Terlepas dari siapa pun yang akan memimpin AS selanjutnya, posisi Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN tak terbantahkan. Indonesia dapat menjadi tujuan investasi potensial dan pasar dagang yang menjanjikan.
Oleh
Wirdatul Aini
·5 menit baca
Relasi perdagangan Amerika Serikat dan Indonesia terus tumbuh meski mengalami pasang surut. Hasil pilpres AS 2020 akan memengaruhi corak hubungan ekonomi kedua negara.
Hubungan Indonesia-AS dimulai sejak 28 Desember 1949, saat pemerintahan Presiden AS Harry Truman secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia. Kerja sama kedua negara ditandai dengan kunjungan Presiden Soekarno ke AS dan bertemu Presiden John F Kennedy pada 1961. Dari pertemuan itu, AS mengubah sikapnya terhadap Indonesia dengan membantu menekan Belanda untuk merundingkan status Papua Barat.
Pasang surut turut mewarnai hubungan kedua negara. Di bawah kepemimpinan Lyndon Johnson, hubungan Indonesia-AS memburuk. Hal tersebut terjadi karena Soekarno mengambil sikap anti-imperialisme dan tak mau memihak AS dalam Perang Dingin.
Hubungan kedua negara membaik setelah pergantian kepemimpinan di Indonesia, dari Soekarno ke Soeharto. Pada awal pemerintahan Soeharto, dua Presiden AS berkunjung ke Indonesia. Mereka ialah Richard Nixon pada 1969 dan Gerald Ford tahun 1975. Pendekatan hubungan di era Orde Baru ini bertujuan memajukan politik ekonomi Indonesia dan mengejar investasi dari AS.
Namun, interaksi kedua negara kembali merenggang akibat isu pelanggaran HAM dan kasus Timor Timur pada akhir pemerintahan Bill Clinton serta awal pemerintahan George W Bush. Penekanan kerja sama antiterorisme pada 2005 membuat Bush membuka hubungan militer secara terbatas. Pemulihan hubungan militer secara penuh baru dilakukan di era kepemimpinan Barack Obama.
Kedekatan pribadi Obama dengan Indonesia menjadi puncak kerja sama yang tertuang dalam Comprehensive Partnership pada 2010. Kerja sama ditingkatkan pada 2015 menjadi Strategic Partnership yang diterjemahkan ke dalam hubungan ekonomi, energi, pertahanan, dan lainnya.
Selanjutnya, di bawah pemerintahan Donald Trump, terasa gesekan ekonomi akibat langkah proteksi AS dan perang dagang. Sikap ini membuat AS kurang terbuka terhadap sejumlah negara di dunia, termasuk Indonesia. Padahal, bagi Indonesia, AS merupakan pasar terbesar kedua setelah China dan menjadi salah satu sumber investasi.
Ekonomi Trump
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, China dan AS merupakan dua negara tujuan ekspor nonmigas terbesar Indonesia. Ekspor nonmigas Indonesia pada Januari hingga September 2020 ke China 20,44 miliar dollar AS atau 18,37 persen dari total ekspor. Adapun ekspor ke AS 13,5 miliar dollar AS atau 12,14 persen dari total ekspor.
Kebijakan Trump yang cenderung proteksionis secara tidak langsung memberikan dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Perang dagang yang berlangsung sejak 2018 menekan kinerja ekspor.
Dampak negatif tersebut menurunkan daya saing Indonesia ketika barang dari China masuk ke Indonesia dan dapat menurunkan daya beli masyarakat ketika harga barang dari AS dan China meningkat.
Pada Januari 2020, China dan AS menandatangani kesepakatan damai dagang. Meskipun demikian, AS akan mengenakan tarif atas barang impor China hingga ada perjanjian fase kedua. Namun, akibat pandemi Covid-19, pembahasan kesepakatan tersebut belum berlanjut.
Relasi dagang antara AS dan China itu mendorong perlambatan ekonomi dunia. Hal tersebut bisa terjadi karena keduanya merupakan negara dengan kontribusi ekonomi terbesar di dunia. Tekanan ekonomi pada China dan AS turut menekan perekonomian sejumlah negara.
Perang dagang AS dan China pada 2018 sempat memengaruhi kepentingan ekspor Indonesia. AS mengevaluasi fasilitas perdagangan berupa pembebasan tarif bea masuk (generalized system of preferences/GSP) untuk Indonesia. Evaluasi ini tak terpisahkan dari proteksionisme Trump.
Pada April 2018, Indonesia menjadi salah satu dari tiga negara yang menghadapi evaluasi kelayakan penerima manfaat GSP. Evaluasi GSP didasarkan pada defisit perdagangan barang AS dengan Indonesia. Selain itu, evaluasi dilandaskan pada tudingan peningkatan hambatan perdagangan dan investasi secara signifikan yang dialami perusahaan AS di Indonesia.
Akhirnya, setelah 2,5 tahun menegosiasikan kesepakatan dagang, Washington melalui Perwakilan Dagang AS (United States Trade Representative/USTR) memperpanjang fasilitas GSP bagi Indonesia pada 30 Oktober 2020. RI menjadi satu-satunya negara yang masih menerima insentif GSP secara penuh. Kondisi itu memberikan sinyal bahwa AS berkomitmen menjadikan Indonesia sebagai mitra strategis Asia-Pasifik.
Pilpres
Perkembangan hubungan kerja sama Indonesia-AS akan diketahui setelah pengumuman pemenang pilpres AS pada 6 Januari 2021. Meskipun demikian, hubungan tersebut mulai tergambarkan melalui program-program yang ditawarkan oleh setiap kandidat calon presiden AS.
Apabila Trump memenangi kembali pilpres AS, perang dagang dengan China kemungkinan berlanjut. Gambaran ini tertuang dalam proposal kuncinya, Trump akan memperbanyak kesepakatan perdagangan unilateral dan negosiasi ulang dengan sekutu.
Kondisi ini akan memberikan efek negatif ke Indonesia karena fasilitas perdagangan dapat dikurangi sewaktu-waktu mengingat Trump lebih mengutamakan kepentingan AS ketimbang global.
Presiden AS dapat menghapus suatu komoditas dari kelayakan penerima GSP. Presiden juga dapat menghalangi pemberian GSP terhadap komoditas yang baru ditetapkan dan dapat membatasi kriteria ulang kelayakan GSP.
Sementara itu, jika Biden yang memenangi pilpres, diperkirakan tensi perang dagang akan menurun. Apabila perang dagang berhasil dinormalisasi, Indonesia akan semakin diuntungkan.
Dalam proposal kuncinya, Biden akan memberikan angin segar dengan membangun ekonomi AS yang baru. Biden berjanji memberikan stimulus fiskal jauh lebih besar daripada Trump, yakni sekitar 2,5 triliun dollar AS selama periode 2021-2024.
Besarnya stimulus ini akan berdampak bagi emerging market dengan masuknya dana investor AS. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal, pada Januari hingga September 2020, penanaman modal asing (PMA) Indonesia disumbang oleh AS sebesar 0,48 miliar dollar AS atau 2,4 persen dari total PMA di Indonesia.
Terlepas dari siapa pun yang akan memimpin AS selanjutnya, posisi Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN tak terbantahkan. Indonesia dapat menjadi tujuan investasi potensial dan pasar dagang yang menjanjikan.