Pariwisata tidak hanya dilihat sebagai sumber ekonomi, tetapi juga untuk kelestarian lingkungan alam serta budaya masyarakatnya.
Oleh
Arief Nurrachman
·4 menit baca
Kekayaan wisata alam dan budaya di Nusa Tenggara Timur adalah andalan untuk memikat wisatawan. Pendekatan pariwisata berkelanjutan, yang mengedepankan aspek ekonomi, ekologi, dan sosial budaya, bisa menjadi acuan model pengembangan di provinsi ini.
Eksotisme berbalut budaya itulah kesan yang dirasakan jika berwisata ke wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Tak hanya keindahan panorama alamnya yang menjadi daya pikat, tapi juga kekayaan budaya serta tradisi yang masih terjaga kuat oleh masyarakat adatnya.
Pantai Nihiwatu di Sumba Barat adalah salah satunya. Obyek favorit ini dikenal sebagai pantai yang indah dan surga bagi peselancar dunia. Perkampungan rumah adat dapat ditemukan di Wae Rebo, yang dikenal dengan rumah ikoniknya. Atau, arena menyelam di taman bawah laut di Pulau Alor. Tak hanya laut, di dataran tingginya pun menyimpan keindahan seperti terlihat di kawah tiga warna Kelimutu.
Itulah deretan wisata unggulan di wilayah 1.192 pulau ini yang coba dipaparkan mantan Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sapta Nirwandar, bersama Frans Teguh, pada bab awal buku Kepariwisataan NTT Menuju Kelas Dunia.
Dalam pengantar dijelaskan, beragam obyek pariwisata tersebut berhasil mengundang hampir 1,2 juta wisatawan pada tahun 2018, sesuai yang dilaporkan Badan Pusat Statistik pada publikasi ”Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam Angka 2019”. Angka ini menunjukkan pertambahan sekitar 400.000 wisatawan dibandingkan tahun 2014.
Mencermati tren pertumbuhan positif ini, Sapta, yang berkedudukan sebagai chairman Indonesia Tourism Forum (ITF), dan Frans Teguh, putra kelahiran NTT, mengingatkan pentingnya menjaga keberlanjutan pariwisata itu untuk masa depan. Bagi mereka, pariwisata tidak hanya dilihat sebagai sumber ekonomi saja, tetapi juga demi kelestarian lingkungan alam serta budaya masyarakatnya.
Diharapkan pembangunan sektor periwisata jangan justru merusak ekosistem dan menghilangkan keaslian budayanya. Apalagi, karena NTT memiliki keistimewaan bentang alam dan flora dan fauna endemik seperti di Taman Nasional Komodo.
Kepariwisataan berkelanjutan
Keduanya mengajukan konsep pengelolaan kepariwisataan berkelanjutan. Dengan pendekatan ini, kegiatan diarahkan kepada pengoptimalan manfaat kepariwisataan demi lingkungan alam dan komunitas lokal dalam jangka waktu yang tidak terbatas, tanpa merusak sumber daya pariwisata. Sumber daya pariwisata bisa berupa lingkungan, budaya, atau bahkan buatan manusia.
Kepariwisataan berkelanjutan ini bisa disesuaikan dengan kearifan lokal dan daya dukung lokal. Kearifan lokal menjadi penting agar potensi wisata dapat ditonjolkan dan masyarakat setempat juga terlibat aktif dalam pengelolaannya.
Dengan demikian, keuntungan yang dihasilkan dapat mengalir kembali kepada penduduk lokal. Sementara itu, daya dukung diperlukan untuk menyeimbangkan tingkat kepuasan wisatawan dengan lingkungan fisik dan keragaman hayati.
Karakterikstik kepariwisataan berkelanjutan yang memosisikan masyarakat sebagai pemangku kepentingan utama harus didukung dengan pembangunan kualitas masyaratnya. Untuk mewujudkan sumber daya manusia (SDM) pariwisata yang ideal, literasi pariwisata perlu dibangun sejak awal.
Literasi pendukung
Ini bisa dicapai, antara lain, melalui pendekatan pendidikan formal dan pelatihan bagi semua pelaku industri pariwisata, mulai dari aparatur, pengusaha dan karyawan industi pariwisata, hingga masyarakat setempat.
Pendidikan dan pelatihan ini bisa berlangsung apabila ada kerja sama dan koordinasi multisektor dari para pelaku tersebut. Tujuannya agar mereka memiliki basis literasi pariwisata yang sama, di samping softskill lainnya, seperti kemampuan berbahasa dan kemampuan kepemanduan wisata tentunya.
Di samping literasi pariwisata, kemampuan lain yang juga musti dimiliki oleh insan kepariwisataan adalah literasi digital. Hasil survei daring Digital Traveler Research tahun 2018 menyebutkan, Indonesia menempati posisi kedua tertinggi di dunia sebagai negara dengan jumlah wisatawan yang cakap dalam memanfaatkan teknologi digital.
Transformasi ini perlu diperhatikan SDM kepariwisataan, khususnya untuk pengembangan pariwisata berbasis digital. Penggunaan media sosial sebagai sarana promosi yang telah dirintis Dinas Pariwisata NTT perlu diperluas untuk menjangkau kaum milenial, termasuk berkolaborasi dengan influencer.
Sejumlah strategi pemasaran kreatif dikemukakan untuk meningkatkan pengunjung, antara lain melalui metode storynomic tourism, yaitu mengedepankan narasi, konten kreatif, yang dipadukan dengan kekuatan budaya.
Salah satu contohnya bisa dilakukan dengan mendokumentasikan lewat video tradisi menyambut tamu masyarakat Sikka. Tamu akan disambut dengan tradisi hule wair, yaitu disiram dengan air kelapa dengan dua helai daun huler. Model pengembangan promosi offline seperti menghadirkan festival lokal berstandar internasional juga bisa dilakukan.
Di tengah pandemi yang menyurutkan kegiatan pariwisata, panduan yang dirilis World Tourism Organization (UNWTO) pada Mei 2020 memberikan harapan untuk merebut kembali kepercayaan pengunjung. Inovasi dan penerapan standar kesehatan yang tinggi adalah dua kunci memulihkan industri pariwisata. (LITBANG KOMPAS)