Dominasi Kekuatan Petahana di Kalimantan Selatan
Kubu petahana mendominasi kekuatan politik dalam kontestasi Pilkada 2020 di Kalimantan Selatan. Meskipun berat, peluang penantangnya untuk memenangi pemilihan tetap terbuka.
Besarnya dukungan yang mengalir dari koalisi partai membuat kubu petahana mendominasi kekuatan politik dalam kontestasi Pilkada 2020 di Kalimantan Selatan. Selain dukungan partai, faktor ketokohan yang direpresentasikan oleh pasangan calon lainnya tentunya juga masih sangat memengaruhi pilihan publik.
Pilkada Kalimantan Selatan akan diikuti oleh dua pasangan calon. Paslon pertama adalah gubernur petahana Sahbirin Noor yang menggandeng Muhidin sebagai calon wakilnya. Sementara di kubu penantang petahana muncul sosok Denny Indrayana yang berpasangan dengan Difriadi Darjat.
Dominasi kekuatan petahana dalam gelaran pemilihan Gubernur Kalsel kali ini memang begitu kentara dari formasi yang ditunjukkan dalam koalisi partai pendukung. Paslon Sahbirin dan Muhidin mendapat dukungan enam dari sepuluh partai di parlemen, yaitu Golkar, PAN, PDI-P, PKS, Nasdem, dan PKB.
Dukungan dari sejumlah partai papan atas parlemen daerah tersebut membuat total jumlah dukungan untuk kubu petahana mencapai lebih dari 72 persen kursi DPRD. Selain itu, tiga partai politik nonparlemen lainnya, yaitu Perindo, PKPI, dan PSI, juga mendeklarasikan diri masuk dalam barisan pendukung paslon petahana ini.
Derasnya dukungan yang mengalir pada satu kubu paslon tentu akan bertolak belakang pada satu paslon lainnya. Berbeda dengan sang petahana, kubu Denny dan Difriadi disokong oleh tiga kekuatan partai, yaitu Demokrat, Gerindra, dan PPP. Penggabungan kekuatan politik menghasilkan dukungan dari sekitar 25 persen kursi di parlemen Kalsel.
Masuknya PDI-P di detik terakhir dalam pencalonan tentulah kian memperkuat blok petahana dengan tambahan delapan kursi di parlemen
Pada masa penjaringan lalu, sebetulnya mencuat kemungkinan untuk poros dukungan baru yang merupakan gabungan dari PDI-P dan PPP. Namun, konsolidasi dua partai itu tampaknya tak berbuah manis. Hingga di pengujung masa pencalonan, PPP memutuskan bergabung dengan kubu Denny dan Difriadi, disusul kemudian PDI-P yang mengambil sikap masuk dalam barisan koalisi petahana.
Masuknya PDI-P pada detik terakhir dalam pencalonan tentulah kian memperkuat blok petahana dengan tambahan delapan kursi di parlemen. Sementara PPP tak cukup banyak memberikan suntikan tambahan kekuatan koalisi Demokrat dan Gerindra yang berada di garis pas ambang batas pengusungan.
Selain dukungan politik, kehadiran sosok Muhidin yang digandeng sebagai calon wakil gubenur kian memperkuat modal ketokohan dari gubernur petahana. Muhidin dikenal sebagai birokrat yang memiliki kiprah luar biasa hingga pernah menduduki jabatan sebagai Wali Kota Banjarmasin periode 2010-2015.
Tantangan berat
Formasi koalisi partai dan sosok paslon tentulah menjadi pertimbangan dasar untuk mengukur peta kekuatan dari tiap paslon. Dilihat dari kedua aspek tersebut, paslon Denny dan Difriadi tampaknya memang harus bekerja cukup keras untuk dapat mengimbangi dominasi kepopuleran dari blok petahana.
Sosok Denny Indrayana yang pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono barangkali memang juga sangat dikenal publik. Tak sedikit pula yang lebih mengenal Denny sebagai seorang akademisi. Ia tercatat pernah menjadi Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Gajah Mada dan aktif di penelitian dan gerakan antikorupsi.
Selain itu, kiprah Denny sebagai praktisi bidang hukum juga tak diragukan lagi. Berbagai kasus besar pernah ditanganinya, termasuk ketika menjadi pengacara untuk Prabowo-Sandi dalam sengketa hasil Pilpres 2019.
Namun, modal popularitas dan kiprahnya di kancah nasional tersebut agaknya masih cukup berjarak dengan masyarakat di daerah Kalsel. Sosok Difriadi yang didapuk sebagai calon wakil gubernur secara ketokohan memang cukup kuat mendongkrak popularitas paslon ini.
Bahkan, bisa dikatakan sisi ketokohan Difriadi di Kalsel jauh lebih kuat. Berkiprah sangat matang sebagai birokrat hingga pernah menjabat sebagai Wakil Bupati Tanah Bumbu periode 2010-2015. Sosok Difriadi juga sangat dikenal dalam lingkungan masyarakat adat karena tengah memegang amanah sebagai Ketua Umum Dewan Adat Dayak Provinsi Kalsel.
Dominasi Golkar
Sementara itu, bagi masyarakat Kalsel, sosok Sahbirin dan Muhidin memang sangatlah populer. Hal yang cukup menarik bagi keduanya yang kini berpasangan, pada gelaran Pilgub 2015 Sahbirin dan Muhidin merupakan lawan politik.
Saat itu, sosok pengusaha yang akrab disapa Paman Birin itu menggaet sang petahana wakil gubernur Rudy Resnawan untuk mendampinginya sebagai calon wakil gubernur. Paslon Sahbirin dan Rudy itu memborong dukungan dari partai-partai besar PDI-P, Gerindra, PKS, PAN, Hanura, PPP, dan Golkar.
Sementara Muhidin maju sebagai paslon bersama Gusti Farid Hasan Aman yang tak lain adalah putra dari Gubernur Kalsel 1995-2000, Gusti Hasan Aman. Paslon ini maju dari jalur independen dan berhasil meraih suara cukup tinggi mencapai 40,31 persen. Jumlah itu hanya berselisih tipis dari paslon pemenang Sahbirin dan Rudy Resnawan yang meraup tak kurang dari 41,09 persen suara.
Meskipun gagal merebut takhta kepemimpinan di Kalsel, jumlah perolehan suara yang mampu nyaris mengimbangi paslon dari dukungan koalisi partai tersebut terbilang fantastis untuk pasangan perseorangan. Hal ini sekaligus juga menunjukkan selain kekuatan politik dari pusaran dukungan partai, modal ketokohan dari Muhidin berpengaruh kuat pada pilihan masyarakat.
Keberhasilan Sahbirin menjadi gubernur seperti menjadi titik kebangkitan kejayaan Golkar yang kembali sukses mengusung kadernya untuk menduduki jabatan kepemimpinan di Kalsel. Padahal, dalam tiga kali gelaran pemilihan legislatif, Golkar sukses mendominasi raihan suara.
Di Pileg 2008, dua partai politik, yaitu Golkar dan Demokrat masing-masing sukses mengusai suara tertinggi degan mendapatkan 10 kursi di DPRD Provinsi Kalsel. Begitu pun pada periode Pemilu 2014, raihan suara Golkar kian bertambah hingga dapat menguasai 13 kursi dari total 55 kursi DPRD. Sementara dulangan suara Demokrat justru turun drastis hingga hanya mampu mendapatkan 4 kursi.
Sementara pada Pemilu 2019, meskipun berkurang satu kursi dari periode sebelumnya, partai beringin tetap kokoh mempertahankan kedudukannya sebagai partai jawara. Keberhasilan itu juga menandaskan bahwa Golkar tetap menjadi satu-satunya partai di legislatif Kalsel yang memiliki jumlah kursi memenuhi persentase ambang batas pengusungan kepala daerah, yaitu 20 persen perolehan kursi legislatif.
Meskipun begitu, muncul sebagai partai jawara dan satu-satunya yang dapat mengusung paslon pilkada tanpa koalisi, bukan berarti hal yang mudah bagi Golkar untuk meraih posisi gubernur di Kalsel. Terlebih setelah era reformasi, dominasi kader-kader Golkar untuk maju dalam pilkada pun turut melemah.
Rekam jejak elektoral di Kalimantan Selatan menunjukkan, sejak tahun 2000, jabatan kepala daerah Kalsel justru selalu diisi oleh sosok bukan dari kader Golkar. Tercatat, selama tiga kali periode kepemimpinan saat itu, jabatan Gubernur Kalsel justru selalu berhasil diambil oleh PPP.
Kekuatan Sosok
PPP memang lebih jeli memilih sosok calon potensial yang diusung dalam pemilihan. Kesuksesan PPP dalam mengusung paslon di gelanggang pilgub terbukti sejak terpilihnya Gubernur Sjahriel Dirham, seorang birokrat tulen berpengalaman, terpilih menjadi Gubernur Kalsel 2000-2005.
Selesai dengan masa jabatannya, di pengujung 2006, Sjahriel tersandung kasus korupsi. Ia diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan terbukti bersalah dalam penyalahgunaan APBD Kalimantan Selatan untuk kepentingan pribadi.
Jeratan kasus tersebut sontak juga menggulung langkah sang petahana Sjahriel untuk maju dalam jabatan periode keduanya. Namun, hal itu rupanya tak mengecilkan gurita kekuatan PPP untuk tetap mendapatkan jabatan Gubernur di Pilkada 2005.
Sosok Rudy Ariffin, kader PPP, yang juga berpengalaman dalam karier birorat di berbagai bidang kedinasan dan sebelumnya pernah menjabat sebagai Bupati Banjar masa kepemimpinan 2000-2005, diusung maju sebagai calon gubernur.
Rudy maju didampingi oleh politisi PDI-P Rosehan Noor Bahri. Paslon ini berhasil menang dengan menguasai 32,06 persen suara pemilih. Kesuksesan di pilkada tersebut juga mengantar Rudy dalam jabatan periode keduanya sebagai gubernur.
Di pemilihan gubernur 2010, sebagai petahana, Rudy maju didampingi Rudy Resnawan. Selain PPP, paslon ini diusung oleh Golkar dan Gerindra. Ketika itu, ada lima paslon yang maju dalam Pilgub Kalimantan Selatan. Namun, suara untuk dua Rudy unggul jauh dari keempat paslon lainnya dengan total perolehan mencapai 46,81 persen.
Setelah berakhirnya dua periode Gubernur oleh Rudy Ariffin, tampaknya PPP begitu kesulitan menemukan sosok kader dari internal partai yang cukup pantas untuk diusung maju sebagai kepala daerah Kalsel selanjutnya. Kondisi itu pun memaksa PPP harus ikut melebur dalam koalisi partai-partai besar lainnya yang mendukung Sahbirin Noor pada Pilkada 2015.
Meredupnya pamor kader PPP yang selalu diperhitungkan dalam pemilihan kian diperparah dengan penurunan raihan suara pada Pileg 2019, di mana partai ini hanya mampu meraih tiga kursi di DPRD Kalsel. Pada Pilkada 2020 saat ini, PPP memutuskan mengubah haluannya dengan tak lagi mengusung petahana.
Strategi PPP dalam mengusung kadernya sebagai calon kepala daerah boleh jadi dapat menjadi tolak ukur bahwa kekuatan partai politik tak lantas menjadi faktor penentu keberhasilan meraih suara pemilih di Kalsel. Kubu petahana Sahbirin dan Muhidin memang memiliki modal dukungan besar dengan memborong dukungan koalisi partai parlemen.
Namun, perang perebutan simpati pemilih kepada sosok paslon masih dapat terus berlanjut hingga waktu pemilihan. Rekam kiprah profesional ataupun politik yang apik, baik dari Denny maupun Defriadi, tentulah menjadi modal besar dari keduanya untuk dapat terus memperkuat eksistensi di tengah masyarakat sebagai paslon kepala daerah yang layak dipilih. Meskipun berat, peluang bagi Denny dan Defriadi untuk memenangi pemilihan tetap terbuka. (LITBANG KOMPAS)