Transparansi rekam jejak calon merupakan jalan tengah antara kebutuhan publik akan hadirnya pemimpin daerah yang bersih dan pemenuhan hak politik seseorang untuk dicalonkan.
Oleh
Eren Marsyukrilla
·5 menit baca
Pengaturan soal syarat pencalonan di pemilihan kepala daerah perlu ditegaskan kembali, terutama untuk mereka yang pernah terjerat perkara korupsi. Di satu sisi, tidak ada larangan bagi mereka untuk maju di pilkada. Namun, di sisi yang lain ada harapan bahwa kontestasi di pilkada ditujukan untuk memilih pemimpin yang baik dan bersih. Keberimbangan antara hak politik dan tuntutan moralitas politik ini menjadi pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan.
Upaya mempersempit peluang bekas koruptor untuk kembali maju di pilkada sebenarnya sudah dilakukan. Hal ini, antara lain, dilakukan saat Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas Pasal 7 Ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Dalam putusannya, pada 11 Desember 2019, MK menerima sebagian permohonan uji materi itu.
Setidaknya ada empat hal utama yang dikabulkan MK dalam uji materi itu. Pertama, seseorang yang dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah tidak pernah diancam dengan hukuman pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik.
Kedua, bekas narapidana dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah bila yang bersangkutan telah melewati jangka waktu lima tahun setelah selesai menjalani pidana penjara. Ketiga, seorang calon kepala daerah yang merupakan mantan narapidana harus mengumumkan latar belakang dirinya sebagai bekas narapidana. Keempat, calon kepala daerah bukan merupakan pelaku kejahatan yang berulang.
Putusan MK itu lebih ringan daripada permohonan pemohon untuk masa jeda bagi bekas narapidana korupsi, yaitu setidaknya dua kali masa periode jabatan kepala daerah atau 10 tahun. Walau tak sepenuhnya menghilangkan hak politik, putusan MK itu sebetulnya telah menghukum koruptor dan memenangkan harapan publik untuk dapat memilih sosok calon kepala daerah yang bersih.
Dalam konteks ini, publik melihat korupsi yang pernah dilakukan tetap akan melekat pada sosok calon kepala daerah meski ia telah memenuhi masa jeda untuk kembali maju dalam pilkada. Bahkan, lebih dari 68 persen responden dalam jajak pendapat Kompas sepakat jika dibuat aturan yang melarang bekas terpidana termasuk di dalamnya pidana korupsi untuk maju dalam pilkada.
Menanggapi hasil putusan MK yang membolehkan bekas napi korupsi untuk maju pada pilkada setelah melewati masa jeda lima tahun, lebih dari separuh dari responden jajak pendapat Kompas tak menyetujuinya. Selain karena calon kepala daerah itu telah melakukan tindak pidana, publik juga mengharapkan calon kepala daerah yang lebih bersih. Sebagian responden bahkan berpendapat kebijakan itu layak ditinjau ulang.
Resistansi
Hasil jajak pendapat Kompas, pekan lalu, juga menunjukkan, responden cenderung menolak bekas koruptor maju di pilkada. Sebanyak 89,8 persen responden berpendapat, bekas koruptor sebaiknya dilarang maju lagi di pilkada meskipun telah memenuhi masa jeda setelah keluar dari penjara.
Sikap publik itu menjadi awal yang baik untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang lebih bersih dan profesional. Seolah tak mau jatuh dalam kubangan kerugian yang sama, publik enggan memberikan ruang bagi mantan koruptor untuk maju di pilkada.
Selain telah melakukan tindak pidana dan menyebabkan kerugian, publik menganggap pelaku kejahatan termasuk bekas koruptor tak layak mencalonkan diri di pilkada. Lebih dari 68 persen responden menyatakan hal itu karena dinilai tidak etis dan akan menjadi preseden buruk bagi moral masyarakat.
Persoalan korupsi oleh kepala daerah memang telah menjadi persoalan serius karena mencederai kepercayaan publik. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak tahun 2004 hingga 2019, setidaknya ada 124 kepala daerah di tingkat provinsi maupun kebupaten/kota yang terjerat kasus korupsi.
Namun, upaya menghambat eks koruptor untuk maju dalam pilkada bukan perkara mudah. Sebelumnya dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 18/2019 hanya terdapat imbauan untuk mengutamakan calon kepala daerah yang bukan bekas koruptor.
PKPU itu melarang pencalonan di pilkada bagi bekas narapidana bandar narkoba dan kejahatan seksual anak. Ketentuan itu masih sama seperti yang disebutkan dalam PKPU No 7/2017 dan belum secara spesifik melarang bekas narapidana korupsi.
Padahal, penolakan bekas koruptor dalam pencalonan kepala daerah bukan tak beralasan. Pengalaman di sejumlah daerah menunjukkan, perilaku korupsi dilakukan berulang kali oleh oknum kepala daerah.
Hal itu, misalnya, terjadi di Kudus, Jawa Tengah. Muhammad Tamzil, pada 2015, baru menyelesaikan masa hukuman terkait korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan. Pada 2018, ia kembali maju dalam Pilkada Kudus dan berhasil menjadi pemenang. Namun, tak beberapa lama kemudian, tepatnya pada Juli 2018, ia kembali ditangkap KPK karena kasus suap pengisian jabatan.
Rekam jejak
Keterbukaan informasi kepada masyarakat untuk melihat rekam jejak calon kepala daerah menjadi penting. Hal ini juga akan menjadikan pilkada sebagai arena kontestasi yang lebih berkeadilan dengan mengedepankan kualitas para kandidat. Mayoritas responden pun sepakat akan hal itu, tidak kurang dari 91,7 persen responden mengaku akan mempelajari rekam jejak calon kepala daerah sebelum menetapkan pilihannya.
Selain masa jeda lima tahun, calon kepala daerah bekas narapidana juga tak boleh menutup-nutupi latar belakangnya. Informasi tentang rekam jejak dari calon kepala daerah sangat penting diketahui pemilih agar mereka tak salah langkah dalam menentukan pilihan.
Jajak pendapat ini juga merekam bahwa sebagian besar responden memilih kepala daerah atas pertimbangan latar belakang calon. Dua dari sepuluh responden berpandangan bahwa profesionalitas, kejujuran, dan akhlak menjadi hal penting untuk dipertimbangkan sebelum menjatuhkan pilihan.
Namun, rekam jejak buruk sering kali justru ditutupi agar tak menghambat citra dan elektabilitas dalam pencalonan kepala daerah. Minimnya informasi yang diperoleh publik terkait hal ini juga tergambarkan dari 64 persen responden mengaku tidak pernah mengetahui ada kepala daerah yang sudah dihukum pidana dan maju kembali dalam kontestasi pilkada.
Padahal, transparansi rekam jejak calon merupakan jalan tengah antara kebutuhan publik akan hadirnya pemimpin daerah yang bersih dan pemenuhan hak politik seseorang untuk dicalonkan.