Penanganan pandemi memberikan tantangan tak mudah bagi kepala daerah. Para pemimpin ini harus berupaya agar wilayah mereka tak menjadi kluster baru penularan Covid-19, terutama jika baru saja melaksanakan pilkada.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·4 menit baca
Di pengujung tahun ini, situasi pandemi masih sangat mengkhawatirkan. Ada pula potensi bencana hidrometeorologi pada awal musim hujan. Dengan banyaknya pemimpin daerah yang terinfeksi Covid-19, pemda menghadapi ujian berat pada saat ini.
Sejumlah kepala daerah yang terpapar Covid-19 dan beratnya beban yang harus ditanggung pemerintah daerah pada akhir tahun ini memantik kekhawatiran publik. Hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu merekam, hampir 70 persen responden khawatir kondisi ini akan berdampak pada jalannya pemerintahan daerah.
Sebagian besar masyarakat mengetahui sejumlah kasus kepala daerah terinfeksi Covid-19. Hal ini meningkatkan kekhawatiran masyarakat akan bahaya penularan Covid-19. Sekitar 45 persen responden mengatakan, mereka semakin takut dan khawatir akan tertular Covid-19 jika dibandingkan pada awal pandemi, Maret-April lalu.
Kekhawatiran ini masuk akal mengingat situasi pandemi di Indonesia yang masih mencemaskan. Para kepala daerah yang memiliki berbagai sarana untuk mempertahankan diri dari Covid-19 tetap tertular.
Di tingkat nasional, saat ini jumlah kasus positif Covid-19 harian secara konsisten masih tinggi hingga di atas angka 6.000. Bahkan, pada 19 Desember, kasus harian mencapai lebih dari 7.700 kasus. Saat ini, jumlah kasus aktif di Indonesia mencapai lebih dari 100.000.
Meskipun demikian, tidak semua kelompok masyarakat memiliki kekhawatiran yang besar. Sebanyak 27,2 persen responden menyatakan bahwa kekhawatiran mereka terkait penularan Covid-19, sejak awal pandemi hingga sekarang sama saja, tidak berubah. Bahkan, sepertiga di antara mereka mengaku tidak takut tertular Covid-19.
Proporsi tersebut terbilang tinggi jika diproyeksikan ke jumlah populasi. Kelompok dengan tingkat kekhawatiran yang rendah ini berpotensi menjadi warga yang abai terhadap ancaman penularan virus. Mereka bisa saja tak patuh pada berbagai prosedur pencegahan Covid-19.
Penanganan pandemi memberikan tantangan yang tak mudah bagi kepala daerah. Para pemimpin ini harus berupaya agar wilayah mereka tidak menjadi kluster baru penularan Covid-19, terutama jika baru saja melaksanakan pilkada serentak. Tantangan itu terutama mendisiplinkan warga agar secara ketat menerapkan protokol kesehatan.
Menjelang berakhirnya tahun 2020, ada berbagai tantangan lain mesti dihadapi pemerintah. Tantangan itu ialah liburan akhir tahun dan bencana hidrometeorologi.
Liburan akhir tahun menjadi salah satu yang paling dikhawatirkan masyarakat. Setidaknya, 20 persen responden khawatir liburan akhir tahun bakal menyebabkan lonjakan kasus positif Covid-19 di awal 2021.
Kekhawatiran ini berkaitan dengan kebiasaan masyarakat untuk merayakan momen liburan akhir tahun. Berdasarkan hasil jajak pendapat, sekitar 60 persen dari responden mengaku biasa merayakan tahun baru. Di antara mereka yang biasa merayakan tahun baru, lebih dari sepertiganya mengaku sering melakukannya di luar rumah. Tempat tersebut meliputi kafe, taman hiburan, dan lokasi di luar kota atau luar negeri.
Syarat teknis
Pemerintah telah melihat ancaman lonjakan kasus Covid-19 pasca-liburan akhir tahun. Masa libur, seperti Lebaran dan tanggal merah lainnya, menyebabkan lonjakan kasus. Maka, pemerintah telah menyiapkan berbagai langkah antisipatif menjelang masa liburan akhir tahun.
Langkah itu termasuk mengimbau keras masyarakat untuk tak merayakan tahun baru di luar rumah atau bepergian. Pemerintah juga berupaya memastikan kesehatan warga yang bepergian dengan kewajiban menjalani uji usap antigen sesuai arahan WHO. Hal ini terutama diterapkan bagi mereka yang akan menggunakan transportasi umum.
Selain pemerintah pusat, pemda ikut bersiap menghadapi masa liburan akhir tahun. Beberapa pemda secara eksplisit melarang perayaan tahun baru. Kota Bandung, Jawa Barat, menerapkan kebijakan tersebut.
Provinsi Bali mengambil kebijakan yang serupa. Dalam Peraturan Gubernur Bali Nomor 46 Tahun 2020, segala bentuk acara perayaan tahun baru, baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan, dilarang. Untuk memastikan penegakan peraturan ini, pemda menggandeng TNI dan Polri untuk melakukan penertiban. Gubernur Bali juga mewajibkan orang yang hendak masuk ke provinsi itu untuk menyertakan hasil uji usap PCR.
Gayung bersambut. Langkah pemerintah ini diikuti dengan turunnya minat publik untuk melakukan perayaan tahun baru. Berdasarkan hasil jajak pendapat, hampir 47 persen responden menyatakan enggan untuk merayakan pergantian tahun. Sebagian besar memilih merayakan tahun baru dengan berada di rumah.
Tidak patuh
Meskipun demikian, masyarakat ternyata masih ragu terhadap kemampuan pemda untuk mengendalikan jalannya liburan akhir tahun. Keraguan ini terutama terkait kepatuhan masyarakat terhadap imbauan dan peraturan.
Menurut jajak pendapat, lebih dari 62 persen responden tidak yakin bahwa masyarakat akan mematuhi larangan berkerumun.
Kecemasan lain terkait potensi bencana hidrometeorologi pada akhir tahun ini. Ada sekitar sepertiga responden mengkhawatirkan kesiapan pemda menghadapi potensi bencana di musim hujan.
Seperti diketahui, fenomena La Nina yang meningkatkan intensitas hujan telah mulai menyebabkan musibah, seperti banjir, longsor, puting beliung, dan banjir bandang di sejumlah daerah semenjak dua bulan terakhir. Kasus banjir di Cilacap, Jawa Tengah, dan tanah longsor di Garut, Jabar, misalnya, menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan ribuan warga diungsikan.
Kecemasan terhadap ancaman bencana hidrometeorologi ini akan mengiringi isu penanggulangan pandemi dalam sepuluh bulan terakhir ini. Secara umum, masyarakat masih berharap banyak kepada pemerintah, khususnya kepala daerah, untuk berbuat lebih banyak dalam memutus rantai penularan Covid-19.
Namun, keyakinan bahwa pemerintah mampu memenuhi harapan itu tentu tidak mudah jika tak didukung oleh disiplin masyarakat yang tinggi.