Publik Mendukung Kebebasan Pers Beretika
Perlindungan terhadap wartawan dan media semakin perlu diperhatikan karena rentannya pers masa kini. Bagaimanapun media merupakan bagian yang tak dapat terpisahkan dari kehidupan berdemokrasi di Indonesia.
Kasus peretasan terhadap media daring beberapa waktu lalu dikhawatirkan bisa tumbuh menjadi benih ancaman kebebasan pers. Publik berharap kebebasan pers tetap bisa dijaga dan dijamin di tengah pelbagai tantangan industri pers saat ini.
Akhir Agustus lalu, laman berita nasional tempo.co diretas oleh orang tak dikenal. Pada Jumat (21/8/2020) sekitar pukul 00.30, tampilan situs berubah menjadi warna hitam. Lalu, ada iringan lagu ”Gugur Bunga” selama 15 menit. Kemudian, muncul tulisan, ”Stop Hoax, Jangan BOHONGI Rakyat Kembali ke etika jurnalistik yang benar patuhi dewan pers. Jangan berdasarkan ORANG yang BAYAR saja. Deface By @xdigeeembok” (Kompas.com 22/8/2020).
Baca juga: Masalah dalam Kebebasan Pers
Di laman tirto.id, peretasan dilakukan dengan menghapus berita-beritanya. Peretas masuk ke akun e-mail editor Tirto, lalu masuk ke sistem manajemen konten (CMS), kemudian menghapus sejumlah artikel (7 artikel). Salah satu artikel itu mengkritisi klaim ”temuan obat korona” oleh UNAIR, BIN, dan TNI AD telah melangkahi disiplin sains. Artikel ini dirilis pada Kamis (20/8/2020) pukul 15.00 (Tirto.id, 24/8/2020).
Merunut hasil jajak pendapat, seperlima bagian responden (22 persen) mengetahui perihal peristiwa peretasan yang dialami oleh Tempo.co dan Tirto.id. Aksi peretasan kepada kedua media daring tersebut disayangkan oleh masyarakat.
Baca juga: Peretasan Media Siber Mengancam Kemerdekaan Pers
Mayoritas publik (lebih dari 77 persen responden) menyatakan tidak setuju dengan aksi peretasan terhadap media daring tersebut. Alasannya, di mata responden, tindakan tersebut dinilai ilegal (21,74 persen), merusak privasi media (13,04 persen), merusak demokrasi/kebebasan pers (11,72 persen), dan berpotensi untuk menebar hoaks (10,96 persen).
Media daring/online (contoh detik.com, kompas.com, okezone.com, dan tirto.id) sudah menjadi rujukan informasi pemberitaan masyarakat umum. Menurut hasil jajak ini, media daring juga dijadikan sumber informasi oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia. Sebanyak 86 persen responden menyatakan, mereka selama ini membaca berita daring untuk memenuhi kebutuhan informasi. Lebih dari 33 persen di antaranya setiap hari mengonsumsi berita daring. Hanya sebagian kecil dari responden (13 persen) yang mengaku tidak membaca berita daring.
Baca juga: Tren Peretasan Medsos
Meski demikian, kepercayaan publik terhadap informasi yang disajikan media daring masih relatif kurang kokoh. Hal ini tecermin pada hasil jajak pendapat yang menunjukkan separuh responden (51,61 persen) percaya akan berita yang dimuat pada portal daring, sedangkan 45 persen tidak percaya berita-berita yang dimuat dalam portal media daring.
Kebebasan dalam memberitakan informasi yang kerap ditabrak media daring juga menjadi sorotan publik. Di mata publik, pemberitaan dari semua media tetap harus memperhatikan aspek etika pemberitaan. Sebanyak 83,1 persen responden menyatakan hal itu. Bahkan, 18,3 persen di antaranya tetap menilai perlunya kontrol pemerintah terhadap media.
Hal ini bisa dimengerti karena besarnya pengaruh media daring saat ini bisa menjadi kontraproduktif di tengah masih mudahnya terjadi keterbelahan dalam masyarakat. Pemberitaan yang tak mengindahkan etika pemberitaan, apalagi tak akurat dan tak memperhitungkan dampak komunikasi publik, bisa memperkeruh kohesi sosial masyarakat yang belum lepas dari sisa-sisa pertarungan politik Pemilu 2019.
Betapapun, peretasan ini mengindikasikan mundurnya kebebasan media di Indonesia. Mayoritas publik (lebih dari 86 persen responden) menyatakan, peretasan media semacam ini bisa berbahaya untuk kelangsungan demokrasi di Indonesia.
Peretasan media bisa berbahaya untuk kelangsungan demokrasi di Indonesia.
Kebebasan pers
Peristiwa peretasan ini ternyata berkebalikan dengan angka tren kebebasan pers di Indonesia. Selama empat tahun terakhir, kebebasan pers Indonesia di mata internasional justru menempati posisi yang paling baik di tahun ini. Menurut Survei Indeks Kebebasan Pers Dunia 2020 yang dibuat lembaga internasional Reporters Without Borders (RSF), Indonesia menempati posisi ke-119 di dunia. Hasil tersebut merupakan peningkatan bagi Indonesia yang semenjak 2017 selalu menempati posisi ke-124 dari 180 negara yang disurvei.
Posisi Indonesia juga cenderung baik dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara. Indonesia hanya kalah dengan Timor Leste di posisi ke-78 dan Malaysia di posisi ke-101. Sementara Vietnam, Singapura, dan Brunei Darussalam yang menempati peringkat ke-175, ke-158, dan ke-152, menjadi negara di kawasan tersebut dengan tingkat kebebasan pers yang paling buruk.
Baca juga: Negara Harus Hadir untuk Melindungi Pers
Hal serupa juga terlihat dari hasil survei Indeks Kebebasan Pers (IKP) yang diselenggarakan oleh Dewan Pers Indonesia. Angka indeks kebebasan pers di Indonesia terus membaik dalam rentang waktu tahun 2017 hingga 2019. Secara konsisten, angka IKP Indonesia merangkak naik dari 68,95 menjadi 73,71. Menurut Dewan Pers, dengan angka IKP tersebut, kebebasan pers di Indonesia dapat dimasukkan ke dalam kategori ”cukup bebas”.
Selain kasus peretasan media online, masih ada persoalan lain yang belum terselesaikan di Indonesia ialah kekerasan terhadap pekerja pers. Menurut pantauan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), kasus intimidasi dan kekerasan terhadap wartawan selama beberapa waktu terakhir justru meningkat.
Baca juga: Kekerasan, Pasal Karet, dan Pembatasan Internet Hambat Kinerja Jurnalis
Dari catatan AJI, diketahui terjadi 53 kasus kekerasan terhadap wartawan selama tahun 2019. Parahnya, kekerasan terhadap wartawan ini sebagian besar justru dilakukan oleh polisi dengan jumlah 32 kasus. Sementara pihak-pihak lain yang kerap melakukan kekerasan kepada wartawan ialah warga dengan 7 kasus dan organisasi massa dengan 6 kasus. Sebagian besar kasus terjadi saat demonstrasi aksi Mei 2019 yang menolak hasil rekapitulasi pilpres oleh KPU dan demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil pada September 2019.
Risiko kerja jurnalistik wartawan pun bertambah parah di tengah pandemi Covid-19 ini. Selain adanya risiko terpapar Covid-19, intimidasi dan kekerasan pun tetap menghantui para jurnalis ketika sedang bekerja. Selama masa pandemi ini, AJI masih menemukan kasus kekerasan terhadap jurnalis. Salah satunya ialah akibat pihak-pihak yang menghalangi liputan serta menolak untuk diliput. Bahkan, pihak-pihak ini pun tak segan untuk memaksa wartawan untuk menghapus paksa materi liputannya.
Krisis
Bahkan, tak hanya wartawan, perusahaan pers juga semakin rentan akibat pandemi. Sejumlah perusahaan media sudah mengalami kesulitan keuangan akibat rendahnya pemasukan. Pertengahan Mei 2020, pimpinan asosiasi pers, termasuk Dewan Pers, mengajukan berbagai bantuan pemerintah agar perusahaan pers tetap bisa bertahan.
Bahkan, tak hanya wartawan, perusahaan pers juga semakin rentan akibat pandemi Covid-19.
Ada berbagai bantuan yang diminta, termasuk relaksasi pajak untuk kertas ataupun pajak pekerja media, hingga peringanan iuran BPJS. Pemerintah juga diminta untuk lebih aktif ”menagih pajak” dari para raksasa platform digital internasional (Google, Facebook, Youtube, Twitter) yang di tengah masa pandemi justru semakin digdaya.
Maka, di tengah tren positif kebebasan pers di Indonesia, ancaman terhadap keberlangsungan pers sebenarnya bersifat multiplatform. Perlindungan terhadap wartawan dan media semakin perlu diperhatikan karena rentannya pers masa kini. Bagaimanapun media merupakan bagian yang tak dapat terpisahkan dari kehidupan berdemokrasi di Indonesia.
Seperti kata pepatah, democracy dies in darkness. Jika kebebasan pers kian tergerus dan kerja jurnalistik makin beresiko, bukan tidak mungkin apabila demokrasi Indonesia akan berjalan dalam kegelapan dan lambat laun mati. Semoga tidak terjadi. (LITBANG KOMPAS)