Membaca Arah Kesejahteraan Pascapandemi
Terdapat kecenderungan menguatnya problem kualitas penduduk yang akan berdampak pada kesejahteraan manusia Indonesia di masa depan.
Sesudah pandemi Covid-19 berakhir, Indonesia akan berhadapan dengan tantangan besar pengentasan rakyat dari kemiskinan di desa dan perbaikan mutu pendidikan.
Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, Indonesia tengah berupaya mewujudkan program Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030. Merujuk laman SDG2030indonesia.org, SDGs adalah rencana aksi global yang disepakati oleh para pemimpin dunia, termasuk Indonesia. Rencana aksi ini bermuara pada maksud mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan, dan melindungi lingkungan.
Sebagian tujuan SDGs berkaitan erat dengan indikator yang telah lama diterima luas secara global, yakni Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indeks yang diperkenalkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) ini menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan.
Akses penduduk terhadap hasil pembangunan diukur lewat 3 indikator. Adapun indikator tersebut mencakup umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup layak.
Dalam konteks nasional, IPM juga menjadi bagian dari data strategis. Indeks ini mencerminkan kinerja pemerintah dan salah satu pertimbangan penyaluran dana alokasi umum (DAU) dari pemerintah pusat ke daerah.
Sedemikian pentingnya IPM tersebut sehingga tidaklah berlebihan jika berbagai analisis dilakukan guna melihat faktor-faktor yang berdampak pada perubahan indeks ini. Lebih jauh lagi, konteks pandemi Covid-19 mulai menunjukkan dampak pada penurunan kesejahteraan manusia di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Baca juga: Membaca Data Kemiskinan di Masa Covid-19
Kecenderungan gambaran tersebut dapat dibuktikan lewat analisis statistik dengan metode regresi logit, yang menggunakan data tuntut ruang 34 provinsi tahun 2020. Variabel yang digunakan dalam analisis ini adalah beberapa faktor yang diduga memengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Besaran IPM di suatu provinsi akan memburuk jika provinsi bersangkutan tidak mampu mengatasi kemiskinan di kawasan perdesaan. Provinsi yang mencatat peningkatan kemiskinan wilayah perdesaan 1 persen akan berpeluang meraih IPM 0,59 kali lebih rendah ketimbang provinsi lain yang tidak mengalami kenaikan persentase kemiskinan di wilayah desanya.
Analisis parsial antara variabel pendidikan di desa dan IPM juga menunjukkan kecondongan yang menarik dicermati. Suatu provinsi lebih berpeluang meraih IPM yang tinggi jika penduduk di wilayahnya mengenyam pendidikan lebih tinggi.
Provinsi yang berhasil meningkatkan waktu sekolah penduduknya setahun lebih panjang akan berpeluang 7,6 kali lebih besar meraih IPM tinggi ketimbang provinsi lain yang tidak mampu meningkatkan rata-rata lama sekolah penduduknya. Sementara itu, analisis regresi logit menunjukkan bahwa pengaruh variabel kemiskinan di perkotaan terhadap IPM tidak menunjukkan hasil signifikan secara statistik.
Sejauh ini, belum ada perbedaan yang nyata antara tingkat keberhasilan provinsi dalam mengatasi problem kemiskinan di kota dan peluang suatu provinsi mengubah besaran IPM. Pendek kata, perbaikan kesejahteraan di perdesaan berdampak bersar terhadap keberhasilan pembangunan secara nasional.
Baca juga: Problem Pelik Kemiskinan di Desa
Dampak Covid-19
Sejauh ini, belum ada perbedaan yang nyata antara tingkat keberhasilan provinsi dalam menekan penularan kasus Covid-19, dengan peluang setiap provinsi dalam mengubah IPM. Hasil analisis regresi secara statistik menunjukkan bahwa pengaruh kedua variabel ini tidaklah signifikan.
Namun demikian, arah negatif antara variabel angka reproduksi kasus Covid-19 (Rt) dan IPM tetap menunjukkan interpretasi yang menarik. Dapat dibaca, provinsi yang berhasil menurunkan angka Rt Covid-19 1 satuan akan berpeluang 0,52 kali lebih besar meraih IPM tinggi ketimbang provinsi lain yang tidak mampu menekan laju penularan Covid-19.
Walaupun belum signifikan, pengaruh negatif tingkat penularan Covid-19 terhadap pembangunan layak diwaspadai di masa depan. Hal tersebut layak menjadi catatan, mengingat Indeks Pembangunan Manusia mengukur dimensi kesehatan dengan dasar penghitungan usia harapan hidup bayi yang baru lahir.
Penghitungan indeks dimensi kesehatan yang terbatas pada indikator tersebut belum tentu cukup mengukur dampak Covid-19 yang potensial berdampak pada kualitas kesehatan penduduk, khususnya penduduk usia muda dan produktif.
Sementara, dari total 1,31 juta kasus positif Covid-19 per 25 Februari 2021, dua pertiga di antaranya terjadi pada penduduk usia 0-45 tahun. Mereka merupakan penduduk di kelompok usia muda dan usia produktif.
Melihat hasil analisis statistik, baik secara deskriptif maupun multi-faktor, terdapat kecenderungan menguatnya problem kualitas penduduk yang akan berdampak pada kesejahteraan manusia Indonesia di masa depan.
Penduduk usia muda dan produktif yang terpapar Covid-19 akan menjadi motor pembangunan di masa mendatang. Sebagian penduduk muda akan memasuki usia produktif, sedangkan sebagian lagi akan memasuki usia tua.
Kecenderungan demikian dapat dilihat dari proyeksi tren sederhana dengan metode single moving average 2 periode. Secara statistik, hasil analisis menunjukkan perubahan proporsi penduduk pada berbagai kelompok usia satu dekade ke depan.
Merujuk hasil proyeksi tersebut, proporsi penduduk muda yang berada di kelompok umur nol hingga 14 tahun akan menurun. Gambaran serupa ada pada penduduk usia 65 tahun ke atas yang tergolong sebagai penduduk tua.
Baca juga: Pandemi Menguat, Penduduk Miskin Meningkat
IPM menurun
Dalam satu dekade ke depan, komposisi penduduk usia muda akan menurun dari 70,72 persen menjadi kurang dari 70 persen merujuk hasil proyeksi statistik tersebut. Sementara itu, hasil analisis yang sama menunjukkan proporsi penduduk tua juga akan turun dari 5,95 persen menjadi 5,5 persen sepanjang tahun 2020-2030.
Penduduk usia produktif tentu akan menanggung beban sosial-ekonomi penduduk usia muda dan tua. Kualitas kesehatan maupun pendidikan sebagian penduduk produktif yang meningkat akan tetapi terdisrupsi oleh Covid-19, tecermin pada kecenderungan melambatnya IPM di masa depan.
Sepanjang tahun 2010-2020, angka IPM menunjukkan tren kenaikan cukup tinggi. Kenaikan IPM tertinggi terjadi tahun 2014-2015, yakni 0,65 poin. Sementara, di tahun-tahun sebelumnya IPM hanya meningkat paling tinggi 0,61 poin.
Setelah tahun 2015, kenaikan IPM cenderung melambat. Kenaikan IPM tahun 2018-2019 tercatat di bawah 0,6 poin. Bahkan, tahun 2020 IPM meningkat tipis 0,02 poin.
Hasil proyeksi IPM tahun ini dengan metode single moving average 2 periode pun memperkuat melambatnya IPM. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa IPM justru bisa menurun tipis pada tahun ini.
Kendati masih berada pada kategori tinggi (di atas 70), proyeksi besaran IPM 2021 secara nasional tersebut sangat mungkin menunjukkan hasil beragam di setiap provinsi. Variasi IPM dan persentase kemiskinan, baik antarprovinsi maupun wilayah kota dan desa, pada akhirnya membawa tantangan besar perbaikan kesejahteraan. Proyeksi pun akan lebih akurat sesudah penularan pandemi Covid-19 ini mulai mereda atau bahkan berakhir. (LITBANG KOMPAS)