Gresik dan Wajah Politik Santri
Persaingan dua pasangan dalam Pilkada Gresik kali ini sangat menarik karena menghadirkan pertarungan antara tradisi lama yang konvensional dan alternatif baru yang cukup progresif.
Kabupaten Gresik, Jawa Timur, tidak bisa dilepaskan dari sosok-sosok santri yang memimpin wilayah ini. Selama dua dekade terakhir, daerah ini dipimpin oleh dua orang bupati, yang tak lepas dari latar belakang santri.
Mereka adalah almarhum KH Robbach Ma’sum dan Sambari Halim Radianto. Karakter masyarakat yang loyal dan tradisi yang agamis sangat memengaruhi perpolitikan di daerah yang dikenal juga sebagai ”Kota Wali” ini.
Ketika reformasi bergulir dan desentralisasi diterapkan, Kabupaten Gresik dipimpin mendiang KH Robbach Ma’sum untuk periode pertama 2000-2005. Waktu itu ia didampingi Sambari Halim Radianto sebagai wakil bupati. Pada penyelenggaraan pilkada yang pertama tahun 2005, sang petahana bupati mencalonkan diri dan kembali terpilih untuk jabatan periode keduanya, 2006-2010.
Untuk periode kedua, KH Robbach Ma’sum berpasangan dengan Sastro Soewito yang diusung koalisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera. (PKS). Pasangan ini berhasil meraup 237.446 suara atau 43,19 persen, mengalahkan tiga pasangan calon lainnya.
Pengalaman dan jaringan di birokrasi dan legislatif serta figurnya sebagai tokoh Nahdlatul Ulama dan sesepuh di PKB membuat popularitas dan elektabilitas Robbach Ma’sum sulit dikalahkan. Baru setelah tidak ada peluang lagi bagi Robbach Ma’sum untuk maju di pilkada selanjutnya, Kabupaten Gresik dipimpin oleh bupati baru.
Peluang itu kemudian diraih Sambari Halim Radianto. Dari lima pasangan yang ikut kontestasi di Pilkada Gresik pada 2010, pasangan Sambari Halim Radianto-Moh Qosim unggul dengan memperoleh 285.252 suara atau 46,75 persen.
Pada pilkada 2015, Sambari melaju ke periode jabatan kedua. Saat itu, Sambari yang kembali berpasangan dengan Moh Qosim serta diusung koalisi PKB dan Partai Demokrat mendulang 447.751 suara atau 70,64 persen.
Kota Wali
Kabupaten Gresik yang termasuk dalam wilayah pengembangan Gerbang Kertasusila (Gresik, Bangkalan, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan) dikenal sebagai Kota Wali sekaligus Kota Santri. Penyebutan itu tidak lepas dari kegiatan syiar agama Islam yang dilakukan oleh Sunan Giri dan Syekh Maulana Malik Ibrahim yang makamnya terdapat di Gresik.
Napas Islami di wilayah ini sangat kental dengan menjamurnya pondok pesantren dan sekolah bernuansa Islam. Karakteristik Islami ini menyatu dalam kehidupan masyarakat Gresik, termasuk dalam berpolitik dan berpartai.
Tak heran, partai politik berbasis massa Islam, persisnya yang berbasis massa nahdliyin, yaitu PKB, sangat dominan di Gresik. PKB menjadi partai pemenang saat pemilu di daerah itu.
Pada Pemilu 2009, PKB berhasil meraih 10 dari 50 kursi di DPRD Kabupaten Gresik. Kursi lainnya dibagi kepada sepuluh partai lain. Partai Demokrat berada di posisi kedua dengan 8 kursi.
Meski menjadi partai dengan kursi paling banyak di DPRD, PKB gagal memenangkan calonnya di pilkada 2010. Saat itu, PKB yang berkoalisi dengan PPP dan PKNU (total 19 kursi di DPRD atau 38 persen) mengusung pasangan Husnul Khuluq-Musyaffa Noer. Pasangan ini hanya mendapatkan 41,05 persen suara, kalah dari pasangan Sambari Halim Radianto-Moh Qosim yang mendapat 46,75 persen. Padahal, saat itu pasangan Sambari Halim Radianto-Moh Qosim hanya diusung oleh Partai Golkar dan PKPI yang total memiliki 8 kursi di DPRD.
Pilkada Gresik tahun 2010 itu diwarnai dengan penghitungan suara ulang di sembilan kecamatan. Semula KPU Kabupaten Gresik mengumumkan pasangan Husnul Khuluq-Musyaffa Noer yang memenangi pilkada dengan 39,49 persen suara, diikuti pasangan Sambari Halim Radianto-Moh Qosim dengan 35,19 persen suara.
Baca juga: Mengingat Kegembiraan dalam Gulat Okol
Pasangan Sambari Halim Radianto-Moh Qosim lalu mengajukan sengketa hasil pilkada itu ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan alasan terjadi banyak pelanggaran. MK lalu memutuskan pemungutan suara ulang di sembilan kecamatan. Setelah dilakukan pemungutan suara ulang, pasangan Sambari Halim Radianto-Moh Qosim yang memenangi pilkada 2010 di Gresik.
Pada Pemilu 2014, dominasi PKB di DPRD sedikit menurun dengan hanya mendapat 8 kursi. Posisinya digantikan Partai Golkar yang mendapat 11 kursi. Saat pilkada tahun 2015, PKB bersama Partai Demokrat mengusung pasangan petahana Sambari Halim Radianto-Moh Qosim.
Sesuai dugaan, pasangan ini memenangi pilkada dengan perolehan suara mayoritas, yaitu 70,64 persen, sehingga kepemimpinan berlanjut ke periode kedua. Hasil ini menyingkirkan pesaingnya, Ahmad Nurhamim-Junaidi, yang diusung partai pemenang pemilu, yakni Partai Golkar. Pasangan ini mendapat kurang dari 2 persen suara.
Dua pasangan
Pada Pemilu 2019, PKB kembali menjadi partai pemenang di Gresik dengan memiliki 13 kursi DPRD. Di pilkada 2020 ini, Sambari Halim Radianto tak dapat lagi mencalonkan diri karena sudah menjabat selama dua periode. Ini membuka peluang bagi Wakil Bupati Moh Qosim untuk bergeser menjadi calon bupati.
PKB dalam pilkada kali ini mengusung Moh Qosim dengan berkoalisi bersama Partai Gerindra. Moh Qosim memilih Asluchul Alif, seorang anggota DPRD kabupaten, sebagai wakilnya. Hanya ada dua pasangan yang akan bertarung di Pilkada Gresik. Strategi yang memajukan calon dengan kombinasi petahana dan dukungan parpol terbesar menjadi upaya pemenangan pilkada.
Baca juga: Patuhi Pembatasan Sosial Berskala Besar di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik
Namun, peluang kemenangan juga dimiliki pasangan lain, yaitu Fandi Akhmad Yani-Aminatun Habibah. Pasangan ini diusung koalisi besar enam parpol, yaitu PDI-P, Partai Golkar, Partai Nasdem, PPP, PAN, dan Partai Demokrat, yang total memiliki 26 kursi (52 persen) DPRD Kabupaten Gresik.
Fandi Akhmad Yani yang adalah Ketua DPRD Kabupaten Gresik memilih sosok perempuan sebagai calon wakilnya. Munculnya sosok perempuan dalam pilkada bisa menjadi satu strategi untuk mendulang suara, terutama dari kalangan pemilih perempuan.
Persaingan dua pasangan dalam Pilkada Gresik kali ini sangat menarik karena menghadirkan pertarungan antara tradisi lama yang konvensional dan alternatif baru yang cukup progresif.
Pilkada Gresik juga tak bisa dilepaskan dari wajah kontestasi dari politisi sesama santri. Dukungan pesantren dan kiai di Kota Santri ini juga akan menentukan siapa yang akan menjadi pemenang nanti.
(LITBANG KOMPAS)