Pertimbangkan Penundaan Pilkada
Pandemi Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Berhadapan dengan situasi ini, penyelenggaraan pemilihan kepala daerah seharusnya dikaji kembali.
Pelaksanaan pilkada yang direncanakan berlangsung pada Desember 2020 perlu dipertimbangkan ulang. Pandemi Covid-19 belum selesai. Jangan sampai kesehatan masyarakat dikorbankan demi kepentingan politik.
Pandemi Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Bahkan, dalam setengah bulan terakhir, pertambahan kasus positif berada di angka tiga ribuan setiap hari. Berdasarkan laman worldometers.info, secara global Indonesia berada di posisi ke-23 negara dengan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 terbanyak.
Berhadapan dengan situasi ini, penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) seharusnya dikaji kembali. Seturut Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 5/2020, saat ini tahapan pilkada sampai pada tahap verifikasi syarat calon dan pemberitahuan hasil verifikasi. Rangkaian tahapan pendaftaran calon ini akan berakhir pada 24 September dengan pengundian nomor urut calon, dilanjutkan masa kampanye.
Sementara itu, jika melihat 270 daerah pemilihan yang akan menyelenggarakan pilkada, mayoritas di antaranya memiliki status risiko sedang dan tinggi. Berdasarkan data yang dihimpun Litbang Kompas, sebanyak 49,26 persen daerah pemilihan berstatus oranye dan 13,70 persen daerah berstatus merah. Jumlah ini sangat kontras dengan daerah pemilihan yang berstatus risiko rendah (21,48 persen) serta daerah yang tak terdampak atau tidak ada kasus (15,56 persen).
Baca juga: Protokol Kesehatan Tidak Dapat Ditawar
Jika dirinci, daerah yang memiliki risiko tinggi penularan Covid-19 justru daerah yang akan melaksanakan pemilihan gubernur (pilgub). Terdapat tujuh daerah, yakni Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara. Padahal, dalam pilgub, aktivitas kampanye umumnya berlangsung lebih luas dan berpotensi menciptakan kerumunan besar.
Kendati KPU sudah menetapkan aturan mengenai protokol kesehatan yang ketat dalam proses pilkada, dalam praktik hal itu belum berjalan baik. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian telah melayangkan surat teguran kepada 72 bakal calon yang melanggar protokol kesehatan selama proses pilkada hingga sejauh ini. Dari 72 bakal calon itu, ada 1 gubernur, 35 bupati, 5 wali kota, 26 wakil bupati, dan 5 wakil wali kota.
Ketua KPU Arief Budiman, melalui konferensi pers, menyatakan, terdapat 60 calon kepala daerah yang terinfeksi Covid-19 hingga Kamis (10/9/2020). Mereka tersebar di 21 provinsi dari 32 provinsi yang laporannya sudah diterima KPU. Sejauh ini, isolasi mandiri menjadi pilihan yang diberikan bagi calon daerah yang terpapar Covid-19.
Setidaknya ada tiga faktor yang menjadi pertimbangan KPU dan pemerintah pusat untuk menunda pelaksanaan pilkada. Faktor itu meliputi daerah pemilihan yang masih rawan penyebaran Covid-19, protokol kesehatan yang masih diabaikan masyarakat, serta adanya calon kepala daerah yang terpapar Covid-19.
Opsi ditunda
Penundaan pelaksanaan pilkada juga disuarakan sejumlah pihak. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) serta koalisi yang terdiri dari Netgrit, Netfid, Pusako FH Universitas Andalas, Puskapol Universitas Indonesia, Rumah Kebangsaan, Kopel, JPPR, KIPP Indonesia, dan PPUA Disabilitas telah melayangkan petisi. Hingga 13 September, petisi ini telah mengumpulkan 30.000-an tanda tangan dari masyarakat.
Dalam petisi ini, koalisi yakin bahwa proses pilkada akan melanggar protokol kesehatan. Hal yang melanggar itu meliputi kampanye yang diikuti kerumunan, pertemuan para pemangku kepentingan, proses pemutakhiran data pemilih, pemungutan dan penghitungan suara, serta rekapitulasi dan penetapan hasil pilkada. Belum lagi, potensi penularan akan terjadi ketika para calon membagikan bantuan sosial sebagai alat kampanye.
Perdebatan mengenai penyelenggaraan pilkada bergulir sejak Maret 2020. Saat itu, KPU bersama DPR dan Kemendagri sepakat menunda pemungutan suara pilkada. Kesepakatan ini diambil dalam rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar Komisi II DPR bersama KPU dan Kemendagri pada 30 Maret.
Ada tiga opsi yang muncul dari RDP terkait waktu pelaksanaan pilkada. Pertama, penundaan hingga tiga bulan, yakni pada 9 Desember 2020. Kedua, penundaan dilakukan hingga enam bulan yang jatuh pada 17 Maret 2021. Terakhir, pemungutan suara pilkada ditunda 12 bulan, yaitu pada 29 September 2021.
Kemudian, Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Perppu yang ditandatangani pada 4 Mei 2020 tersebut menyatakan, pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 ditunda ke Desember 2020 karena ada bencana nonalam atau pandemi Covid-19. Bersamaan dengan ini, diterbitkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020.
Atas keluarnya Perppu tersebut, DPR, KPU, dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menerbitkan surat B-196/KA GUGUS/PD.01.02/05/2020 tanggal 27 Mei 2020. Surat yang ditandatangani Ahmad Doli Kurnia (Ketua Komisi II DPR RI) tersebut menyebutkan, proses pelaksanaan pilkada dapat dilanjutkan. Berdasarkan surat ini, Mendagri memberikan catatan agar protokol kesehatan senantiasa diperhatikan terutama kegiatan yang berpotensi mengakibatkan kerumunan orang.
Baca juga: Polemik Pilkada di Tengah “Amuk” Korona
Menilik kembali aturan yang terkandung dalam UU No 6/2020, penundaan pilkada masih dapat menjadi opsi di tengah situasi pandemi yang belum melandai. Ada tiga pasal dalam undang-undang tersebut yang memungkinkan pilkada ditunda kembali. Ketiganya terdapat dalam Pasal 120, 122, dan 201A.
Dalam Pasal 120 Ayat (1) dituliskan, jika ada bencana nonalam yang mengakibatkan tahapan pilkada tak dapat dilanjutkan, penundaan bisa dilakukan. Begitu pula Pasal 201A yang menegaskan Pasal 120.
Sementara itu, dalam Pasal 122A dijelaskan bahwa penundaan dapat dilakukan atas persetujuan KPU, DPR, dan pemerintah pusat. Jika penundaan telah disepakati, jadwal ulang akan ditetapkan oleh tiga lembaga negara tersebut. Selanjutnya, tata cara dan waktu akan diatur oleh KPU.
”Minus malum”
Opsi penundaan pilkada dapat dikatakan sebagai pilihan minus malum (memilih yang paling sedikit kerugiannya atau keburukannya). Masalahnya, jika pilkada kembali ditunda, pemerintah harus menyiapkan sejumlah aturan terkait masa jabatan kepala daerah yang nantinya habis pada Februari 2021. Seandainya masa jabatan kepala daerah tidak diperpanjang, harus disiapkan aturan mengenai pejabat pelaksana tugas.
Selain itu, jika pilkada ditunda, KPU juga harus menyesuaikan kembali data pemilih, yakni tambahan orang yang berusia 17 tahun pada saat hari pelaksanaan pilkada. Tentu saja hal ini akan memberikan tambahan beban pekerjaan bagi penyelenggara pilkada.
Kendati akan ada sejumlah konsekuensi bila pilkada ditunda, semua itu rasanya masih sebanding dengan hasilnya, yakni menurunnya tingkat penularan Covid-19. Pandemi Covid-19 memukul semua sektor dan membutuhkan komitmen serta sinergi segenap pihak dalam penanganannya.
(LITBANG KOMPAS)