Survei Litbang Kompas menunjukkan, meski masih ada sebagian warga yang ragu-ragu bahkan menolak vaksinasi, namun persentase mereka yang antusias cukup signifikan.
Oleh
Bestian Nainggolan
·5 menit baca
Upaya pemerintah mengakhiri pandemi Covid-19 melalui pengenalan vaksin maupun program vaksinasi, mulai bersambut. Kendati masih menyisakan keragu-raguan dan bahkan penolakan pada sebagian kalangan, namun antusiasme publik dominan terekspresikan. Terbukti, kini bagian terbesar masyarakat cenderung menerima vaksin Covid-19. Selain itu, mereka pun bersiap jika vaksinasi dilakukan pada dirinya.
Gambaran sikap semacam ini terkonfirmasi dari hasil survei Kompas terhadap 2.000 responden di 34 provinsi yang dilakukan tatap muka pada 27 Desember 2020 hingga 9 Januari 2021. Tak kurang dari tiga perempat bagian responden (76 persen) yang diwawancarai mengaku bersedia divaksinasi, dengan beragam pertimbangan yang mendasarinya. Pada sisi yang berseberangan, tersisa seperempat bagian menolak, dan yang ragu-ragu divaksinasi (Grafik 1).
Kesediaan masyarakat divaksinasi semacam ini terbilang tinggi. Dengan proporsi penerimaan sebesar itu, sebanyak 181,5 juta penduduk yang ditargetkan pemerintah menerima vaksinasi, di atas kertas bukan lagi perkara yang mustahil dicapai.
Penerimaan publik menjadi pertimbangan penting yang memengaruhi kesuksesan vaksinasi, di samping aspek ketersediaan maupun distribusi vaksin. Selanjutnya, sepanjang tingginya akseptasi masyarakat terhadap vaksin dan vaksinasi bisa dipertahankan, maka herd immunity yang disasar akan potensial terwujud. Jalan terang akhir pandemi makin terbuka.
Penerimaan relatif
Namun, sayangnya, besaran proporsi penerimaan masyarakat dalam survei kali ini bersifat relatif. Masih tercermin berbagai kerentanan yang memungkinkan kondisi sebaliknya terjadi. Pasalnya, seperti juga yang ditunjukkan pada survei-survei Kompas sebelumnya, penerimaan ataupun penolakan terhadap vaksinasi tidak dibangun berdasar landasan nilai guna manfaat medis vaksin.
Di balik manfaat medis yang ada di dalamnya, produk vaksin dan kebijakan vaksinasi Covid 19 cenderung bertransformasi ke dalam dimensi-dimensi lain seperti ekonomi, sosial, dan politik. Tak jarang, dimensi-dimensi semacam itu yang lebih menonjol dalam menentukan keberhasilan ataupun kegagalan dari kondisi yang disasar.
Penerimaan ataupun penolakan terhadap vaksinasi tidak dibangun berdasar landasan nilai guna manfaat medis vaksin.
Gambaran keterlibatan berbagai dimensi ekonomi, sosial, maupun politik tampak nyata pada pola penyikapan masyarakat saat ini. Hasil survei menunjukkan, jika sejauh ini tingginya kesediaan warga divaksinasi tak terlepas dari berbagai upaya dalam mengendalikan berbagai dimensi ekonomi, politik, maupun sosial vaksin.
Jika bersandar pada sebatas sisi manfaat medis vaksin dan vaksinasi, misalnya, tidak cukup besar penerimaan masyarakat yang terbentuk. Hanya 26,8 persen responden yang melandasi kesiapannya divaksinasi dengan pertimbangan nilai guna manfaat vaksinasi Covid-19. Justru bagian terbesar (49,2 persen) melandasi sikap bersedia divaksinasi dengan mengedepankan kalkulasi ekonomi, politik, sosial keagamaan.
Dari berbagai dimensi yang berpengaruh, pertimbangan ekonomi menjadi yang terbesar. Pertimbangan ekonomi dalam survei ini terkait nilai ekonomi yang dipertukarkan dalam pemenuhan vaksin serta vaksinasi. Umumnya, publik keberatan jika vaksin dan vaksinasi perlu berbayar.
Sekalipun sebagian kalangan bersedia berbayar, mereka berharap jika negara perlu ikut meringankan beban ekonomi dengan kebijakan subsidi harga. Hanya dua persen responden saja yang tergolong mampu mengalokasikan anggaran pribadinya demi vaksin.
Itulah mengapa, tatkala Presiden Joko Widodo, 15 Desember 2020 memutuskan pembebasan pembiayaan vaksinasi, ibarat angin segar bagi warga. Kebijakan ini terbukti mengalihkan penyikapan 15,4 persen responden yang sebelumnya enggan divaksinasi. Dengan vaksin digratiskan, kesediaan masyarakat divaksinasi siginifikan meningkat. Tercatat 53,4 persen bersedia divaksinasi.
Tak hanya berhenti pada pertimbangan ekonomi, peningkatan ataupun penurunan minat divaksinasi pun dipengaruhi dimensi sosial keagamaan. Produksi vaksin, meski dinilai sebagai suatu kreasi teknologi medis terkini dengan jaminan derajat efikasi yang tinggi, tak serta merta menjamin keinginan semua kalangan menggunakannya. Pada level konsumsi, hasil survei mengindikasikan terbangunnya keragu-raguan akan jaminan kehalalan vaksin, termasuk vaksin Covid 19.
Terbitnya sertifikasi kehalalan vaksin oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa saat lalu, relatif efektif dalam meredam potensi penolakan vaksinasi Covid-19. Menurut hasil survei ini, tercatat 8,6 persen responden yang sebelumnya menolak divaksin, kini beralih menyatakan siap divaksinasi dengan jaminan kehalalan. Sejalan dengan pengendalian sisi sosial keagamaan semacam ini, konfigurasi kesediaan publik divaksinasi pun makin bertambah. Kali ini tercatat menjadi 62 persen.
Selain faktor ekonomi dan sosial keagamaan, tingginya proporsi kesediaan masyarakat divaksinasi juga dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan politik. Faktanya, di negeri ini vaksin dan vaksinasi tidak terlepas dari atribusi ataupun simbol politik yang melekat. Dalam survei ini, kehadiran Presiden Jokowi sebagai sosok pertama yang divaksinasi Covid 19, misalnya, mampu memikat hingga 7,1 persen responden yang sebelumnya resisten divaksinasi.
Begitu pula, dalam kasus-kasus perdebatan yang kerap mengusik sentimen politik asal muasal negara pemroduksi vaksin. Kehadiran vaksin produksi China, Amerika Serikat, ataupun negara kawasan Eropa Barat, menjadi faktor yang potensial menghambat kesediaan masyarakat divaksinasi. Namun pada saat yang bersamaan, potensi kehadiran vaksin produksi dalam negeri mampu menjadi sintesis dalam ketersinggungan imaji nasionalisme. Bercermin pada hasil survei, kehadiran sisi politik semacam itu mampu berperan dalam membangkitkan kesediaan 5,9 persen responden divaksinasi (Grafik 2).
Segenap rincian survei menunjukkan, jika kesediaan dari tiga perempat bagian masyarakat divaksinasi lebih banyak terbangun dengan basis ekonomi, sosial keagamaan, maupun politik yang cukup rentan. Hanya terdapat sebagian kalangan saja yang mendasari kesediaan divaksinasi dengan pertimbangan nilai guna medis vaksinasi itu sendiri. Artinya, upaya pemerintah dalam mengikis resistensi tidak akan lepas dari bagaimana penguasaan terhadap kerentanan kondisi-kondisi ekonomik, sosial, dan politik yang berjalan.
Sisi kerentanan semacam itu ditunjukkan pula pada kalangan yang hingga kini tergolong ragu-ragu dan yang cenderung menolak divaksinasi. Apabila ditelusuri, hasil survei mengungkapkan jika sikap-sikap keragu-raguan ataupun kecenderungan penolakan responden divaksinasi tidak terlepaskan dari berbagai latar identitas sosial, ekonomi, maupun politik yang melekat.
Terindikasi, jika sejauh ini sikap-sikap resisten lebih banyak terbangun pada mereka yang berusia lanjut, khususnya di atas 60 tahun. Dari sisi jenis kelamin, penolakan kaum perempuan terhadap vaksinasi relatif lebih besar dibanding laki-laki. Begitu pula dari sisi kondisi ekonomi, sekalipun kebijakan vaksinasi gratis diterapkan, namun penolakan dan keragu-raguan terhadap vaksinasi relatif lebih banyak diutarakan kalangan masyarakat bawah dibandingkan kalangan menengah ataupun kalangan atas (Grafik 3).
Paling mencolok, hasil survei juga menunjukkan jika respons penolakan terbangun lebih banyak pada mereka yang berdomisili di Sulawesi, khususnya Sulawesi Selatan, dan Sumatera, khususnya di Sumatera Barat.
Pada kedua daerah tersebut, dimensi-dimensi sosial, ekonomi, maupun politik saling berkelindan dalam membangun resistensi. Sejauh ini, terindikasi pula jika resistensi vaksinasi lebih banyak diekspresikan oleh mereka yang memang sejak awal memilih berseberangan sikap dan pilihan politik pada pemerintahan saat ini (Litbang Kompas).