Ketika caleg kehilangan status keanggotaannya di partai, ia tak berhak untuk duduk di kursi legislatif. Celah ini sering dimanfaatkan oleh oknum elite partai untuk menyingkirkan pesaing.
Oleh
Yohan Wahyu
·5 menit baca
Penghormatan kemurnian suara pemilih masih menjadi pekerjaan rumah dalam proses pemilihan umum. Salah satu yang menjadi ganjalan dalam upaya penghormatan ini adalah favoritisme di kalangan elite partai politik. Pembahasan revisi undang-undang pemilu harus mendukung upaya mengikis favoritisme tersebut.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi atau arti kata favoritisme adalah penunjukan rasa suka, senang, kasih, dan sebagainya terhadap seseorang. Dalam konteks kontestasi elektoral pemilihan umum, favoritisme dipahami sebagai praktik memberi perlakuan istimewa kepada satu orang atau kelompok dengan mengorbankan orang lain. Hal ini mengarah pada diskriminasi dan tentu saja melahirkan ketidakadilan. Padahal, pemilu, seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, harus dilaksanakan dengan adil.
Gejala favoritisme tampak dari kasus pergantian calon anggota legislatif terpilih pada Pemilu 2019. Sejumlah caleg, baik DPR maupun DPRD, menjadi korban keputusan sepihak partai politik. Mereka yang berjuang untuk mendapatkan suara pemilih harus tunduk pada keputusan partai yang menetapkan caleg lain untuk menduduki kursi legislatif dengan berbagai alasan.
Sebagai contoh ialah apa yang dialami Misriani Ilyas. Caleg DPRD Sulawesi Selatan dari Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan II ini kehilangan kesempatan menduduki kembali kursi yang dimenanginya. Sebelumnya, Misriani menjadi anggota legislatif di DPRD Sulsel melalui Partai Demokrat hasil Pemilu 2014. Dalam Pemilu 2019, ia maju melalui Partai Gerindra.
Misriani sudah ditetapkan oleh KPU Sulsel sebagai anggota terpilih DPRD Sulsel. Sehari sebelum dilantik, bak petir di siang bolong, ia mendapat kabar pemberhentian dirinya sebagai kader partai oleh DPP Partai Gerindra. ”Saya kaget karena tak pernah ada penyampaian dari DPP Partai Gerindra. Saya dan DPD tidak mengetahui pemberhentian saya sebagai anggota partai,” ungkap Misriani dalam webinar bertajuk ”Implementasi Sistem Pemilu Legislatif Tahun 2019 dan Permasalahannya, Testimoni dari Mereka yang Dikorbankan”, 18 Agustus 2020.
Akibat pemecatan itu, Misriani batal menghadiri acara pelantikan yang berlangsung pada 24 September 2019. ”Nama saya tidak ada dalam SK (pelantikan). Saya akhirnya pergi ke DPP untuk bertanya kepada partai soal pemberhentian. Namun, saya tidak mendapat jawaban yang jelas. Saya belum pernah mendapat surat pemberhentian yang jelas soal pemecatan saya,” tuturnya.
Nasib sama dialami Welhelm Daniel Kurnala, caleg DPRD Maluku di Daerah Pemilihan Maluku VI dari PDI-P. Ia gagal menduduki kursi legislatif yang diraihnya berdasarkan perolehan suara yang sudah ditetapkan oleh KPU Maluku. Hal ini bermula dari tuduhan rekan satu partainya yang juga caleg di dapil yang sama. Welhelm dituduh mencuri suara.
”Bagaimana saya mencuri suara kalau semua saksi dikuasai oleh dia,” ujar Welhem yang menyebut rekan sesama partainya ini termasuk dalam jajaran pengurus pusat partai.
Tuduhan pencurian suara sebelumnya tidak terbukti karena gugatan perselisihan hasil pemilu yang diajukan oleh rekan sesama partainya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Namun, rekan tersebut mencoba cara melalui mahkamah partai. Hasilnya, Welhelm kehilangan kursinya karena mahkamah memutuskan Welhelm melakukan pelanggaran terkait pencurian suara.
”Padahal, putusan MK final dan mengikat dan mahkamah partai tidak berwenang memutuskan. Hal ini dapat diibaratkan suara rakyat dikooptasi partai,” ujar Welhelm.
Kisah perih juga dialami Robby B Gaspersz, caleg DPRD Provinsi Maluku dari Dapil Maluku I. Robby merupakan anggota DPRD Maluku 2014-2019 yang kembali dicalonkan dalam Pemilu 2019 lewat Partai Gerindra. Seperti halnya yang dialami Welhelm, Robby menghadapi gugatan rekan satu partainya yang menjadi caleg di dapil yang sama.
Partai kemudian memecat Robby karena dinilai menggelembungkan suara dan merugikan rekan satu partainya. Upaya mencari keadilan dilakukan Robby hingga sekarang sebagai bentuk tanggung jawab moral kepada konstituennya.
”Saya tidak mencari kedudukan. Saya hanya memperjuangkan nama baik saya. Saya yakin, secepat kilat kebohongan itu berlari, kebenaran pasti akan mendahuluinya,” tuturnya.
Kemurnian suara
Fenomena penggantian caleg terpilih yang diduga melibatkan elite partai tingkat pusat mengindikasikan ada favoritisme dalam tubuh partai terhadap caleg. Ada caleg yang memiliki akses dan dekat dengan pengurus pusat sehingga cenderung lebih diuntungkan dalam kepentingan elektoral di pemilu. Di sisi lain, ada caleg yang tak memiliki akses ke pengurus pusat sehingga cenderung dirugikan dalam urusan elektoral di pemilu.
Pengakuan dan pengalaman Misriani, Welhelm, serta Robby mempertegas indikasi melemahnya praktik menjaga kemurnian suara caleg dalam menentukan keterpilihan seseorang sebagai anggota legislatif. Otoritas elite pengurus pusat partai cenderung lebih banyak bermain. Meski demikian, dari pengakuan para caleg yang menjadi korban, mereka meyakini praktik itu tak diketahui ketua umum, cenderung dimainkan oleh oknum elite partai semata.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menyatakan pentingnya untuk mengembalikan kemurnian suara calon legislatif. Ia juga mengingatkan pentingnya aspek keadilan dalam pemilu. ”Proses perekrutan caleg harus dilakukan demokratis dan terbuka,” ujarnya.
Menurut dia, penghormatan kemurnian suara pemilih menjadi bagian dari konsistensi sistem pemilu. Dengan penentuan caleg terpilih melalui sistem suara terbanyak, partai sebenarnya tak perlu melakukan intervensi terkait proses elektoral.
Hasil kajian Litbang Kompas terkait perolehan suara caleg dan suara partai di Pemilu 2019 memperlihatkan ada kecenderungan lebih banyak pemilih mencoblos nama caleg dibandingkan gambar partai politik. Setidaknya ada 283 caleg (49,2 persen) yang perolehan suara mereka melebihi perolehan suara partai. Hal ini menegaskan, partai tidak bisa sewenang-wenang dalam proses elektoral. Partai hanya berwenang pada tahapan kandidasi. Hal ini pun, sesuai amanah undang-undang, dilakukan secara adil dan terbuka.
Sayangnya, dalam praktiknya, partai cenderung memanfaatkan ”celah” dalam undang-undang, yakni berwenang untuk mempertahankan atau memberhentikan seseorang dari keanggotaan partai. Ketika caleg terpilih tak lagi memenuhi syarat sebagai anggota legislatif, yang salah satunya terkait keanggotaan dalam partai, ia kehilangan hak mengisi kursi legislatif.
Celah ini sering dimanfaatkan dengan menghentikan keanggotaan seseorang atau memecatnya dari partai. Sebaliknya, caleg yang lebih diinginkan atau difavoritkan partai lebih diuntungkan meski secara elektoral tak mendapat perolehan suara terbanyak.
Partai cenderung memanfaatkan ”celah” dalam undang-undang, yakni berwenang untuk mempertahankan atau memberhentikan seseorang dari keanggotaan partai.
Jika praktik favoritisme berlanjut dan menguat, bukan tak mungkin sistem pemilu proporsional terbuka dengan mekanisme suara terbanyak akan melemah. Karena itu, sistem pemilu harus selalu dihormati dan dilaksanakan secara konsisten.
Jangan ada gangguan terhadap kemurnian suara pemilih yang diberikan kepada caleg. Ada baiknya agenda pembahasan revisi undang-undang pemilu memikirkan cara menjaga kemurnian suara pemilih. Harapannya, favoritisme ini tak sampai mengoyak mandat suara pemilih kepada caleg yang mereka percaya.