Kalimantan Utara Menuju Demokrasi yang Kian Matang
Berbagai indikator menunjukkan Kalimantan Utara menuju ke arah kemapanan berdemokrasi. Perbaikan indeks demokrasi, kemunculan tiga pasangan, hingga kecilnya risiko kerawanan menjadi lanskap yang menumbuhkan optimisme.
Kehadiran tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur membawa Pilkada Kalimantan Utara ke ruang persaingan yang sama sekali berbeda dengan kontestasi lima tahun sebelumnya. Lanskap sosial dan politik yang berubah juga menjadi jalan untuk mengukuhkan kematangan berdemokrasi bagi provinsi termuda di Indonesia ini.
Pemilihan kepala daerah di Kalimantan Utara (Kaltara) sejak lama diprediksi diramaikan lebih dari satu pasangan calon. Kondisi ini dimungkinkan mengingat Kaltara memiliki magnet kuat guna menarik para tokoh untuk bersaing memperebutkan kursi kepala daerah.
Setidaknya ada satu alasan utama yang menyebabkan kuatnya daya tarik untuk bersaing di Kaltara. Wilayah ini merupakan provinsi termuda yang resmi terbentuk pada 2013. Kaltara baru melakukan satu kali pemilihan kepala daerah, yakni pada 2015. Segmentasi kekuasaan dalam bentuk apa pun, baik dinasti politik maupun polarisasi kuasa, belum sepenuhnya terbentuk sehingga ruang kemenangan terbuka lebar bagi siapa pun yang hendak bersaing.
Terbukanya ruang kemenangan ini menjadi daya tarik bagi sejumlah tokoh. Terbukti, calon kepala daerah yang akan bertarung tidak hanya diisi wajah lama, tetapi juga wajah baru dalam percaturan politik di Kaltara.
Wajah lama yang ikut bersaing ialah petahana gubernur dan wakil gubernur yang tahun ini sama-sama berambisi menjadi kepala daerah. Pasangan pertama adalah Udin Hianggio dan Undunsyah.
Udin Hianggio menjabat Wakil Gubernur Kaltara sejak 2016. Ia juga menjadi tokoh di Tarakan saat wilayah itu masih bagian dari Kalimantan Timur. Udin menempati pula posisi anggota DPRD Kota Tarakan pada 1999 dan Wali Kota Tarakan 2009-2014.
Adapun Undunsyah merupakan bupati terpilih pertama di Kabupaten Tana Tidung sejak daerah ini mekar pada 2007. Pengalamannya memimpin Tana Tidung dua periode membawa nama Undunsyah cukup dikenal di Kaltara.
Udin Hianggio-Undunsyah berhadapan dengan petahana Irianto Lambrie-Irwan Sabri. Irianto merupakan gubernur terpilih pertama di Kaltara yang menjabat sejak 2016. Setelah menapaki karier sebagai aparatur sipil negara di Kalimantan Timur, posisinya terus menanjak hingga menduduki kursi pejabat gubernur hingga gubernur terpilih Kaltara.
Irianto didampingi Irwan Sabri, pemuda kelahiran 1988 yang sebelumnya menduduki kursi DPRD Kabupaten Nunukan dua periode berturut-turut. Meski tergolong orang baru dalam kancah politik di Kaltara, Irwan merupakan sosok yang cukup diperhitungkan di Nunukan. Ia meraih suara terbanyak pada pemilu legislatif DPRD Nunukan 2019.
Selain tokoh lama, wajah baru dalam kontestasi di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Kaltara tahun ini juga terlihat dengan kehadiran Zainal Arifin Paliwang. Sebelumnya, Zainal menjabat Wakil Kepala Polda Kaltara pertama tahun 2018. Keikutsertaan Zainal mempertegas bahwa ruang kontestasi tahun ini berbeda dengan pilkada sebelumnya yang hanya diikuti dua pasang kandidat yang merupakan tokoh lokal.
Zainal didampingi Yansen TP, sosok berpengalaman dalam bidang pemerintahan dan politik di Kaltara. Ia pernah menjabat camat, sekretaris daerah di Kabupaten Malinau, hingga Bupati Malinau dua periode sejak 2011.
Demografi dan geopolitik
Ada satu kesamaan antara Pilkada Kaltara 2015 dan kontestasi tahun ini, yakni kehadiran perwakilan tokoh dari Malinau dan Tarakan. Hal ini mengindikasikan pentingnya kedua wilayah dalam setiap perebutan kursi gubernur sehingga tokoh dari Malinau dan Tarakan selalu dilirik dalam bursa pencalonan.
Pada 2015, Marthin Billa hadir sebagai calon wakil gubernur yang mendampingi Jusuf Serang Kasim. Marthin Billa menjabat Bupati Malinau dua periode sebelum Yansen TP. Adapun Jusuf Serang Kasim menjadi Wali Kota Tarakan 1999-2009.
Pentingnya peran Malinau dan Tarakan dalam kontestasi dapat dilihat dari sudut pandang demografi dan geopolitik. Dari sisi demografi, Kota Tarakan menjadi magnet elektoral karena memiliki jumlah penduduk terbesar di Kaltara.
erdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, pada 2019, sebanyak 36,5 persen penduduk Kaltara berada di Kota Tarakan. Maka, wajar jika selalu terdapat perwakilan tokoh dari Tarakan pada setiap pilkada di Kaltara.
Di sisi lain, Malinau tak begitu berpengaruh dari sisi demografi. Wilayah ini hanya menyumbang 12,18 persen dari total jumlah penduduk di Kaltara. Namun, Malinau memiliki peran vital dari sisi geopolitik.
Lebih dari separuh wilayah Kaltara, 56,48 persen, merupakan bagian dari daerah administratif Kabupaten Malinau. Wilayah ini juga memiliki pendapatan daerah terbesar di Kaltara sekaligus wilayah dengan surplus anggaran pendapatan tertinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lain.
Baca juga: Punan Kalimantan Memiliki Genetik Berbeda dengan Dayak
Maka, secara geopolitik, Malinau memiliki posisi sangat strategis. Memimpin Malinau sama dengan menjadi pemimpin bagi lebih dari separuh wilayah Kaltara. Tidak mengherankan, sosok yang pernah memimpin wilayah ini selalu mencuri perhatian untuk diusung dalam bursa pencalonan gubernur dan wakil gubernur.
Wajah demokrasi
Di tengah persaingan perebutan kursi kepala daerah pada 2015 dan sekarang, Kaltara mempunyai catatan menarik terkait perubahan wajah dan tata ruang demokrasi. Sebagai provinsi baru, laju perubahan itu terbilang cepat mengingat keterbelahan politik pernah membayangi Kaltara pada Pilkada 2015.
Saat itu, kursi gubernur diperebutkan pasangan Irianto Lambrie-Udin Hianggio dan Jusuf Serang Kasim-Marthin Billa. Pilkada berakhir ricuh setelah pendukung salah satu pasangan calon menuntut pelaksanaan pemilihan diulang. Puncaknya, massa pengunjuk rasa merusak kendaraan dan membakar salah satu ruangan di kompleks Kantor Gubernur Kaltara.
Namun, wajah demokrasi di Kaltara mulai berubah. Salah satunya terlihat dalam Pemilu 2019 yang berjalan damai dengan indeks demokrasi Kaltara yang membaik.
Pada tahun lalu, indeks demokrasi pada aspek lembaga demokrasi dan kebebasan sipil masuk pada kategori baik. Adapun indeks terkait aspek hak politik, yang menyakut hak memilih dan dipilih serta partisipasi dalam pengawasan pemerintah, masuk pada kategori sedang.
Baca juga: Pertahanan di Kalimantan
Berdasarkan catatan Badan Pengawas Pemilu, Kaltara juga menjadi provinsi dengan tingkat kerawanan terendah dalam Pilgub 2020, baik dalam konteks sosial-politik maupun kontestasi. Indeks kerawanan Kaltara lebih bagus dibanding provinsi penyelenggara pilgub lainnya.
Kestabilan wilayah yang mulai terbentuk dapat menjadi modal bagi penyelenggaraan pilkada di tengah meratanya persaingan dalam Pilgub Kaltara 2020. Distribusi dukungan cukup merata dari partai peraih kursi di DPRD. Bahkan, empat partai dengan raihan suara terbanyak dalam Pemilu 2019 memberikan dukungan yang tersebar pada tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur.
Segala indikator itu menunjukkan Kaltara sebagai provinsi baru telah menuju ke arah kemapanan berdemokrasi. Perbaikan indeks demokrasi, kemunculan tiga pasangan calon (wajah lama dan wajah baru), hingga kecilnya risiko kerawanan menjadi lanskap yang seharusnya membawa Kaltara ke ruang demokrasi yang lebih baik usai pilkada.
(Litbang Kompas)