Mencari Jejak Anak Pekerja Migran
Diperlukan dukungan ketersediaan basis data anak pekerja migran sebagai pijakan untuk memulai program perlindungan dan pemberdayaan untuk mereka.
Tantangan awal yang harus dibuat Pemerintah Indonesia untuk mengupayakan pendampingan dan perlindungan bagi anak pekerja migran adalah menyusun data keberadaan mereka. Tanpa data yang terukur, pemberdayaan anak pekerja migran bakal tidak maksimal.
Tidak mudah mencari keberadaan anak pekerja migran. Berbagai penelitian dapat mengungkap permasalahan anak pekerja migran, tetapi belum mampu menemukan berapa jumlahnya. Upaya menelusuri anak pekerja migran dapat dimulai dari mencari data pekerja migran. Melalui penelusuran pekerja migran, setidaknya akan didapat latar belakang pekerja migran, terutama menyangkut keluarganya.
Publikasi Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Tahun 2020 yang dikeluarkan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menunjukkan penempatan pekerja migran pada 2020 mencapai 113.173 orang. Sebagian besar pekerja migran ini telah berkeluarga atau pernah membina rumah tangga. Sebanyak 72.034 pekerja migran (63 persen) yang ditempatkan pada 2020 memiliki status menikah dan cerai.
Data pekerja migran kemudian menyebar ke jenis kelamin, pendidikan, kategori pekerjaan, provinsi asal pekerja migran, kabupaten/kota asal domisili, hingga negara penempatan. Tidak ada data lanjutan mengenai keluarga pekerja migran, termasuk informasi mengenai anak. Padahal, melihat data pekerja migran yang telah berkeluarga, besar kemungkinan jumlah anak pekerja migran di Indonesia juga cukup banyak.
Petunjuk lain yang dapat ditelusuri untuk mengungkap kisaran jumlah anak pekerja migran di Indonesia adalah penelitan tentang anak pekerja migran. Hanya saja, kebanyakan penelitian tentang anak pekerja migran mengambil pendekatan studi kasus yang memberikan fokus penelitian di suatu daerah.
Beberapa studi dilakukan di Tulungagung, Indramayu, Wonosobo, Gresik, Cirebon, hingga Lombok Timur. Fokus penelitian membuat data jumlah anak pekerja migran belum dapat terlihat jelas.
Titik terang datang dari survei Indonesian Family Life Survey (2007). Disebutkan sebanyak 28 persen pekerja migran internasional memiliki anak. Namun, data keberadaan anak pekerja migran hanya sebatas menyebutkan persentasenya saja. Sebagai petunjuk populasi, data ini dapat dikembangkan dengan menyandingkan dengan data pekerja migran pada 2007.
Merujuk data BNP2TKI saat itu, terdapat 696.746 pekerja migran yang ditempatkan ke luar negeri. Sementara total pekerja migran yang bekerja di luar negeri hingga 2007 sebanyak 4,337 juta orang.
Menggunakan basis data tersebut, diperkirakan ada 195.088 anak pekerja migran. Jumlah tersebut bertambah banyak jika menggunakan penghitungan dari total pekerja migran yang tinggal di luar negeri. Jika menggunakan angka total pekerja migran hingga 2007, setidaknya terdapat 1.214.360 anak pekerja migran.
Hanya saja, perkiraan jumlah tersebut terbatas pada saat penelitian dilakukan. Dinamika data pekerja migran dapat terjadi dalam rentang waktu yang muncul setelah 14 tahun sejak penelitian tersebut dilakukan.
Dalam tiga tahun terakhir saja, jumlah pekerja migran Indonesia cenderung menurun. Data pekerja migran pada 2020 yang dicatat Bank Indonesia dan BP2MI sebanyak 3,192 juta orang, menurun 1,145 juta orang dibandingkan saat 2007.
Penelitian yang relatif baru dilakukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial, bertajuk ”Anak Pekerja Migran Perempuan dan Tantangan Bonus Demografi” (2018). Riset dilakukan terhadap anak pekerja migran perempuan di delapan kabupaten/kota, yaitu Cirebon, Jombang, Sambas, Lampung Timur, Lombok Timur, Soe-NTT, Gowa, dan Deli Serdang.
Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 156 anak pekerja migran perempuan dan 156 pengasuh di delapan daerah yang menjadi daerah asal pekerja migran terbanyak pada 2017. Dari sampel yang didapatkan, lagi-lagi belum bisa memberikan kepastian berapa jumlah anak pekerja migran di Negeri ini. Namun, penelitian ini memberikan sejumlah indikasi profil dan permasalahan yang dihadapi anak pekerja migran di kantong-kantong wilayah pekerja migran.
Profil responden
Penelitian yang dilakukan di beberapa lokasi dapat dapat dianalisis untuk mengetahui profil respondennya. Anak pekerja migran yang dimaksud adalah mereka yang berumur di bawah 18 tahun yang ditinggal orangtuanya, terutama ibunya, ke luar negeri sebagai pekerja migran. Dari delapan kabupaten/kota yang menjadi lokasi penelitian tersebut, setidaknya terdapat gambaran jenis kelamin dan usianya.
Berdasarkan jumlah responden anak dalam penelitian tersebut, dapat ditemukan latar belakang jenis kelamin anak pekerja migran. Sebanyak 52 persen anak berjenis kelamin perempuan dan 48 persen berjenis kelamin laki-laki.
Adapun dari latar belakang usianya, sebagian besar anak pekerja migran berumur 6-10 tahun sebanyak 32,7 persen. Komposisi umur terbanyak berikutnya adalah anak yang berusia 11-15 tahun dan usia 16-18 tahun. Dari komposisi umur ini ditemukan juga anak-anak yang ditinggal ayah atau ibunya bekerja di luar negeri saat berusia di bawah lima tahun (balita). Terdapat 19,2 persen usia anak balita yang ditinggal bekerja sebagai pekerja migran.
Kondisi ini menjadi gambaran permasalahan dini anak pekerja migran. Ditinggalkan bekerja di luar negeri membuat sejumlah hak-hak dasar anak terabaikan, seperti hak mendapat air susu ibu, hak mendapat pendampingan pertumbuhan pada usia emas 1-5 tahun, hingga pendaftaran kelahiran dan kewarganegaraan (akta kelahiran).
Samar-samar keberadaan jumlah anak pekerja migran menjadi tantangan memenuhi hak-hak anak pekerja migran. Sebagai bagian dari ekosistem anak Indonesia, keberadaan anak pekerja migran mutlak untuk mendapat perlindungan. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pekerja Migran Indonesia menegaskan lingkup pelindungan pekerja migran Indonesia, juga termasuk melindungi kepentingan keluarganya.
Masa depan bangsa
Pembangunan anak terus diupayakan pemerintah karena mereka merupakan aset bangsa pada masa depan. Jumlah anak di Indonesia pada 2019 mencapai 84,4 juta orang atau sebesar 31,6 persen dari total populasi penduduk Indonesia.
Program pembangunan sumber daya anak yang dilakukan pemerintah dimulai dari perlindungan agar tumbuh kembang mereka berjalan baik. Membangun generasi anak yang unggul akan menentukan bonus demografi bagi Indonesia pada masa depan.
Akan tetapi, pembangunan sumber daya anak masih menghadapi sejumlah permasalahan utama, seperti lingkungan pengasuhan, cakupan air susu ibu, kepemilikan akta kelahiran, dan terhambatnya pendidikan. Profil Anak Indonesia 2020 yang disusun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebutkan ada sebanyak 4,82 persen anak tidak tinggal dengan kedua orangtuanya.
Berbagai penelitian dapat mengungkap permasalahan anak pekerja migran, tetapi belum dapat menemukan berapa jumlahnya.
Problem lain adalah cakupan ASI eksklusif masih 67,74 persen, kepemilikan akta kelahiran pada anak usia 0-17 tahun yang baru mencapai 86 persen, masih terdapat 12,96 persen anak tidak/belum pernah bersekolah serta 3,81 persen lainnya tidak bersekolah lagi. Di luar itu, masih ada 37,94 persen anak yang tidak memiliki jaminan kesehatan.
Beragam problem anak Indonesia tersebut beririsan dengan permasalahan yang dihadapi anak pekerja migran yang sejak kecil ditinggal orangtuanya bekerja. Kondisi tersebut menggambarkan rentannya anak Indonesia, termasuk anak pekerja migran, dari situasi tumbuh kembang yang ideal.
Agar dapat berkembang dengan baik, anak memerlukan lingkungan pengasuhan yang baik. Sebagaimana 4,82 persen anak Indonesia yang tidak tinggal bersama keluarganya, sebagian besar anak pekerja migran (79 persen) ditinggalkan ayah atau ibunya saat masih berusia kurang dari 10 tahun. Sepertiganya bahkan ditinggal saat balita.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 menetapkan target penurunan persentase anak balita yang mendapat pola asuh tidak layak menjadi 3,4 tahun 2024. Rancangan pembangunan tersebut juga memberikan target menurunkan proporsi anak yang tidak tinggal bersama kedua orangtuanya menjadi 4,64 persen pada 2024.
Lapangan pekerjaan
Dalam konteks perlindungan anak pekerja migran, target tersebut harus diimbangi dengan dua kebijakan. Pertama, penurunan proporsi anak yang tinggal bersama orangtuanya harus diikuti solusi memberikan lapangan pekerjaan di daerah-daerah yang selama ini menjadi kantong pekerja migran. Tanpa ada pekerjaan, masyarakat yang dihimpit kemiskinan akan mencari alternatif pekerjaan di luar negeri.
Hasil jajak pendapat Kompas pada 2-4 Februari 2021 lalu mengungkapkan, hampir semua responden (90 persen) lebih memilih bekerja di negeri sendiri jika ada lapangan pekerjaan daripada bekerja di luar negeri dengan risiko kehilangan momentum kebersamaan dengan keluarganya.
Baca juga: Akar Masalah Anak Pekerja Migran yang Telantar
Kebijakan kedua adalah pembenahan pola asuh anak migran. Ini dapat dilakukan dengan memberikan pendampingan bagi kerabat yang selama ini menjadi pengasuh anak pekerja migran. Pendampingan ini sekaligus memastikan jaminan hak-hak anak pekerja migran yang banyak terabaikan, seperti kepemilikan akta lahir, akses pendidikan, kecukupan gizi, dan akses kesehatan.
Untuk mencapai target tersebut, diperlukan dukungan ketersediaan basis data anak pekerja migran sebagai pijakan untuk memulai program perlindungan dan pemberdayaan mereka. Tanpa didukung data yang jelas mengenai jumlah dan lokasi keberadaan yang dapat menjadi ukuran keberhasilan, upaya pemberdayaan anak pekerja migran bakal tidak maksimal. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Merajut Asa Anak Pekerja Migran Indonesia