Dominasi PDI-P dan Ujian Loyalitas Pemilih di Purbalingga
Purbalingga menjadi salah satu basis massa PDI-P dalam setiap pergelaran pemilu. Wilayah ini tak pernah absen dalam jejak penguasaan partai berlambang banteng moncong putih tersebut.
Oleh
Dedy Afrianto
·5 menit baca
Sepanjang pelaksanaan pemilu secara langsung, PDI-P telah mengukuhkan dominasi baik pada ranah legislatif maupun eksekutif di Purbalingga, Jawa Tengah. Pada pilkada tahun ini, dominasi itu kembali diuji di tengah tren penurunan penguasaan suara dan partisipasi pemilih dalam pilkada di daerah itu.
Pada era Reformasi ini, Purbalingga di Jawa Tengah, menjadi salah satu basis massa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P dalam setiap pergelaran pemilu. Dalam kancah pemilihan nasional ataupun kontestasi lokal, wilayah ini tidak pernah absen dalam jejak penguasaan partai berlambang banteng moncong putih tersebut.
Dalam Pemilu 2009, misalnya, PDI-P menjadi satu-satunya di antara 38 partai politik (parpol) peserta pemilu yang berhasil meraih lebih dari 20 persen suara di Purbalingga. Kemenangan juga diraih PDI-P dalam Pemilu 2014 dengan 21,9 persen suara dan mengungguli beberapa partai besar lain, seperti Gerindra (18,7 persen), Golkar (10,4 persen), dan Partai Kebangkitan Bangsa/PKB (9,7 persen).
Di lembaga legislatif daerah, kemenangan PDI-P sulit untuk disaingi parpol lain. Dominasi itu salah satunya terlihat dalam Pemilu 2009. Saat itu, PDI-P berhasil meraih 13 kursi DPRD Purbalingga, di atas parpol lain, seperti Demokrat (7 kursi), Golkar (6 kursi), dan Partai Amanat Nasional/PAN (5 kursi).
Pada Pemilu 2019, PDI-P masih menguasai DPRD Purbalingga dengan 10 dari total 45 kursi yang diperebutkan. Meski hampir diimbangi PKB (9 kursi), PDI-P masih melanjutkan jejak penguasaan suara di wilayah Purbalingga. Selain itu, setiap calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diusung PDI-P selalu berhasil menang dalam pilkada di Purbalingga.
Satu ciri dalam kontestasi di Purbalingga adalah persaingan antara calon yang diusung PDI-P dan Golkar. Pada 2005, PDI-P bersama PKB, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), PAN, dan Demokrat mengusung petahana Triyono Budi Sasongko yang berduet dengan Heru Sudjatmoko. Sementara Golkar jadi partai tunggal yang mengusung pasangan Munir-Soetarto Rachmat.
Bermodalkan popularitas petahana dan sokongan koalisi gemuk, pasangan Triyono Budi Sasongko-Heru Sudjatmoko berhasil meraup 84,65 persen suara, raihan suara terbesar sepanjang sejarah pergelaran pilkada di Purbalingga hingga kini.
Persaingan PDI-P dan Golkar kembali tersaji pada Pilkada 2010. Bersama PAN, PKS, dan PKB, PDI-P mengusung petahana Heru Sudjatmoko yang bersanding dengan Sukento Rido Marhaendrianto. Pasangan ini bersaing dengan calon yang diusung Golkar dan Demokrat, yakni Bambang Budi Surjono-Mohammad Wijaya. Meskipun diikuti tiga pasangan, saat itu persaingan praktis hanya terjadi antara pasangan yang diusung koalisi PDI-P dan Golkar.
Persis seperti 2005, pasangan yang diusung koalisi PDI-P kembali memenangi Pilkada Purbalingga tahun 2010 dengan 57,59 persen. Sementara pasangan Bambang-Wijaya meraup 36,31 persen suara.
Persaingan yang berbeda tersaji dalam Pilkada 2020. PDI-P dan Golkar tidak lagi bersaing, tetapi bergandengan mengusung Dyah Hayuning Pratiwi atau Tiwi yang berpasangan dengan Sudono, Ketua DPD Partai Golkar Purbalingga. Bersama PAN dan PKS, keempat parpol yang menguasai 55,6 persen kursi di DPRD Purbalingga ini akan bahu-membahu untuk merebut suara dari 743.546 pemilih.
Tiwi adalah petahana yang telah menjabat sebagai bupati sejak 2019. Sebelumnya, ia merupakan wakil bupati yang mendampingi Tasdi sejak 2016. Namun, kasus korupsi yang menjerat Tasdi membuat status Tiwi berubah dari wakil bupati menjadi bupati.
Pasangan Tiwi-Sudono akan bersaing dengan Muhammad Sulhan Fauzi-Zaini Makarim Supriyatno. Muhammad Sulhan Fauzi adalah seorang pengusaha properti. Sementara Zaini Makarim Supriyatno merupakan adik ipar Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Pasangan ini diusung oleh PKB, Gerindra, PPP, Demokrat, dan Nasdem yang menguasai 44,4 persen kursi di DPRD.
Jika melihat komposisi dukungan parpol sesuai penguasaan kursi di DPRD Purbalingga, kedua pasangan memperoleh proporsi yang cukup berimbang. Artinya, persaingan masih akan terlihat dengan bergeraknya setiap mesin parpol di tengah dominasi PDI-P.
Loyalitas
Meski PDI-P mendominasi dalam jejak pemilihan legislatif dan eksekutif di Purbalingga, persaingan belum dapat dikatakan selesai. Pada satu sisi, peluang besar memang dimiliki pasangan Tiwi-Sudono. Status petahana dan sejarah kemenangan PDI-P di Purbalingga menjadi modal kuat pasangan ini.
Namun, dua modal ini masih belum cukup kuat untuk menjamin kemenangan. Pasalnya, ada tren penurunan loyalitas pemilih kepada PDI-P di Purbalingga, baik dalam ranah eksekutif maupun legislatif.
Pada ranah eksekutif, terjadi penurunan persentase suara dari setiap calon yang didukung PDI-P. Jika dalam Pilkada 2005 calon yang diusung oleh PDI-P dan koalisi mampu meraup 84,65 persen suara, raihan ini turun pada Pilkada 2010 menjadi 57,59 persen dan pada Pilkada 2015 sebesar 54,51 persen.
Penurunan ini berbanding lurus dengan penguasaan kursi di PDI-P dalam ranah legislatif. Pada 2009, hampir sepertiga kursi di DPRD Purbalingga dikuasai oleh PDI-P. Namun, jumlah ini terus menurun pada Pemilu 2014 (24,4 persen) dan Pemilu 2019 (22,2 persen).
Kondisi itu mengindikasikan adanya pergeseran preferensi pemilih secara perlahan. Hal ini bisa saja teratasi mengingat bergabungnya Golkar dalam koalisi. Namun, persaingan dalam meraih penguasaan suara masih terbuka mengingat penantang petahana juga disokong oleh beberapa partai besar, seperti PKB dan Gerindra.
PKB memiliki tren yang cukup baik dalam ranah pemilihan legislatif. Bahkan, pada Pemilu 2019, kursi yang diraih parpol ini di DPRD Purbalingga meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan lima tahun sebelumnya, dari lima kursi menjadi sembilan kursi. PKB hanya memiliki selisih satu kursi dengan PDI-P sebagai partai pemenang. Ini menjadi salah satu modal untuk meraih basis massa bagi pasangan Muhammad Sulhan Fauzi-Zaini Makarim Supriyatno.
Di tengah peluang dan tantangan yang dimiliki oleh kedua pasangan, penurunan partisipasi pemilih dalam setiap pergelaran pilkada juga menjadi hal yang perlu disiasati. Pada Pilkada 2015, hanya 60,4 persen pemilih yang menggunakan hak pilihnya. Persentase ini turun jauh dibandingkan dengan Pilkada 2005 (73,1 persen).
Kondisi ini menggambarkan masih besarnya ceruk suara yang dapat diraih kedua pasangan andai berhasil meraih basis dukungan dari pemilih yang selama ini tidak menggunakan hak pilihnya. Artinya, kesempatan masih terbuka bagi kedua pasangan calon untuk meraih kemenangan jika berhasil memanfaatkan setiap peluang. (LITBANG KOMPAS)