Kompleksitas Fenomena Gelandangan di Indonesia
Semakin lama pembiaran, gelandangan semakin banyak bermunculan dengan persoalan yang kian kompleks.
Langit sebagai atap rumahku
Dan bumi sebagai lantainya
Hidupku menyusuri jalan
Sisa orang yang aku makan…
Sepenggal lirik lagu karya Raja Dangdut Rhoma Irama tersebut merepresentasikan kehidupan gelandangan yang sebenarnya. Jalanan menjadi kawan dan sumber penghidupan mereka setiap harinya.
Fenomena ini pun bukanlah hal baru di Indonesia, bahkan di dunia. Layaknya lagu tersebut yang diciptakan hampir setengah abad lalu (1972), persoalan gelandangan telah mengemuka jauh sebelum Indonesia merdeka.
Hingga tiga per empat abad paska Indonesia mereka, gelandangan masih menjadi keprihatinan pemerintah, masyarakat, dan berbagai lembaga.
Kementerian Sosial (Kemensos), sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas keberadaan gelandangan, beserta sejumlah penelitian lainnya menyebutkan, gelandangan muncul sebagai dampak dari persoalan ekonomi berkepanjangan yang kemudian meluas menjadi problem sosial.
Gelandangan banyak dijumpai di daerah perkotaan, ketimbang di pedesaan. Hal ini tak lain sebagai akibat dari adanya disparitas pembangunan di desa dan kota. Sehingga, tidak sedikit kelompok individu yang berbondong-bondong ke kota untuk mengadu nasib.
Baca juga: Gelandangan Belum Optimal Tertangani
Kemiskinan
Minimnya kesempatan mendapatkan pekerjaan di pedesaan dan tingginya angka kemiskinan di desa, kerap mendorong individu untuk mencari peruntungan kota. Badan Pusat Statistik mencatat, meski mengaami penurunan dari tahun ke tahun, kemiskinan di pedesaan selalu lebih tinggi dari perkotaan dan angka kemiskinan secara nasional.
Persentase penduduk miskin di pedesaan mencapai 12,9 persen pada tahun 2019. Angka tersebut mencapai hampir dua kali lipat dari persentase penduduk miskin di perkotaan, yakni 6,7 persen di tahun yang sama.
Di sisi lain, mata pencaharian utama daerah pedesaaan seperti sektor pertanian dirasakan berat bagi sejumlah kelompok masyarakat pedesaan. Sarana untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari tidak bisa ditunda, sementara pendapatan dari sektor pertanian adalah musiman.
Belum lagi usia yang sudah lanjut, menjadi hambatan bagi kelompok lansia untuk bekerja di sektor pertanian. Maka, mengadu nasib di kota, bahkan menjadi gelandangan atau pengemis, menjadi pilihan. Seperti yang dialami salah seorang informan dalam penelitian Hikmawati dan Kuntari (2017) di Kabupaten Karangasem Bali.
Baca juga: Problem Pelik Kemiskinan Desa
Magnet Kota
Fenomena gelandangan yang erat kaitannya dengan urbanisasi (perpindahan dari desa ke kota) ini juga tidak bisa dilepaskan dengan faktor industrialisasi. Industrialisasi umumnya terjadi di daerah perkotaan dan menjajikan berbagai macam pekerjaan. Sehingga disparitas antara pedesaan dan perkotaan menjadi semakin nyata.
Masifnya pembangunan di perkotaan dan aktifnya kegiatan ekonomi seolah menjanjikan dan dianggap mampu memberi penghidupan. Hal tersebut memperkuat motivasi masyarakat pedesaan untuk turut merasakan “gula-gula” yang ada kota. Tak heran jika proporsi penduduk perkotaan di Indonesia semakin besar.
Masih di tahun yang sama, lebih dari separuh (55,9 persen) penduduk Indonesia tinggal di kota. Proporsi tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun.
Merujuk data Bank Dunia, satu dekade sebelumnya, proporsi penduduk Indonesia yang tinggal di kota masih lebih sedikit dari penduduk di pedesaan. Jika, ditarik mundur ke belakang, sekitar setengah abad yang lalu, persentase penduduk di kota masih sebesar 17 persen. Artinya, pergeseran penduduk dari desa ke kota meningkat lebih dari tiga kali lipat dalam kurun waktu 50 tahun.
Bahkan, jumlah penduduk kota akan semakin banyak di masa mendatang. BPS memprediksi, jumlah penduduk di daerah perkotaan aka mencapai 66,6 persen atau dua per tiga dari total populasi di Indonesia pada tahun 2035.
Salah satu kota yang memiliki magnet paling kuat untuk menarik minat masyarakat pedesaan adalah Jakarta. Bagaimana tidak, Jakarta tidak hanya sebagai Ibu Kota Negara Indonesia, tetapi juga menjadi pusat berbagai jenis bisnis.
DKI Jakarta, menjadi satu-satunya provinsi yang semua komponen pembetuknya adalah kota. Berbeda dengan provinsi lain yang masih memiliki kabupaten dan terdapat unsur pedesaan di dalamnya.
Baca juga: Di Emperan Toko, Mereka Menanti Remahan Belas Kasih Warga
Urbanisasi
Merujuk publikasi BPS bertajuk “Profil Migran” yang merupakan hasil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2019, DKI Jakarta menjadi salah satu dari lima besar provinsi tujuan migran, baik migran risen maupun migran seumur hidup. Migran risen merupakan sebutan bagi penduduk yang pernah tinggal tempat tinggal dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DKI Jakarta mencatat, terdapat sebanyak 151.047 penduduk migran yang masuk ke wilayah DKI pada tahun 2018. Jakarta Timur menjadi wilayah yang paling banyak diminati.
Namun demikian, tingginya angka migran masuk ke DKI Jakarta juga selaras dengan tingginya jumlah gelandangan di DKI. Kemensos mencatat, DKI Jakarta menjadi provinsi dengan jumlah gelandangan terbesar ke-6 pada tahun 2011, sebanyak 1.071 orang.
Data termutakhir yang dirilis pemerintah provinsi DKI menyebutkan, pada tahun 2019 jumlah gelandangan meningkat menjadi 1.528 orang, atau sebesar 43 persen. Sebelumnya, tahun 2014, Jakarta menduduki peringkat ke-6 dalam jajaran kota-kota dengan jumlah gelandangan terbanyak di dunia setelah Manila, Kota New York, Los Angeles, Moskow di Rusia dan Kota Meksiko (Karim, 2014).
Selain DKI Jakarta, Jawa Timur (Jatim) dan Sumatera Utara (Sumut) juga mencatat angka gelandangan dalam jumlah besar hingga menduduki posisi pertama dan kedua terbesar. Tahun 2011, jumlah gelandangan di dua provinsi tersebut masing-masing 2.088 dan 1.790 orang.
Sama halnya dengan DKI, jumlah gelandangan di Jatim dan Sumut juga mengalami peningkatan. Menurut data termutakhir yang dirilis BPS Jatim, jumlah gelandangan pada tahun 2018 mencapai 3.507 orang, meningkat 68 persen. Jatim juga menjadi salah satu dari lima besar tujuan migran risen pada tahun 2019.
Sementara, jumlah gelandangan di Sumut tahun 2019 mencapai 3.405 orang, atau naik dua kali lipat dari tahun 2011. Tingginya jumlah gelandangan di Jatim di Sumut tak lepas dari kedudukan posisi keduanya yang sama-sama memiliki salah satu kota besar di Indonesia, yakni Surabaya dan Medan, dengan magnet ekonomi yang tak berbeda dengan Jakarta.
Baca Juga: Urbanisasi Bisa Jadi Peluang Kemajuan Bangsa
Pendidikan
Awalnya, perpindahan penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain memang menjadi agenda pemerintah untuk mendorong adanya pemerataan dan upaya mengurangi kemiskinan. Namun, pilihan untuk berpindah, khususnya ke kota, tanpa bekal keterampilan yang memadai, akan berujung pada meningkatnya jumlah gelandangan.
Merujuk publikasi “Profil Migran”, lebih dari separuh (53 persen) penduduk migran risen di Indonesia memiliki latar pendidikan yang rendah. Sepertiga dari mereka bahkan tidak memiliki ijazah SD.
Bisa dibayangkan, mereka tidak mendapat ruang untuk memperoleh pekerjaan di daerah asal mereka karena pendidikan yang rendah. Kemudian mereka berupaya mencari keberuntungan di daerah lain.
Mereka harus berupaya lebih keras dengan keterampilan yang minim, di tanah orang, untuk bersaing dengan individu lain yang juga sedang mengadu nasib. Sementara, jika kota yang menjadi tujuan mereka, pendidikan dan keterampilan menjadi tuntutan utama. Maka, menggelandang dan hidup dari belas kasihan orang lain menjadi pilihan terakhir.
Baca juga: Mereka Menyambung Hidup dengan Beras Bantuan
Sementara, pandemi Covid-19 turut berdampak pada hilangnya pekerjaan bagi jutaan penduduk. Situasi ini membuat para migran yang semula bekerja dan memiliki tempat tinggal, baik kos maupun kontrak, berpotensi menjadi gelandangan karena tidak lagi memperoleh pendapatan.
Potensi munculnya gelandangan baru menguat dari persentase penduduk miskin di perkotaan menjadi 7,4 persen pada Maret 2020, meningkat 0,7 poin persen dibandingkan Maret 2019.
Menilik fenomena dan potensi yang mungkin terjadi, menjadi penting bagi pemerintah untuk segera mengatasi persoalan mendasar yang melatarbelakangi merebaknya gelandangan di tanah air. Pemerataan pembangunan yang kini masih terus dikerjakan, harus dibarengi dengan penyediaan lapangan pekerjaan.
Bersamaan dengan itu, peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan patut dioptimalkan, mengingat persaingan di masa depan akan semakin ketat. Hal ini sebagai upaya agar tidak melahirkan generasi-generasi baru yang nasibnya juga berujung sebagai pengembara jalanan.
Di sisi lain, penanganan gelandangan belum bisa dikatakan ideal. Penjaringan, rehabilitasi, pelatihan, serta pendidikan mental perlu ditanamkan agar muncul kesadaran untuk tidak kembali ke jalanan yang berpotensi melahirkan generasi yang menggelandang.
Problem sosial yang berawal dari keterbatasan ekonomi ini membutuhkan kerjasama banyak pihak agar teratasi optimal. Menunda penanganan gelandangan, sama artinya dengan mempercepat pertumbuhan populasi kelompok masyarakat ini.
(LITBANG KOMPAS)