Jurus Vaksinasi Massal di Indonesia
Dalam sejarah penanganan penyakit di Indonesia, pelaksanaan program vaksinasi dan imunisasi bukanlah hal baru. Program imunisasi di Indonesia dimulai dengan imunisasi cacar pada 1956.
Kehadiran vaksin Covid-19 di Indonesia memberikan harapan pengurangan transmisi penularan virus korona. Penolakan vaksinasi dari sejumlah pihak akan memperpanjang pandemi.
Sejak 3 Januari 2021, pemerintah telah mendistribusikan 1,2 juta dosis vaksin Covid-19 ke 34 provinsi di seluruh Indonesia. Seminggu kemudian, dalam siaran pers 11 Januari 2021, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) resmi menerbitkan izin penggunaan darurat untuk vaksin Sinovac.
Sebelumnya, 2 Januari 2021, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Nomor HK.02.02/4/1/2021 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Vaksinasi dalam Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Merujuk pada SK tersebut, vaksinasi Covid-19 bertujuan untuk mengurangi transmisi atau penularan, menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat Covid-19, mencapai kekebalan kelompok di masyarakat (herd immunity), serta melindungi masyarakat dari Covid-19 agar tetap produktif secara sosial dan ekonomi.
Program vaksinasi juga dinilai akan jauh lebih menghemat biaya jika dibandingkan dengan upaya pengobatan. Berdasarkan keterangan yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani, pemerintah mengantongi anggaran sementara vaksinasi Covid-19 sebesar Rp 54,44 triliun dari realokasi APBN.
Jika sesuai rencana, keempat tahap vaksinasi akan selesai pada Maret 2022 atau berjalan lebih dari setahun sejak dilaksanakan. Cakupan waktu yang lama ini turut bergantung pada permasalahan ketersediaan vaksin.
Pasokan vaksin tidak akan segera tersedia dalam jumlah yang mencukupi untuk semua sasaran sehingga ada skenario khusus yang ditentukan. Skenario ini terkait dua hal, yakni jumlah populasi dalam suatu negara dan kelompok prioritas penerima vaksin.
Kendati dalam SK Kementerian Kesehatan RI telah dijelaskan seluk-beluk program vaksin ini, bukan berarti program tersebut dapat dilaksanakan tanpa kendala. Keraguan masyarakat, salah persepsi, dan menyebarnya berita bohong terkait vaksin menjadi penghalang besar yang harus diatasi.
Sejarah vaksinasi
Dari sejarah penanganan penyakit di Indonesia, pelaksanaan program vaksinasi dan imunisasi bukanlah hal baru. Program imunisasi di Indonesia dimulai dengan imunisasi cacar pada 1956. Berikutnya, berlanjut dengan pemberian vaksinasi campak pada 1963, Bacillus Calmette-Guérin (BCG) untuk penyakit TBC pada 1973, vaksinasi tetanus toksoid pada 1974, imunisasi difteri, pertusis, tetanus (DPT) pada 1976, dan vaksinasi polio yang dimulai pada 1981.
Tidak berhenti di situ, pada 1991 dirilis kembali vaksinasi untuk polio, kemudian vaksinasi hepatitis B pada 1997, hingga kampanye pencegahan kanker serviks untuk anak perempuan, dan vaksin HPV pada 2016. Pada 2017, pemerintah mengedarkan vaksin rubela dan haemophilus influenza tipe B (HIV).
Semua program vaksinasi tersebut dapat dikatakan sukses dalam penerapannya berkat sosialisasi rutin dari pemerintah dan kepercayaan masyarakat terhadap otoritas kesehatan. Ironisnya, justru di tengah situasi pandemi saat ini, rencana pelaksanaan vaksin Covid-19 kerap mengundang penolakan dari sejumlah pihak di masyarakat.
Sejarah mencatat, penolakan vaksinasi bukan pertama kalinya pula di Indonesia. Penolakan vaksin di Indonesia dapat ditelusuri sejak abad ke-17. Kala itu, wabah cacar melanda Ambon, Maluku Tengah, Jawa, dan Sumatera. Dalam jurnal berjudul ”Smallpox, Vaccination, and The Pax Neerlandica: Indonesia, 1550-1930”, Peter Boomgaard menyebutkan, pada 1613, wabah cacar menyerang Malaka dan melenyapkan seperenam populasi. Wabah berikutnya muncul pada 1651 dan menghilangkan nyawa sepertiga penduduknya.
Berhadapan dengan wabah hal itu, pemerintah kolonial Belanda menggratiskan vaksinasi cacar untuk semua daerah pada 1818. Pada 1820, Pemerintah Belanda mengeluarkan Reglement voor den Burgerlijke Geneeskundige Dienst (Peraturan mengenai Dinas Kesehatan Publik) dan Reglement op de Uitoefening der Koepokvaccinatie in Nederlandsch-Indie (Peraturan Pelaksanaan Vaksinasi Cacar). Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal pengorganisasian program vaksin di Indonesia.
Penolakan warga
Program ini berjalan dengan melibatkan petugas kesehatan khusus yang dikepalai seorang inspektur dan dibantu pengawas di setiap karesidenan. Mantri cacar membantu memberikan vaksin untuk daerah yang jauh dan terpelosok. Setiap minggu, mantri cacar membuat tiga laporan tentang vaksinasi cacar di daerahnya dan diserahkan kepada bupati dan pengawas, lalu diteruskan kepada residen dan inspektur.
Baca juga: Menteri Kesehatan, Panglima TNI, dan Kapolri Divaksin Bersama Presiden Jokowi
Pemantauan setelah vaksin juga dilakukan oleh inspektur yang memeriksa hasil kerja mantri setiap enam bulan sekali. Jika ada kasus penyakit cacar, anak dari keluarga terjangkit dilarang masuk sekolah dan tidak diizinkan keluar rumah. Melihat adanya kemajuan dari vaksin, pemerintah akhirnya membuat pembagian area sebaran vaksin untuk meratakan jangkauan vaksin.
Program ini juga mengalami kendala karena penolakan oleh sejumlah pihak. Misalnya, pada 1821, penolakan vaksin terjadi di Pulau Bawean karena menerima vaksin dinilai sama dengan menolak takdir. Lalu, di Madiun pada 1831, para ibu melarikan anak mereka untuk sembunyi di hutan karena percaya pada kabar burung bahwa vaksinasi hanya tipuan yang menjadikan anak-anak sebagai makanan buaya peliharaan Residen Madiun.
Ada juga penolakan yang masuk akal. Dalam tulisan berjudul ”Dari Mantri hingga Dokter Jawa” (Jurnal Humaniora, Oktober 2006), penelitian dosen Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Baha’ Uddin, menyimpulkan dua alasan penolakan warga atas program vaksininasi tersebut, yaitu penduduk tidak yakin terhadap sesuatu yang belum mereka kenal dan jarak tempuh yang jauh ke lokasi pemberian vaksin.
Penelitian lebih lanjut memang menyatakan bahwa vaksin cacar itu kemungkinan tidak berfungsi karena terpapar udara tropis. Vaksin cacar tidak segera digunakan begitu tiba dari Belanda karena harus didistribusikan ke pelosok. Terlepas dari kekurangan vaksin kala itu, penolakan vaksin justru memperparah kondisi dan menyebabkan penyakit itu muncul lagi di kemudian hari.
Sosok lokal
Ada hasil survei daring mengenai vaksin yang dilakukan Kementerian Kesehatan, Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (ITAGI), dengan dukungan Unicef dan WHO, berlangsung 19 September-30 September 2020 kepada 115.000 responden dari 34 provinsi dan 508 kabupaten/kota di Indonesia.
Baca juga: Tenaga Kesehatan Berharap Vaksin Memudahkan Penanganan Pandemi
Hasilnya, mayoritas responden (65 persen) bersedia menerima vaksin Covid-19 jika disediakan oleh pemerintah, sementara sekitar 27 persen merasa ragu-ragu dan sebagian kecil lainnya (8 persen) menolak. Dari responden yang menolak, 30 persen merasa tidak yakin akan keamanan vaksin tersebut.
Berhadapan dengan hasil survei tersebut, pemerintah perlu lebih gencar dalam melakukan pendekatan dan sosialisasi kepada masyarakat. Pendekatan kultural menjadi upaya efektif dengan melibatkan sosok pengampu kesehatan yang secara emosional lebih dekat dengan masyarakat. Kesediaan masyarakat untuk melakukan vaksinasi sangat penting. (LITBANG KOMPAS)