Heterogenitas Pemilih di Maluku Barat Daya
Luasnya cakupan wilayah, heterogenitas pemilih, dan kejutan politik yang kerap terjadi menunjukkan rumitnya matematika politik pada Pilkada Maluku Barat Daya.
Pemilihan kepala daerah di Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, selalu diiringi kejutan politik. Sebagai daerah kepulauan, calon bupati dan wakil bupati di wilayah ini dihadapkan pada tantangan heterogenitas pemilih.
Setelah menjadi daerah otonomi pada 2008, Kabupaten Maluku Barat Daya mulai menyelenggarakan pemilihan kepala daerah pada 2010. Sejak saat itu, berbagai kejutan politik mewarnai jalannya kontestasi hingga saat ini.
Pada penyelenggaraan Pilkada 2010, Maluku Barat Daya menjadi magnet yang menarik bagi banyak kandidat. Saat itu, delapan pasangan calon (paslon) kepala daerah dan wakil kepala daerah ikut kontestasi untuk memperebutkan suara dari 42.490 pemilih.
Banyaknya kandidat berdampak pada distribusi suara yang cukup merata. Akibatnya, pilkada harus dilakukan dalam dua putaran karena tidak ada pasangan yang saat itu meraih lebih dari 30 persen suara. Saat itu masih ada ketentuan dalam Pasal 107 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur penyelenggaraan pilkada dalam dua putaran jika tidak ada paslon yang meraih lebih dari 30 persen suara sah pada pilkada putaran pertama.
Pasangan Arnolis Laipeny-Simon Moshe Maahury dan Barnabas Orno-Yohanes Letelay melenggang pada putaran kedua setelah masing-masing meraih 21 persen dan 20,7 persen suara dalam pemilihan putaran pertama. Hasilnya, dalam putaran kedua pasangan Barnabas Orno-Yohanes Letelay unggul dengan raihan 53,4 persen suara.
Kemenangan Barnabas Orno-Yohanes Letelay merupakan kejutan pertama dalam penyelenggaraan pilkada di Maluku Barat Daya. Pasalnya, pasangan ini hanya diusung dua partai politik (parpol) kecil pada saat itu, yakni PNI Marhaenisme dan PKPI. Sementara lawan yang dihadapi didukung mesin politik Golkar.
Kejutan berikutnya hadir dalam Pilkada 2015. Saat itu ada tiga paslon, salah satunya pasangan petahana Barnabas Orno-Benyamin Thomas Noach. Pasangan ini diusung koalisi gemuk yang menguasai 60 persen kursi di DPRD Maluku Barat Daya. Sementara dua paslon lain masing-masing memperoleh dukungan dari parpol yang menguasai 20 persen kursi di DPRD.
Meski mengantongi modal elektoral sebagai petahana dan dukungan besar dari parpol, pasangan Barnabas Orno-Benyamin Thomas Noach ternyata tidak dapat menang dengan mudah. Persaingan cukup sengit diberikan pasangan Simon Moshe Maahury-Kimdevits Berthi Marcus.
Meskipun hanya didukung Partai Gerindra dan Hanura yang menguasai 20 persen kursi di DPRD, pasangan Simon Moshe Maahury-Kimdevits Berthi Marcus mampu meraih 37 persen suara. Meski kalah, pasangan ini hanya terpaut selisih suara yang tak begitu besar dengan perolehan petahana 43,3 persen suara.
Persaingan
Pada Pilkada 2020, kejutan juga hadir dengan adanya calon perseorangan. Pasangan John Nimrot Leunupun-Dolfina Markus mampu memenuhi syarat dukungan di tengah kondisi geografis Maluku Barat Daya yang cukup sulit karena merupakan wilayah kepulauan.
Menurut catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU), pasangan ini mampu memperoleh 5.966 dukungan yang tersebar di 16 kecamatan. Jumlah itu melampaui syarat minimal 5.252 dukungan pada sembilan kecamatan.
Pasangan John Nimrot Leunupun-Dolfina Markus akan berhadapan dengan persaingan yang cukup ketat. Pasalnya, ada dua paslon lain dengan modal yang cukup kuat, baik dari sisi popularitas maupun dukungan dari mesin parpol.
Pertama adalah pasangan Benyamin Thomas Noach-Agustinus Lekwarday Kilikily. Benyamin Thomas Noach merupakan Bupati Maluku Barat Daya 2019-2021. Sejak 2016, ia menjabat Wakil Bupati mendampingi Barnabas Orno. Namun, pada 2019 ia dilantik menggantikan Barnabas yang terpilih sebagai Wakil Gubernur Maluku pada Pilkada 2018.
Benyamin merupakan petarung lama dalam kontestasi di Pilkada Maluku Barat Daya. Persis seperti Pilkada 2015, pasangan petahana kembali didukung koalisi gemuk, yakni PDI-P, Demokrat, Hanura, PKPI, dan Nasdem yang menguasai 70 persen perolehan kursi di DPRD.
Pasangan penantang lainnya adalah Nikolas Johan Kilikily-Desianus Orno. Sama halnya dengan Benyamin Thomas Noach, Nikolas Johan Kilikily merupakan kontestan yang turut bersaing dalam Pilkada 2015. Namun, saat itu Nikolas hanya memperoleh 19,67 persen suara, lebih rendah dari dua kontestan lain.
Pada Pilkada 2020, Nikolas Johan Kilikily akan didampingi Desianus Orno yang merupakan adik dari Wakil Gubernur Maluku Barnabas Orno. Pasangan ini didukung Gerindra dan Golkar yang menguasai 30 persen kursi di DPRD.
Karakter pemilih
Ketiga paslon ini akan berhadapan dengan dua tantangan utama, yakni heterogenitas pemilih dan luasnya wilayah kampanye. Kedua tantangan ini merupakan kunci yang harus dihadapi guna meraup dukungan konstituen.
Karakter pemilih yang beragam terlihat dari hasil pemilu legislatif dan eksekutif di Maluku Barat Daya. Dalam pemilu 2014 dan 2019, misalnya, distribusi kursi yang diraih parpol hampir merata. Tidak ada satu parpol pun yang mendominasi secara mutlak raihan kursi DPRD daerah itu. Bahkan, dari tujuh parpol di DPRD periode 2019-2024, enam di antaranya sama-sama meraih tiga kursi dari total 20 kursi yang diperebutkan. Ini mengindikasikan bahwa suara pemilih terdistribusi secara merata pada setiap parpol.
Baca juga : Pertaruhan Harga Diri Bangsa di Tapal Batas Maluku
Dalam ranah pemilihan eksekutif, heterogenitas pemilih juga terlihat dari distribusi suara kepada setiap paslon kepala daerah. Tidak ada paslon yang mampu meraih suara di atas 55 persen dalam dua pilkada sebelumnya. Pada Pilkada 2015, misalnya, modal sosial yang dimiliki dan dukungan koalisi gemuk belum mampu membawa paslon petahana meraup dominasi suara secara mutlak.
Sikap pemilih yang heterogen ini boleh jadi disebabkan karakteristik Maluku Barat Daya yang merupakan wilayah kepulauan. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, terdapat 48 pulau yang tersebar di wilayah ini dengan total luas daratan 8.633 kilometer persegi.
Baca juga : Penyelamatan Kerbau Endemik Maluku Jadi Prioritas
Di tengah banyaknya pulau, jumlah pemilih di Maluku Barat Daya pada tahun ini tergolong kecil, yakni 53.472 orang. Sebagai perbandingan, jumlah ini hanya sekitar 12,8 persen dibandingkan total pemilih di Pilkada Surakarta, Jawa Tengah, dan 5,9 persen dari jumlah pemilih di Pilkada Makassar, Sulawesi Selatan. Namun, banyaknya pulau di wilayah ini tentu menjadi tantangan tersendiri dalam melakukan kampanye bagi setiap paslon.
Luasnya cakupan wilayah, heterogenitas pemilih, dan kejutan politik yang kerap terjadi menunjukkan rumitnya matematika politik pada Pilkada Maluku Barat Daya. Di tengah kondisi itu, setiap paslon masih memiliki peluang memenangi kontestasi. Artinya, masa kampanye akan sangat menentukan keputusan pemilih di setiap pulau sehingga perlu dimaksimalkan oleh setiap paslon. (LITBANG KOMPAS)