Pertaruhan Harga Diri Bangsa di Tapal Batas Maluku
Beranda Indonesia, tepatnya di Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, mencatatkan kisah ironis. Pelayanan kesehatan yang warga terima bukan dari Indonesia, melainkan dari belas kasihan Timor Leste.
Kabupaten Maluku Barat Daya berbatasan dengan negara tetangga Timor Leste. Buruknya layanan kesehatan membuat tidak sedikit warga yang menggantungkan keselamatan nyawa mereka ke Timor Leste.
Tak terhitung berapa banyak orang yang nekat menyeberang dari daerah itu ke Dili, ibu kota Timor Leste, untuk menjalani pengobatan rutin maupun gawat darurat. Dengan modal selembar surat keterangan dari kepala kampung, mereka menumpang perahu motor ke Timor Leste. Surat dimaksud menerangkan bahwa mereka adalah warga perbatasan.
Mereka berangkat ke Dili di Pulau Timor melewati dua jalur, yakni langsung atau melalui Pulau Atauro, pulau di seberang Dili. Perjalanan langsung ke Dili menggunakan perahu motor penangkap ikan milik nelayan setempat. Dari Lirang, misalnya, waktu perjalanan sekitar 1,5 jam lamanya. Jika diadang gelombang tinggi, perjalanan molor 30 menit.
Sementara, pilihan melalui Pulau Atauro biasanya diambil pasien yang memerlukan penanganan segera, seperti kondisi gawat darurat atau ibu yang hendak melahirkan. Menumpang perahu motor sekitar 30 menit, pasien yang dibawa dari Lirang tiba di Atauro untuk ditangani pertama di klinik setempat. Selanjutnya, pihak otoritas Atauro menghubungi rumah sakit di Dili agar mengirim pesawat ke Atauro.
Tak berapa lama, sebuah pesawat kecil terbang dari Dili dan mendarat di landasan tanah di Atauro. Pasien dievakuasi ke pesawat yang segera terbang kembali ke Dili. Petugas rumah sakit di Dili, yang sudah menunggu di bandara, segera membawa pasien ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan secepatnya. Banyak yang selamat, tetapi kadang ada juga yang meninggal lantaran terlambat ditangani.
Kompas pernah mendatangi Lirang pada Maret 2016 dan menemukan cerita itu saat menemui Irianti Dolimotong yang baru saja pulang mengantar ayahnya ke Dili. Ayahnya, Hamis Dolimotong, menderita kanker anus stadium akhir tidak bisa tertolong. Pihak keluarga baru mengetahui penyakit itu setelah membawa Hamis ke Dili. Hamis terlebih dahulu diangkut dengan perahu ke Atauro kemudian diterbangkan ke Dili.
Baca juga: Negara Tetangga Masih Jadi Tumpuan Selamatkan Nyawa
Kisah itu terus berlanjut. Pada Maret 2019 lalu, Adrasina Nusamara, warga Lirang, juga dibawa ke Dili dengan rute yang sama seperti yang dilewati Hamis. Adrasina saat itu mengalami kesulitan melahirkan. Setelah ditangani oleh rumah sakit di Dili, Adrasina dan bayinya selamat. Mereka kemudian diperbolehkan pulang ke Lirang menggunakan perahu motor.
Pelayanan kesehatan yang diberikan pemerintah Timor Leste kepada warga perbatasan itu cuma-cuma, termasuk angkutan pesawat dari Atauro ke Dili. Kondisi ini menunjukkan, kebutuhan kesehatan dasar masyarakat perbatasan belum dijamin oleh negara sendiri sehingga mereka terpaksa meminta belas kasihan dari negara tetangga.
Tak ada data resmi berapa banyak warga perbatasan yang pernah berobat ke sana. Ada yang berangkat secara terang-terangan, tetapi ada pula yang memilih diam-diam. Sempat beredar kabar ada larangan dari aparat Indonesia bagi warga yang ingin berobat ke sana.
"Warga masih sering ke sana. Tapi, selama pandemi Covid-19 ini, tidak pernah dengar karena masuk Timor Leste semakin ketat," kata Stenly Ruf (38), warga Lirang, saat dihubungi pada Selasa (20/10/2020).
Berobat ke Timor Leste adalah pilihan terakhir warga perbatasan. Di daerah itu memang ada puskesmas, tapi fasilitasnya terbatas. Dokter masih sering meninggalkan tempat tugas. Ada yang pernah datang, tapi tidak betah hingga kemudian "hilang" tanpa berita. Mereka tidak kembali lagi ke tempat tugas. Daerah itu terisolasi. Akses ke Ambon sebagai ibu kota provinsi membutuhkan waktu perjalanan lebih dari 4 hari menggunakan kapal perintis. Itu pun tidak reguler. Sementara penerbangan dari Maluku Barat Daya ke Ambon tidak terjangkau oleh sebagian besar warga karena harga tiketnya di atas Rp 1 juta.
Berobat ke Timor Leste adalah pilihan terakhir warga perbatasan. Di daerah itu memang ada puskesmas, tapi fasilitasnya terbatas.
Layanan kesehatan menjadi persoalan utama bagi wilayah sabuk selatan Maluku itu. Satu-satunya rumah sakit ada di Tiakur, ibu kota kabupaten yang berada Pulau Moa. Waktu tempuh pelayaran dari berbagai sudut daerah itu ke ibu kota kabupaten berkisar satu hingga lima jam. Warga setempat mengandalkan perahu motor. Tak ada angkutan reguler.
Sementara itu, Rumah Sakit Umum Daerah Tiakur pun terbatas fasilitas dan tenaga medis lantaran masih berstatus tipe D. Banyak pasien yang tidak bisa ditangani terpaksa dirujuk ke Ambon. Mereka menunggu kapal cepat atau kapal perintis seminggu sekali. Bagi yang punya uang, mereka bisa menggunakan pesawat udara, sementara kalangan ekonomi lemah hanya bisa pasrah.
Kantong kemiskinan
Namun, sebetulnya, keterbelakangan pembangunan sepertinya merata di semua sektor. Daerah yang mekar dari Kabupaten Maluku Tenggara Barat itu merupakan salah satu kantong kemiskinan di Maluku. Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Maluku Barat Daya pada tahun 2019 sebesar 21.490 jiwa dari jumlah penduduk 73.596 jiwa.
Dengan demikian, persentase kemiskinan sebesar 29,1 persen atau lebih tinggi dari rata-rata kemiskinan Provinsi Maluku sebesar 17,65 persen. Garis batas kemiskinan di Maluku Barat Daya sebesar Rp 441.211 per kapita per bulan, sedangkan untuk tingkat Provinsi Maluku sebesar Rp 555.134. Garis kemiskinan menggunakan pendekatan pengeluaran. Artinya, masyarakat miskin adalah mereka yang pengeluarannya di bawah garis kemiskinan.
Kemiskinan itu sebuah ironi sebab daerah itu termasuk kaya akan sumber daya laut berupa ikan, teripang, dan hasil laut lainnya. Daerah itu diapit Laut Banda dan Laut Timor yang setiap tahun antara bulan Mei hingga Agustus wilayah perairannya sering terjadi pengadukan massa air laut atau upwelling sehingga perairan itu tergolong subur. Potensi perikanan di Laut Banda saja sekitar 248.400 ton per tahun.
Sayangnya, potensi yang kaya itu belum dimanfaatkan secara optimal lantaran minimnya pemberdayaan dan akses ke pasar. Banyak nelayan di perbatasan terpaksa menjual ikan ke Timor Leste secara ilegal. Satu kilogram ikan kerapu, misalnya, hanya dihargai Rp 13.000. Di Ambon, harganya bisa mencapai Rp 70.000 per kilogram. Tak heran bila data Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku menyebutkan bahwa sumbangan produksi perikanan dari Maluku Barat Daya hanya 1 persen.
Begitu pula potensi peternakan. Data Badan Pusat Statistik Maluku menunjukkan, pada 2018, populasi kerbau menjadi 11.323 ekor. Selain itu, ada juga kambing dan domba. Maluku Barat Daya merupakan lumbung ternak di Maluku. Sayangnya, pemerintah belum hadir mengatur akses pasar sehingga petani kebingungan. Ternak dijual dengan harga murah, terkadang ditukar dengan sepeda motor atau alat elektronik oleh pembeli dari luar.
Hasil tambang pun tak kalah menggiurkan, seperti tambang emas di Pulau Romang dan Wetar. Sayangnya tak jelas pemanfaatan hasil tambang itu untuk kemaslahatan masyarakat setempat. Pemerintah daerah dan pihak perusahaan tidak transparan membuka data ke publik. Malah yang terjadi adalah perpecahan di antara kelompok masyarakat di sekitar lingkar tambang.
Tokoh muda dari Maluku Barat Daya Abraham Mariwy berpandangan, ada yang salah dengan pengelolaan daerah, baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Menurut dia, masyarakat Maluku Barat Daya tidak pantas miskin. "Ini sangat tergantung pada keseriusan pemimpin. Semua sudah tersedia, tinggal bagaimana mengelolanya. Jangan sampai ibarat tikus kelaparan di lumbung padi," ujarnya.
Pada 9 Desember 2020 nanti, masyarakat Maluku Barat Daya akan memilih pemimpin di daerah itu. Mereka yang bertarung adalah Benyamin Thomas Noach-Agustinus Lekwardai Kilikily, Nikolas Johan Kilikily-Desianus Orno, dan John Nimrot Leunupun-Dolfina Markus. Siapa pun yang terpilih nanti memiliki tugas berat: Menjaga harga diri bangsa di tapal batas.
Baca juga: Rumah Sakit Perbatasan Maluku-Timor Leste Jadi Prioritas