Antara Kekuatan Parpol dan Popularitas Sosok
Dalam Pilkada Kabupaten Bandung kali ini, kredibilitas partai politik diuji. Apakah mereka sekadar kendaraan atau menjadi penentu kemenangan pasangan calon?
Sejarah pemilihan kepala daerah di Kabupaten Bandung menunjukkan peran partai politik yang kuat di tahapan pencalonan, tetapi acap kali lemah di tahap elektoral. Dominasi sosok dan kekuatan politik lama bisa mengalahkan mesin parpol.
Citra sebagai daerah dengan cita rasa ketokohan politik yang cenderung konservatif terlihat dominan jika melihat kepemimpinan daerah ini yang selama dua dekade hanya dikuasai dua nama, Obar Sobarna (2000-2010) dan Dadang M Nasser (2010-2020). Tidak banyak pilkada yang menghasilkan pola kepemimpinan seperti itu.
Demikian pula jika melihat pola kemenangan parpol dalam pemilu legislatif kabupaten, terindikasi bahwa wilayah ini bergeser dari wilayah dominasi parpol sekuler nasionalis menjadi parpol religius agamis. Perolehan suara Golkar dan PDI-P yang tinggi pada Pileg 2014 makin tergerus oleh PKS dan PAN pada Pileg 2019.
Meski demikian, dalam tahap kandidasi atau pencalonan sesungguhnya kerap muncul para calon yang bervariasi, baik dari latar belakang sosial ekonomi maupun politik. Dalam Pilkada 2020 ini muncul sejumlah nama yang mencerminkan pola itu.
Pasangan calon dengan nomor urut satu adalah pasangan Nia K Agustina dan Usman Sayogi yang diusung Golkar dan Gerindra. Golkar memiliki 11 kursi di DPRD Bandung, sedangkan Gerindra 7 kursi. Total kekuatan koalisi ini 32,7 persen dari total kursi DPRD.
Nia mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan status pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Meski begitu, dia sebenarnya istri dari Dadang M Nasser, bupati petahana. Nia juga anak Obar Sobarna, bupati sebelum Dadang. Artinya, ada relasi kekerabatan antara Obar Sobarna, Dadang M Nasser, dan Nia K Agustina.
Nia menggandeng Usman, seorang birokrat senior yang telah menjadi aparatur sipil negara sejak 1989 dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bandung.
Kemudian, pasangan nomor urut dua adalah duo Yena I Masoem dan Atep Rizal. Pasangan ini didukung 20 persen kursi parlemen yang berasal dari PDI-P dan PAN. PDI-P memiliki 7 kursi, sementara PAN 4 kursi di DPRD Kabupaten Bandung.
Yena-Atep merupakan duo pengusaha dan atlet. Yena mencatatkan diri sebagai Direktur Utama PT Masoem Generasi Utama. Pada 2019, ia menjadi Wakil Ketua Himpunan Wiraswasta Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Bandung-Sumedang. Sementara Atep tersohor sebagai atlet sepak bola. Atep sosok yang berprestasi dan populer di kalangan penggemar sepak bola di Bandung. Ia tergabung di Persatuan Sepak Bola Indonesia Bandung (Persib) sejak 2008 hingga 2018.
Adapun pasangan di nomor urut tiga adalah Dadang Supriatna dan Sahrul Gunawan. Pasangan ini diusung oleh koalisi besar empat partai, yaitu PKS, PKB, Partai Nasdem, dan Partai Demokrat. PKS termasuk partai besar dengan kepemilikan 10 kursi. Disusul PKB dengan 6 kursi serta Nasdem dan Demokrat masing-masing 5 kursi. Total kekuatan koalisi ini adalah 47,3 persen.
Dadang-Sahrul adalah kombinasi politikus dan figur publik. Sudah satu dekade Dadang duduk sebagai wakil rakyat di DPRD Kabupaten Bandung (2009-2019). Ia melanjutkan karier politiknya sebagai anggota DPRD Provinsi Jabar sejak terpilih pada Pemilu 2019.
Adapun Sahrul Gunawan sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia di dunia hiburan, sebagai penyanyi dan aktor peran. Ia mulai dikenal luas pada debutnya dalam sinetron Jin dan Jun yang tayang sejak 1996. Dalam lembar pendaftaran calon wakil bupati, Sahrul mendata dirinya sebagai Direktur Utama PT AFI Tour dan pemimpin yayasan pendidikan di Ciawi, Bogor.
Pemetaan modal
Dari sisi modal kapital, Yen-Atep dan Dadang-Sahrul memiliki kekayaan gabungan hampir sama besar. Menurut Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), Yena-Atep memiliki total harta kekayaan Rp 32,76 miliar, sedangkan Dadang-Sahrul sekitar Rp 31,35 miliar. Adapun harta kekayaan Nia-Usman tercatat Rp 17,52 miliar.
Dari sisi modal dukungan mesin politik, pasangan nomor urut tiga cenderung lebih unggul, dicerminkan hampir separuh kekuatan parlemen. Dadang juga sudah cukup lama berkiprah di parlemen, yaitu selama satu dekade.
Dengan memasang Sahrul sebagai wakil, tentunya manfaat popularitas ingin diraih paslon ini. Kombinasi antara mesin politik parpol dan daya tarik popularitas artis agaknya ingin disatukan kubu ini untuk meraih simpati pemilih Bandung.
Di kubu berbeda, modal sosial-politik juga dimiliki oleh Nia-Usman. Seperti yang sudah disinggung di atas, Nia adalah kerabat dekat dari pemimpin Bandung selama dua dekade terakhir. Ayah Nia, Obar Sobarna, terpilih menjadi Bupati Bandung periode 2000-2005 melalui pemilihan oleh DPRD. Obar kembali terpilih pada Pilkada 2005 meski dengan kemenangan tipis. Obar meraih 50,85 persen suara, sedangkan pasangan Dudin-Ridho memperoleh 49,15 persen suara.
Sementara itu, suami Nia, Dadang M Nasser, diusung Partai Golkar dan menang pada Pilkada 2010 dengan perolehan suara 53,24 persen. Dadang kembali menang pada Pilkada 2015, tetapi melalui jalur perseorangan dengan perolehan 64,27 persen suara.
Proporsi kemenangan melalui jalur perseorangan itu mencerminkan karakter ketokohan Dadang yang kuat di daerah ini. Pemilih Kabupaten Bandung, yang masih terikat secara emosional dengan kepemimpinan sebelumnya, tentu akan cenderung memilih pasangan calon ini.
Baca juga: Warisan Usang Banjir Tiada Akhir
Adapun Yena-Atep tampaknya berusaha menggugah sentimen masyarakat Bandung yang gandrung dengan sepak bola. Atep Rizal adalah mantan kapten Persib yang diyakini memiliki pengikut fanatik dalam sepak bola. Jika modal ini bisa ditransformasi ke pilihan politik, pasangan ini akan menjadi kuda hitam. Tentunya diperkuat dengan modal kapital yang dimiliki Yena.
Parpol bukan penentu
Sejarah pilkada di Bandung membuktikan bahwa mesin partai bukan faktor penentu kemenangan. Pada kasus tertentu, dukungan parpol bahkan dianggap menghambat kemenangan calon. Pada Pilbup 2010, pasangan Dadang M Nasser dan Deden R Rumaji memenangi kontestasi meski tidak didukung kekuatan parlemen yang besar.
Saat itu, Dadang-Deden diusung Partai Golkar dengan modal suara partai 16,6 persen. Pasangan ini melaju hingga putaran kedua dengan perolehan suara 53,24 persen. Meski begitu, Dadang-Deden memiliki keuntungan dari akses birokrasi karena Dadang adalah menantu Bupati Obar Sobarna yang masih menjabat sehingga ”permainan” birokrasi bisa saja terjadi (Kompas, 29/6/2010).
Baca juga: Bengkel Kehidupan Bekal Menata Masa Depan
Hal ini menegaskan, peran partai politik memang lebih kuat dan berpengaruh di tahapan pencalonan. Namun, di tahapan pemilihan pasangan calon lebih banyak bertumpu pada pengaruh sosok mereka, popularitas, rekam jejak, dan tentunya dinamika di lapangan.
Tidak mengherankan jika kemudian dalam Pilkada Kabupaten Bandung kali ini juga akan menjadi ujian bagi kredibilitas partai politik, apakah mereka sekadar kendaraan atau sekaligus pengantar kemenangan para pesohor daerah.
(Litbang Kompas)