Sukses Pilkada dan Kekhawatiran Lonjakan Kasus Covid-19
Pilkada Serentak 2020 pada 9 Desember lalu cukup memberi kejutan. Tingginya partisipasi pemilih menjadi salah satu indikator kesuksesan pilkada. Namun, publik masih khawatir akan terjadi lonjakan kasus Covid-19.
Oleh
Rangga Eka Sakti/Litbang Kompas
·5 menit baca
Pilkada Serentak 2020 berlangsung di 270 daerah untuk memilih 9 gubernur/wakil gubernur serta 261 bupati/walikota. Hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu menunjukkan 81,1 persen responden menyatakan pilkada serentak tahun ini relatif berjalan lancar dan aman. Hal ini seakan menjawab keraguan masyarakat bahwa pilkada akan menemui kendala karena digelar di pandemi Covid-19.
Setidaknya hal ini bisa dilihat dari kecenderungan angka partisipasi pemilih yang relatif tinggi. Data sementara dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan rata-rata partisipasi pemilih pada Pilkada 2020 mencapai 75,8 persen. Angka ini tercatat lebih baik jika dibandingkan dengan partisipasi pada Pilkada 2015 yang mencapai 69 persen.
Tingginya antusiasme masyarakat ini pun sejalan dengan penilaian responden terkait lancar dan amannya gelaran pilkada tahun ini.
Di sisi lain, pelaksanaan pilkada di tengah pandemi Covid-19 mengharuskan perlakuan khusus dengan kewajiban menerapkan protokol kesehatan ketat.
Dalam hal penerapan protokol kesehatan, 71,4 persen responden menilai hal itu sudah dilakukan dengan baik. Secara umum, protokol kesehatan yang ketat sudah diterapkan di tempat pemungutan suara (TPS), meskipun di lapangan masih saja ditemui kendala teknis. Misalnya, KPU mencatat ada kendala pemilih yang tidak membawa alat tulis sendiri, meskipun sudah disosialisasikan sebelum hari pemungutan suara.
Kendala lainnya soal sulitnya pemilih menggunakan hak pilih ketika menggunakan sarung tangan plastik yang disediakan panitia pemilihan di TPS sebagai salah satu protokol kesehatan. Selain itu, berdasarkan catatan KPU, masih terdapat petugas KPPS kesulitan mengirimkan hasil foto penghitungan suara ke server Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) karena kendala jaringan internet.
Hal ini juga sejalan dengan hasil pengawasan yang dilakukan Badan Pengawas Pemilihan Umum. Bawaslu mencatat, sebagian besar rekapitulasi suara Pilkada 2020 dilakukan secara manual, tidak menggunakan Sirekap sebagaimana yang direncanakan.
Berdasarkan pengawasan melekat yang dilakukan Bawaslu terhadap proses rekapitulasi di 3.629 kecamatan, didapatkan informasi bahwa Panitia Pemilihan Kecamatan yang melakukan rekapitulasi menggunakan Sirekap sebanyak 708 kecamatan (20 persen). Selebihnya, yaitu 2.921 kecamatan (80 persen) melakukannya suara secara manual karena sistem tersebut tidak dapat digunakan secara optimal.
Pelanggaran
Pilkada serentak tahun ini juga diwarnai sejumlah pelanggaran. Berdasarkan temuan Bawaslu, terdapat ribuan pelanggaran di TPS, diantaranya terkait tidak adanya fasilitas cuci tangan untuk memenuhi protokol kesehatan.
Selain itu juga ada temuan saksi yang mengenakan atribut pasangan calon, kurangnya surat suara, hingga daftar pemilih tetap (DPT) yang tak terpasang. Secara statistik, terdapat lebih dari 1.200 pelanggaran administrasi, 230 pelanggaran kode etik, 131 pelanggaran pidana, serta lebih dari 1.400 pelanggaran hukum lain selama pilkada dilaksanakan.
Di antara pelanggaran-pelanggaran tersebut, salah satu yang mengkhawatirkan ialah masih ditemukannya praktik politik uang. Selama pelaksanaan pilkada, Bawaslu menemukan ada 147 laporan dan 64 temuan terkait politik uang.
Selain itu, persoalan krusial lain ialah masih ditemukannya ketidaknetralan Aparatur Sipil Negara (ASN). Bahkan, persoalan ini menjadi yang paling dominan, di mana terdapat lebih dari seribu temuan Bawaslu dan 167 laporan masyarakat terkait masalah netralitas ini.
Praktik pelanggaran netralitas ASN tidak mengagetkan karena keberadaan mereka tak bisa lepas dari dinamika politik, terutama di tingkatan lokal. Bukan tidak mungkin, kepala daerah di tempat ASN bertugas berusaha memanfaatkan mereka demi kepentingan elektoral.
Hal ini juga sudah menjadi kekhawatiran publik sebelum pilkada digelar. Setidaknya hasil jajak pendapat Kompas awal November menyimpulkan, separuh lebih responden (57,9 persen) ketika itu mengakui bahwa keberadaan ASN rawan dimanfaatkan untuk kepentingan elektoral, terutama oleh kepala daerah petahana yang maju kembali di pilkada.
Lonjakan kasus Covid-19
Pandemi juga menjadi faktor yang dikhawatirkan masyarakat ketika pilkada digelar. Sejumlah jajak pendapat Kompas yang digelar jauh sebelum pemungutan suara pilkada menunjukkan adanya konsistensi penolakan responden atas pilkada di tengah pandemi. Namun, kekhawatiran ini tidak menghalangi pemilih menggunakan hak suaranya.
Meningkatnya angka partisipasi pemilih di pilkada tahun ini, tidak lepas dari faktor kinerja penyelenggara menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Diakui atau tidak, hal itu turut memberikan rasa aman dan menjadi pertimbangan pemilih untuk mencoblos.
Meskipun demikian, kekhawatiran akan lonjakan kasus Covid-19 setelah pilkada digelar tetap muncul di benak responden. Sebanyak 58,6 persen responden jajak pendapat pekan lalu mengaku khawatir setelah pemungutan suara 9 Desember, kasus positif Covid-19 akan kembali naik. Kekhawatiran ini tak hanya disampaikan responden yang di daerahnya menggelar pilkada, tetapi juga disampaikan responden yang di wilayahnya tidak ada pilkada.
Kekhawatiran ini wajar karena saat pemungutan suara digelar, kasus positif Covid-19 belum melandai, bahkan cenderung meningkat di sejumlah daerah. Selain itu, sejumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di beberapa wilayah, terpapar Covid-19. Selain itu, meninggalnya Ketua KPU Kota Tangerang Selatan, Banten, Bambang Dwitoro, setelah ia terpapar Covid-19 juga menambah kekhawatiran bahwa pilkada akan menjadi klaster baru.
Data KPU terkait hasil tes cepat Covid-19 pada 2-7 Desember juga menunjukkan, ada 79.241 petugas KPPS yang reaktif. Dari jumlah itu, 10.897 orang menjalani isolasi mandiri dan 19.897 orang menjalani tes usap. Sebanyak 4.824 orang diganti saat hari pemungutan suara dan 5.115 orang menjalani tes cepat ulang (Kompas,13/12/2020). Tentu, kondisi ini sedikit banyak menguatkan kekhawatiran publik akan lonjakan kasus baru Covid-19 setelah pemungutan suara pilkada.
Pada akhirnya, kualitas pilkada kali ini tidak sekadar ditentukan oleh tingkat partisipasi pemilih yang memang cenderung meningkat dibandingkan pilkada sebelumnya. Namun, juga agar jangan sampai pilkada menjadi klaster baru penularan Covid-19. Faktor kesehatan juga akan tetap menjadi pertimbangan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan Pilkada 2020.