Kota Depok, Menggali Ceruk Suara di Tengah Dominasi PKS
Terlepas dari dominasi parpol atau tokoh di Depok, persaingan ketat masih akan terjadi untuk memperebutkan ceruk suara dari masyarakat yang apatis dengan penyelenggaraan pilkada.
Oleh
Dedy Afrianto
·5 menit baca
Penguasaan eksekutif dan legislatif menunjukkan kuatnya dominasi Partai Keadilan Sejahtera di Kota Depok, Jawa Barat. Namun, persaingan perebutan suara pada Pilkada 2020 masih cukup sengit mengingat dominasi PKS akan berhadapan dengan poros koalisi yang menguasai dua per tiga kursi di DPRD.
PKS dan Kota Depok, Jawa Barat, adalah dua hal yang sulit dipisahkan dalam konteks politik lokal. Daerah ini merupakan salah satu lumbung suara bagi PKS di Jawa Barat.
Catatan Litbang Kompas, dalam pemilu legislatif, Depok menjadi salah satu daerah pemilihan (dapil) yang konsisten mengirimkan wakil dari PKS ke DPR. Pada 2019, misalnya, dari enam kursi yang diperebutkan, PKS berhasil mengirimkan dua wakil pada dapil Jawa Barat VI yang meliputi Kota Depok dan Bekasi. Saat itu, caleg dari PKS berhasil mengalahkan nama-nama besar dari partai politik (parpol) lain, seperti Lukman Hakim Saifuddin (PPP) dan Hanif Dhakiri (PKB) yang merupakan menteri pada Kabinet Kerja 2014-2019.
Hal yang sama terlihat di DPRD kota, di mana PKS cukup mendominasi raihan kursi sejak Pemilu Legislatif 2004. Bahkan, pada 2019, PKS berhasil memenangi pemilu di Depok dan meraih kursi terbanyak di DPRD (12 kursi).
Catatan yang sama ditorehkan PKS pada pemilu presiden. Dalam Pilpres 2014 dan 2019, Depok jadi wilayah kemenangan Prabowo Subianto, calon presiden yang diusung PKS, dengan 57 persen suara.
Dalam gelaran pilkada, calon yang diusung PKS sebagai wali kota dan wakil wali kota Depok juga selalu berujung pada kemenangan. Ini menunjukkan, loyalitas pemilih PKS sangat terjaga dalam setiap gelaran pemilu, baik pada skala lokal maupun nasional.
Torehan keberhasilan PKS dalam mendulang suara di Depok sudah terlihat sejak Pilkada 2005. Saat itu, PKS mengusung pasangan Nur Mahmudi-Yuyun Wirasaputra dan berhasil menang dengan raihan 43,9 persen suara.
Kemenangan juga berhasil diraih pada Pilkada 2010. PKS yang mengusung Nur Mahmudi-Mohammad Idris memperoleh 41 persen suara. PKS saat itu turut dibantu oleh Partai Amanat Nasional dan beberapa partai di luar DPRD dalam memenangi kontestasi.
Penguasaan suara yang lebih besar berhasil diraih oleh PKS saat mengusung pasangan Mohammad Idris-Pradi Supriatna pada Pilkada 2015. Bersama Gerindra, PKS berhasil memenangkan pasangan ini dengan meraup 61,91 persen suara.
Rentetan keberhasilan ini menunjukkan kuatnya hegemoni PKS selama 15 tahun terakhir di Kota Depok. PKS berhasil mengukuhkan diri dengan basis massa Islam perkotaan di tengah kemajemukan masyarakat di Kota Depok.
Dua petahana
Kini, dominasi PKS kembali diuji dalam Pilkada 2020. Persis seperti satu dekade lalu, pilkada tahun ini akan diikuti oleh dua sosok yang sama-sama pernah didukung PKS pada pilkada lima tahun sebelumnya.
Jika pada 2015 PKS mengusung pasangan Mohammad Idris-Pradi Supriatna, pada pilkada kali ini kedua sosok itu saling bersaing pada dua poros kekuatan yang berbeda. Kondisi ini serupa dengan tahun 2010, saat Nur Mahmudi pecah kongsi dengan wakilnya, Yuyun Wirasaputra.
Pada pilkada tahun ini, Mohammad Idris kembali diusung oleh PKS. Ini adalah kali ketiga bagi dia ikut serta dalam pemilihan wali kota dan wakil wali kota Depok. Sebelumnya, ia pernah mencalonkan diri sebagai calon wakil wali kota pada 2010 dan calon wali kota pada 2015.
Mohammad Idris berpasangan dengan Imam Budi Hartono, anggota DPRD Jawa Barat dari PKS. Imam adalah anggota legislatif dari dapil Kota Depok dan Bekasi. Artinya, Idris dan Imam telah memiliki modal elektoral dalam pengalaman pemilu sebelumnya.
Pasangan Idris-Imam akan berhadapan dengan Pradi Supriatna-Afifah Alia. Pradi serta Afifah adalah sosok yang juga telah dikenal masyarakat Depok.
Pradi adalah petahana yang sejak 2016 menjabat sebagai wakil wali kota Depok. Sementara Afifah adalah pengusaha sekaligus calon wakil wali kota perempuan pertama sepanjang penyelenggaraan pilkada di Depok.
Menilik berdasarkan poros koalisi, pasangan Pradi-Afifah mendominasi dukungan partai di DPRD Depok. Dengan sokongan enam parpol, pasangan ini meraih 66 persen dukungan dari total penguasaan kursi di DPRD Kota Depok. Sementara pasangan Idris-Imam hanya didukung oleh partai yang menguasai 34 persen kursi di DPRD.
Pusaran konflik
Jika melihat peta persaingan, kedua pasangan calon memiliki modal kekuatan yang cukup berimbang. Pasangan Idris-Imam disokong oleh modal sosial yang kuat dari rekam jejak loyalitas pemilih PKS selama 15 tahun terakhir. Sementara pasangan Pradi-Afifah juga memiliki modal kuat dengan dukungan partai yang menguasai dua per tiga kursi DPRD Kota Depok. Kondisi ini mengindikasikan bahwa Pilkada Depok tahun ini akan berlangsung cukup ketat.
Jika menengok pada beberapa kontestasi ke belakang, Pilkada Depok kerap menyuguhkan beberapa konflik yang tidak terduga. Pada 2005, misalnya, Pengadilan Tinggi Jawa Barat sempat menganulir kemenangan Nur Mahmudi-Yuyun Wirasaputra yang telah ditetapkan KPU Depok karena dinilai ada penggelembungan suara. Keputusan ini dikeluarkan pada Agustus 2005. Pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad kemudian dinyatakan sebagai pemenang.
Namun, pada Desember 2005, Mahkamah Agung menilai putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat keliru. Pasangan Nur Mahmudi-Yuyun Wirasaputra kembali dinyatakan sebagai pemenang Pilkada Depok.
Pada 2010, Pilkada Depok juga diiringi oleh konflik dukungan ganda yang diberikan Partai Hanura kepada pasangan Yuyun Wira Saputra-Pradi Supriatna dan Badrul Kamal-Agus Suprianto. Puncaknya, pada 2012, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yang membatalkan Surat Keputusan KPU Depok tentang rekapitulasi hasil penghitungan suara Pilkada Depok 2010. Namun, keputusan ini tak serta merta menggugurkan status Nur Mahmudi sebagai wali kota Depok.
Peluang
Pusaran konflik dalam penyelenggaraan Pilkada Depok semakin mengukuhkan ketat dan kerasnya persaingan di wilayah ini. Kondisi itu juga menegaskan bahwa jalan untuk memenangi persaingan di Kota Depok adalah tidak ringan untuk semua kandidat.
Terlepas dari dominasi parpol atau tokoh di Depok, persaingan ketat masih akan terjadi untuk memperebutkan ceruk suara dari masyarakat yang apatis dengan penyelenggaraan pilkada. Jika menilik dua pilkada sebelumnya, partisipasi pemilih di Depok tidak pernah melebihi angka 60 persen, yakni 54,19 persen pada Pilkada 2010 dan 56,15 persen dalam Pilkada 2015. Artinya, lebih dari 40 persen pemilih di Depok enggan menggunakan hak pilihnya.
Jika partisipasi pemilih berhasil ditingkatkan, tentu jadi kesempatan untuk memperoleh tambahan dukungan selain basis massa yang telah dimiliki setiap pasangan calon. Artinya, potensi kemenangan masih cukup terbuka bagi kedua pasangan calon jika mereka berhasil memanfaatkan peluang sekecil apa pun.