Siapa pun yang terpilih sebagai presiden, saatnya AS membuka mata untuk melihat peran Indonesia yang bebas dan aktif di kawasan. Namun, Indonesia juga harus tegas dalam penegakan HAM.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Calon presiden Amerika Serikat dari Demokrat, Joe Biden, semakin mendekati kemenangan dalam pertarungannya dengan kandidat presiden petahana, Donald Trump. Meski demikian, hingga H+2, Kamis (5/11/2020) pagi waktu Washington DC atau Kamis malam WIB, penghitungan suara belum berakhir.
Namun, siapa pun yang terpilih, Indonesia tetap memperkuat kemitraan strategis dengan Amerika Serikat (AS) sambil tetap menjunjung tinggi politik bebas dan aktif. Kedua negara mesti tetap saling menghormati satu sama lain.
Pengamat hubungan internasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Nanto Sriyanto, di Jakarta, kemarin, mengatakan, Washington perlu membuka mata terhadap peran dan posisi Indonesia dengan lebih baik, di kawasan Asia Tenggara secara khusus dan Indo-Pasifik secara lebih luas.
”Kawasan ini adalah kawasan bersama yang tidak melulu dipandang dari kacamata Washington, tetapi juga dari pandangan negara-negara setempat dalam memandang China dan Amerika sekaligus,” kata Nanto.
Di bawah kepemimpinan Trump, yang didukung Partai Republik, menurut dia, Indonesia dipandang sebagai negara middle power di kawasan Asia Tenggara yang keberpihakannya akan menguntungkan.
Namun, keputusan Pemerintah RI, melalui Kementerian Luar Negeri, yang menegaskan bahwa politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif dan kawasan, khususnya kawasan Indo-Pasifik, adalah kawasan inclusive regional order, ujarnya, merupakan penegasan bahwa semua negara bisa berpartisipasi dalam perkembangan kawasan yang positif.
”Sementara Indo-Pasifik yang dibayangkan dan digambarkan oleh Pemerintah AS adalah semangatnya dalam upaya pembendungan (containment) atas China. Jebakan perang dingin,” katanya.
Gedung Putih, lanjut Nanto, seharusnya membuka mata lebih lebar dalam melihat kawasan bukan semata kepanjangan tangan ”militer” atau keamanan, tetapi melihat Indonesia dan kawasan secara lebih konkret dari sisi ekonomi.
Sementara itu, Ketua Pusat Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia Suzie Sudarman mengatakan, Indonesia harus bersikap lebih proaktif jika Biden yang terpilih memimpin AS selama empat tahun ke depan.
Sebab, sepanjang pengetahuannya, calon presiden berusia 77 tahun itu tidak memiliki hubungan yang spesial dengan Indonesia. Ini berbeda ketika Biden mendampingi Presiden Barack Obama yang memiliki hubungan masa kecil yang dalam dengan negara ini.
Dalam pembuatan kebijakan, presiden biasanya dikelilingi banyak penasihat yang akan memberikan masukan tentang isu-isu khusus, termasuk isu kawasan.
Kini, dengan minimnya pemahaman Biden atas kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia, kata Suzie, Indonesia hanya bisa berharap Biden menunjuk penasihat khusus untuk wilayah Asia dan atau Asia Tenggara yang benar-benar paham mengenai dinamika perkembangan di kawasan.
Isu HAM
Dibandingkan dengan Republikan yang tidak begitu memperhatikan soal penegakan hak asasi manusia (HAM), jika Biden yang berkuasa, Indonesia harus lebih tegas dalam penegakan nilai-nilai demokrasi, termasuk di dalamnya penegakan soal HAM.
Demokrasi kita sudah berjalan cukup baik. Penegakan HAM yang jauh dari sempurna.
”Demokrasi kita sudah berjalan cukup baik. Penegakan HAM yang jauh dari sempurna,” ujarnya.
Dengan latar belakang pengusaha, kebijakan dagang Trump yang diambil Pemerintah AS sekarang bisa dikatakan menutup mata terhadap persoalan penegakan HAM di negara tujuan. Suzie mencontohkan penjualan senjata ke beberapa negara Teluk yang pemerintahannya disorot karena melakukan banyak pelanggaran HAM.
”Bagi saya, adanya pengawasan pihak luar yang ketat dan berdampak mendisiplinkan dalam persoalan penegakan HAM serta membuatnya lebih baik adalah sebuah hal yang bagus. Banyak sekali sikap permisif yang senyatanya hal itu adalah melanggar HAM,” kata Suzie.
Pandangan serupa disampaikan Asfinawati, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Dia mengatakan, selama Trump memimpin AS, respons Washington soal pelanggaran HAM cenderung lunak dan bahkan tidak tegas.
”Dalam norma pemerintahan yang memiliki kecenderungan bersikap otoriter, mereka tidak akan pernah menanyakan soal pelanggaran HAM. Bahkan, termasuk di dalamnya mendukung pemenuhan penegakan HAM di dalam negeri,” kata Asfinawati.
Pemahaman terhadap HAM yang tidak terlalu holistik yang diperlihatkan oleh pemerintahan Trump akan memengaruhi penghormatan pemerintahan itu terhadap HAM.
”Politik HAM tidak akan terlalu bagus karena tidak akan ada yang mempertanyakan satu sama lain tentang kondisi penegakan HAM di negara itu atau negara lain. Tidak ada kritik,” ujarnya.
Hal ini berbeda dengan kandidat Demokrat yang dinilainya memiliki pandangan dan pemahaman mendalam soal penegakan HAM.