masa jabatan presiden.
Sementara itu, dalam artikelnya, ”Amendemen UUD, GBHN, dan Jabatan Presiden”, Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM Zainal Arifin Mochtar menyebutkan, wacana revisi terhadap masa jabatan presiden juga tidak lepas dari upaya wacana amendemen untuk menghidupkan kembali GBHN. Menurut dia, usulan menghidupkan GBHN bisa jadi akan menyasar pada presiden beserta pemilihannya dan masa jabatan, termasuk periodisasi.
”Pun jika Presiden Jokowi tak berniat, bagaimana jika didorong dan dipaksakan MPR? Bagaimana jika Presiden mengubah niatnya, seperti ketika ia mengubah niat memperkuat KPK dan pemberantasan korupsi, tetapi malah jadi inisiator perubahan UU KPK dan melemahnya pemberantasan korupsi saat ini,” tulis Zainal (Kompas, 17/3/2021).
Konstitusionalitas
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Muhammad Ihsan Maulana, menyebutkan, wacana tiga periode masa jabatan presiden sebenarnya menjadi langkah mundur jika dihadapkan dengan konstitusionalitas jabatan presiden selama ini.
Dalam paparannya di webinar yang digelar komunitas sipil ”Nyari Presiden (Nyapres)”, Ihsan menjelaskan soal konstitusionalitas jabatan presiden dan wakil presiden selama ini yang sebenarnya lebih menguatkan adanya pembatasan dibandingkan penambahan masa jabatan, Kamis (18/3/2021).
Wacana tiga periode jabatan presiden ini pada dasarnya ”bertentangan” dengan semangat konstitusionalitas yang selama ini sudah dilakukan. Sebut saja mulai dari TAP MPR No XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang disahkan pada Sidang Istimewa MPR Tahun 1998.
Kemudian dilanjutkan dengan amendemen Pasal 7 UUD 1945 dan terakhir adalah Putusan MK No 40/PUUXVI/2018 yang menolak uji materi terkait masa jabatan presiden dan wakil presiden dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Dari sejumlah langkah ini, jelas sekali semangat yang hendak dibangun memang untuk membatasi masa jabatan presiden yang pada akhirnya demi menguatkan sistem presidensial itu sendiri.
Fakta tak bisa dibantah, upaya revisi UU No7/2017 tentang Pemilu saja kandas di DPR dengan pertimbangan agar pemerintah fokus terhadap upaya penanganan pandemi.
Apalagi wacana tiga periode presiden yang prosesnya harus melalui amendemen di MPR. Pada akhirnya, dalam wacana tiga periode jabatan presiden akan diuji, apakah ini sekadar isu semata atau upaya ”cek ombak” untuk mengukur respons publik. (LITBANG KOMPAS)