Pancasila di Ranah Minang
Pancasila sudah menjadi nilai kehidupan masyarakat Minang. Sejarah mencatat, Pancasila dan Ranah Minang adalah dua hal yang melekat. Sejumlah tokoh bangsa perumus Pancasila juga berasal dari Minang.
Pancasila dan Ranah Minang adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya menjadi harmoni dalam lantunan kehidupan di balik alunan budaya dan goresan sejarah Minangkabau.
Pada daerah Sumatera Barat atau yang jamak disebut Ranah Minang, penerapan nilai-nilai Pancasila merupakan sesuatu yang zeitlos atau tidak terikat oleh waktu. Melacak akar penerapan Pancasila di Ranah Minang, sama tuanya dengan menggali sejarah wilayah itu sendiri.
Salah satu penerapan nilai-nilai Pancasila yang telah lama hidup dalam alam budaya Minangkabau adalah musyawarah untuk mufakat yang sesuai dengan penerapan sila keempat dalam Pancasila. Jauh sebelum Indonesia merdeka, musyawarah adalah sesuatu yang telah melembaga dalam kehidupan adat secara turun-temurun di tengah-tengah kehidupan masyarakat Minang.
Pengakuan ini mewajibkan partai-partai politik yang mengakui Pancasila mendidik anggotanya mempunyai toleransi, harga-menghargai terhadap pendirian partai-partai lain di Indonesia. (Mohammad Hatta, 1966)
Hingga kini, warisan budaya itu masih terawat dalam setiap pertemuan adat. Jejak budaya itu bahkan terekam dalam pepatah adat Minang;
Bulek Aia Dek Pambuluah (Bulat air karena pembuluh)
Bulek Kato Dek Mupakaik (Bulat kata karena mufakat)
Nan Bulek Samo Kito Golongkan (Sesuatu yang bulat sama-sama kita golongkan)
Nan Picak Samo Kito Layangkan (Sesuatu yang pipih sama-sama kita layangkan)
Selain musyawarah, pepatah adat ini juga menggambarkan penerapan nilai demokrasi dan persatuan dalam setiap perbedaan pendapat. Para tokoh adat yang menjadi perwakilan masyarakat turut menyuarakan pandangan masing-masing hingga mencapai satu titik kesepakatan.
Penerapan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila pertama, juga telah dilakukan oleh etnis Minang sebelum kemerdekaan Indonesia. Melalui prinsip ”adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”, kehidupan di Ranah Minang telah dilaksanakan berlandaskan norma agama. Tampak bahwa sejak lama, aktualisasi nilai-nilai Pancasila sudah melekat dalam kehidupan sosial di Ranah Minang.
Baca juga : Mengapa Orang Minang Merantau? (1)
Persatuan dan keadilan
Dalam konteks kehidupan sosial, prinsip persatuan sesuai penerapan sila ketiga juga telah hidup mengakar di tengah-tengah masyarakat Minang. Konteks persatuan itu terlihat sangat jelas dari budaya merantau yang juga telah melembaga jauh sebelum Indonesia merdeka.
Menurut catatan sosiolog Mochtar Naim, dalam bukunya Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau (2013), jejak perantau Minang salah satunya tergambar dalam volkstelling atau sensus penduduk pada tahun 1930. Para perantau Minang saat itu telah menyebar hingga ke Pulau Jawa, Madura, bahkan sampai ke Semenanjung Malaya. Berdasarkan proporsi, etnis Minangkabau saat itu adalah satu dari lima suku bangsa utama perantau di Indonesia.
Dalam prinsip merantau, persatuan adalah hal yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Minang. Hal ini tergambar dengan tegas dalam pepatah Minang, ”dima bumi dipijak, di situ langik dijunjuang” yang berarti di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Artinya, menghormati perbedaan, toleransi, dan menjunjung tinggi nilai-nilai persahabatan adalah pemahaman mutlak yang harus dimiliki saat berada di daerah rantau. Pepatah ini menegaskan bahwa nilai-nilai persatuan sesuai penerapan sila ketiga adalah hal yang sudah melekat dalam kehidupan masyarakat Minang.
Selain prinsip persatuan, nilai-nilai keadilan seperti yang disinggung dalam sila kedua dan kelima dalam Pancasila juga telah lama melekat dalam kehidupan di alam Minangkabau. Prinsip keadilan ini salah satunya tergambar dalam pepatah adat Minang berikut;
”mandapek sama balabo, kahilangan samo marugi, maukua samo panjang, mambilai samo laweh, baragiah samo banyak, manimbang samo barek”.
(Mendapat sama berlaba, kehilangan sama merugi, mengukur sama panjang, menyambung sama lebar, berbagi sama banyak, menimbang sama berat).
Prinsip keadilan ini berkaitan dengan banyak aspek kehidupan, baik sosial maupun ekonomi. Prinsip itu telah diwariskan secara turun-temurun dalam kehidupan masyarakat Minang.
Baca juga : Mengapa Orang Minang Merantau? (Bagian 2)
Tokoh bangsa
Selain dalam tataran kehidupan sosial, keterkaitan Ranah Minang dengan Pancasila juga tecermin dalam jejak para tokoh bangsa. Tokoh dari Ranah Minang, seperti Muhammad Yamin, Mohammad Hatta, dan Agus Salim, adalah sosok yang turut berperan dalam perumusan Pancasila.
Sebelum Soekarno menyampaikan pandangan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945, gagasan tentang dasar negara terlebih dahulu disampaikan oleh Muhammad Yamin pada 29 Mei 1945. Dalam pidatonya di hadapan para tokoh bangsa, Yamin menyampaikan rumusan dasar negara yang terdiri dari peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan sosial.
Yamin menekankan bahwa Indonesia memiliki modal sejarah yang panjang sebagai sebuah bangsa. Modal sejarah inilah yang menjadi kekuatan dalam menentukan dasar negara.
”Kita tidak berniat lalu akan meniru sesuatu susunan tata negara negeri luaran. Kita bangsa Indonesia masuk yang beradab dan kebudayaan kita beribu-ribu tahun umurnya,” kata Yamin di hadapan para tokoh bangsa (Sekretariat Negara, 1995).
Gagasan tentang Pancasila kemudian disampaikan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945. Saat itu, Soekarno menyampaikan gagasan dasar negara yang terdiri dari lima sila, yakni kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan.
Setelah gagasan ini dicetuskan, dibentuk panitia kecil yang terdiri atas sembilan orang, yakni Soekarno, Alexander Andries Maramis, Agus Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, Wahid Hasjim, Achmad Soebardjo, Muhammad Yamin, dan Mohammad Hatta. Panitia ini diketuai oleh Soekarno dan bertugas untuk merumuskan dasar negara Indonesia.
Dari seluruh anggota Panitia Sembilan, ada tiga perwakilan dari Ranah Minang, yakni Agus Salim, Mohammad Hatta, dan Muhammad Yamin. Para tokoh inilah yang kemudian turut berperan dalam lahirnya Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945.
Dalam Piagam Jakarta, terdapat lima sila hasil pembahasan Panitia Sembilan, yakni Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Kalimat ”kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam sila pertama kemudian dihapus setelah proklamasi kemerdekaan. Seusai penghapusan kalimat itu, sila pertama berubah menjadi Ketuhanan yang Maha Esa. Naskah inilah yang kemudian dibacakan oleh Mohammad Hatta dalam sidang pertama PPKI pada 18 Agustus 1945.
Baca juga : Pancasila dan Tugas Sejarah Kita
Pancasila dan partai politik
Seusai kemerdekaan, Mohammad Hatta adalah tokoh dari Ranah Minang yang sangat vokal dalam melontarkan pemikiran demi menanamkan nilai-nilai Pancasila di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Pada tahun 1966, misalnya, dalam tulisan berjudul Pancasila Jalan Lurus, Hatta secara gamblang menyampaikan tentang pemaknaan dan kritik atas penerapan nilai-nilai Pancasila.
Menurut Hatta, Pancasila harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Sila-sila yang saling mendukung satu sama lain merupakan tuntunan dalam kehidupan berbangsa.
”Pancasila itu hendaklah diamalkan benar-benar dalam perbuatan, janganlah ia dipergunakan sebagai lip service saja”, tulis Hatta seperti yang tercantum dalam buku Mohammad Hatta: Politik, Kebangsaan, dan Ekonomi (2015).
Mohammad Hatta juga menyinggung penerapan Pancasila di partai politik. Menurut Hatta, setiap anggota partai politik yang mengakui Pancasila seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dalam kehidupan bernegara. Hal ini juga berkaitan dengan sila pertama yang juga mengajak masyarakat untuk melaksanakan harmoni di dalam kehidupan.
”Pengakuan ini mewajibkan partai-partai politik yang mengakui Pancasila mendidik anggotanya mempunyai toleransi, harga-menghargai terhadap pendirian partai-partai lain di Indonesia”, tulis Hatta.
Toleransi dan saling menghargai adalah bagian yang tidak terpisahkan dari penerapan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Jika nilai-nilai Pancasila diterapkan secara sungguh-sungguh, perpecahan dapat terhindari pada seluruh wilayah Indonesia.
”Dalam segala tindakan untuk mencapai keselamatan masyarakat dan negara, kerja sama dalam suasana persaudaraan yang diutamakan, dengan menjauhkan tabiat bermusuhan dan berbeda pendapat”, tulis Hatta.
Baca juga : Refleksi 75 Tahun Pancasila
Fundamen moral
Hatta kembali membahas tentang Pancasila dalam pidato pengukuhan ketika menerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Indonesia pada 30 Agustus 1975, serta dalam pidato peringatan lahirnya Pancasila di Gedung Kebangkitan Nasional, Jakarta, pada 1 Juni 1977.
Satu hal yang disinggung oleh Hatta dalam kedua pidato tersebut adalah dua fundamen yang terdapat di dalam Pancasila. Jika sebelumnya Soekarno meletakkan fundamen politik di atas fundamen moral, dalam pembahasan di Panitia Sembilan fundamen tersebut mengalami perubahan. Ketuhanan yang Maha Esa sebagai fundamen moral kemudian disepakati untuk berada di atas fundamen politik.
Perubahan ini membawa suatu pesan yang sangat kuat, yakni pentingnya moral dalam kehidupan berbangsa. ”Akibat perubahan dari urutan sila yang lima itu, sekalipun ideologi negara tidak berubah karena itu, ialah bahwa politik negara mendapat dasar moral yang kuat dan mengikat kelima sila itu menjadi satu kesatuan,” kata Hatta.
Fundamen moral inilah yang juga menjadi landasan kehidupan bagi masyarakat Minangkabau. Penerapan konsep adat yang berlandaskan aturan agama merupakan wujud kuatnya penerapan nilai-nilai Pancasila yang hidup di tengah-tengah masyarakat setempat.
Baca juga : Pancasila
Peran
Selain Mohammad Hatta, Agus Salim, dan Muhammad Yamin, terdapat banyak tokoh dari Ranah Minang yang juga berjuang untuk menegakkan nilai-nilai persatuan dan mempertahankan kedaulatan bangsa, baik sebelum maupun dalam suasana kemerdekaan dengan caranya masing-masing.
Abdoel Moeis, Tan Malaka, Mohammad Natsir, Rasuna Said, Sutan Syahrir, dan Chaerul Saleh adalah beberapa tokoh bangsa yang berasal dari Ranah Minang. Saat Indonesia berjuang untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan, Assaat, tokoh asal Kabupaten Agam, Sumatera Barat, bahkan pernah menjabat sebagai pimpinan Republik Indonesia yang saat itu berada di bawah Republik Indonesia Serikat (RIS) pada periode revolusi.
Ranah Minang juga turut berperan dalam membentuk pemerintahan darurat di bawah kendali Syafrudin Prawiranegara saat Soekarno dan Hatta ditangkap Belanda dalam Agresi Militer Belanda II pada tahun 1948. Pemerintahan darurat ini merupakan wujud eksistensi negara pada saat Belanda mencoba kembali menguasai Indonesia. Pembentukan pemerintahan darurat mengukuhkan peran Ranah Minang dalam menjaga kedaulatan, persatuan, dan kesatuan Indonesia.
Goresan sejarah panjang ini menegaskan bahwa Ranah Minang adalah suatu entitas politik, sosial, dan budaya, yang sangat melekat dengan Pancasila. Selain melahirkan tokoh bangsa yang turut merumuskan Pancasila, diorama sosial dan budaya di Ranah Minang juga telah menunjukkan eksistensi kehidupan yang tak lekang dari penerapan nilai-nilai Pancasila. Disadari ataupun tidak, Pancasila telah hidup berurat-akar di tengah-tengah masyarakat Minangkabau. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mengapa Harus Membayar Berita Daring?