Analisis FAO mengenai Indonesia menunjukkan pandemi mentransmisi risiko di sektor pertanian dan peternakan, terutama lewat sisi permintaan. Konsumsi tertekan seiring pembatasan sosial dan penurunan penghasilan warga.
Oleh
Bima Baskara
·5 menit baca
Harga menjadi cermin keseimbangan permintaan dan penawaran produk, termasuk di sektor pertanian dan peternakan. Keseimbangan itu terhubung oleh rantai distribusi dan sistem bertani, yang kini terdampak pandemi Covid-19. Situasi ini menunjukkan kerapuhan petani berimplikasi serius pada ketahanan pangan.
Pertanian dalam arti luas mencakup, antara lain, produk tanaman pangan dan peternakan. Pertanian tanaman pangan dan peternakan di Indonesia tak memiliki ketergantungan sebesar negara maju pada aspek input antara dan modal tetap. Produsen tanaman pangan di Amerika Serikat dan Uni Eropa, misalnya, memiliki sistem pertanian serta peternakan yang sangat terintegrasi dan padat modal.
Intensitas modal yang tinggi berarti petani di negara bersangkutan menghadapi kemungkinan gangguan pasokan mesin dan teknologi. Negara-negara tersebut kurang bergantung pada input tenaga kerja.
Hal sebaliknya terjadi di Indonesia. Sebagian besar sistem bertani di Indonesia sangat padat karya. Dalam konteks tersebut, pandemi Covid-19 yang meluas akan membuat produksi pertanian ini rentan terhadap kemungkinan gangguan pada pekerja di sektor pertanian dan peternakan.
Hal ini tidak hanya dapat membahayakan setiap langkah dalam proses produksi. Lebih jauh, tingkat subsistensi pertanian juga menggerus daya tahan petani yang akhirnya memperlebar risiko penurunan produksi dan keamanan pangan.
Risiko pangan
Gambaran risiko keamanan pangan di Indonesia juga terekam dalam publikasi Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO). Pada Maret 2020, FAO memublikasikan hasil riset berjudul ”Covid-19: Channels of Transmission to Food and Agriculture”.
Dalam publikasi ini, FAO memetakan dampak Covid-19 terhadap risiko guncangan penawaran dan permintaan produk pertanian, yang di dalamnya termasuk tanaman pangan serta peternakan. Pemetaan risiko keseluruhan guncangan penawaran produk pertanian dan peternakan dilakukan berdasarkan empat indikator.
Indikator pertama yang memengaruhi sisi penawaran menghitung derajat risiko gangguan pada input antara (seperti pupuk dan kredit pertanian), sementara indikator kedua meliputi konsumsi modal tetap per pekerja pertanian (misalnya mesin dan teknologi lain). Indikator ketiga memasukkan output kotor per pekerja pertanian, sedangkan indikator keempat memasukkkan pangsa ekspor produk pertanian.
Di sisi permintaan, risiko guncangan akibat pandemi Covid-19 dipengaruhi dua indikator. Indikator pertama menghitung pangsa pengeluaran makanan per kapita dan indikator kedua ialah pangsa impor produk pertanian.
Setiap risiko guncangan sisi penawaran dan permintaan produk pertanian dengan sejumlah indikatornya dibagi menjadi empat kriteria. Risiko guncangan terkecil disebut kriteria rendah, kemudian yang lebih tinggi adalah menengah-rendah, selanjutnya menengah-tinggi, serta terakhir adalah kriteria tinggi.
Analisis FAO mengenai Indonesia menunjukkan pandemi Covid-19 mentransmisi risiko di sektor pertanian dan peternakan, terutama lewat sisi permintaan. Masyarakat menghadapi tekanan konsumsi seiring pembatasan sosial dan penurunan penghasilan. Hal ini tecermin dari derajat risiko proporsi pengeluaran makanan yang berada pada kriteria tinggi. Sementara risiko guncangan dari impor pertanian berada pada kategori menengah-rendah.
Sementara itu, dari sisi penawaran, risiko guncangan yang dihadapi Indonesia masih termasuk kriteria menengah-rendah. Namun, penting untuk dicatat adanya risiko guncangan sisi penawaran ini dari perdagangan luar negeri dan pendapatan petani. Derajat risiko guncangan ekspor pertanian dan nilai produksi kotor per pekerja pertanian berada pada kategori menengah-tinggi.
Dari sisi perdagangan luar negeri, menurut catatan FAO, Indonesia termasuk satu dari 30 eksportir besar produk pertanian dan peternakan dunia. Proporsi ekspor pertanian Indonesia mencapai hampir seperlima dari total perdagangan luar negeri nasional. Indonesia juga termasuk satu dari 30 importir produk agrikultur besar dunia.
Dinamika harga
Sejak awal tahun hingga masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi, harga sejumlah komoditas pokok pertanian dan peternakan cenderung turun atau stagnan. Tren data mingguan sejak Januari minggu I hingga Agustus minggu III dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional menunjukkan hal tersebut. Beberapa komoditas menunjukkan tren konsisten menurun, meneruskan kecenderungan sejak pemberlakuan PSBB dan transisinya.
Ada komoditas yang harganya naik di pertengahan masa PSBB, tetapi kemudian turun. Sejumlah komoditas pangan lain mencatat tren yang stagnan, baik sebelum, saat, maupun sesudah PSBB.
Harga sejumlah komoditas pokok pertanian dan peternakan cenderung turun atau stagnan.
Memasuki masa PSBB, harga komoditas menghadapi tekanan dari sisi penawaran. Saat masa PSBB, terjadi keterlambatan distribusi produk impor pada sejumlah komoditas pokok, misalnya gula dan beras. Kebijakan karantina wilayah di sejumlah negara dan pembatasan sosial di Indonesia memengaruhi kelancaran transportasi logistik.
Tekanan pada ketersediaan pangan semasa pemberlakuan PSBB juga muncul dari sisi permintaan. Banyaknya sekolah dan perkantoran yang tutup sementara menghentikan aktivitas perdagangan makanan serta menurunkan permintaan komoditas pangan.
Ada juga tekanan pendapatan masyarakat sehingga mengurangi konsumsi pangan. Pendapatan masyarakat menurun akibat pemotongan atau penundaan gaji, kebijakan merumahkan karyawan, serta pemutusan hubungan kerja. Pada Mei, tercatat deflasi 0,32 persen di sektor makanan, minuman, dan tembakau. Kondisi deflasi itu mencerminkan menyusutnya permintaan.
Saat PSBB transisi, aktivitas masyarakat yang kembali menggeliat mendorong aktivitas perdagangan makanan sehingga terjadi kenaikan permintaan. Permintaan pangan juga meningkat di masa PSBB saat hari raya Idul Fitri walau peningkatannya tak sebesar tahun-tahun sebelumnya.
Dampak ke petani
Saat sarana ekonomi mulai dibuka, aktivitas perdagangan dan produksi pertanian belum sepenuhnya pulih. Petani dan peternak belum sepenuhnya kembali bekerja.
Pengaruh hari raya dan aktivitas pertanian-peternakan yang belum segera pulih tecermin pada kenaikan harga temporer sejumlah komoditas pangan pokok minggu III Juni-minggu III Juli. Namun, kenaikan harga ini tetap tak banyak berdampak kepada petani.
Hal serupa dialami kalangan petani dan peternak pada masa pemberlakuan PSBB. Ketika terjadi penyusutan pada sisi permintaan di masa PSBB, petani tak mampu merespons cepat untuk menyeimbangkan perubahan.
Selain itu, banyak petani dan peternak yang berhadapan dengan hambatan pemasaran komoditas pangan akibat gangguan transportasi. Semua itu bermuara pada keterpaksaan petani dan peternak menjual murah hasil produksi hingga mengalami kerugian.
Para petani dan peternak akhirnya mengalami penurunan kesejahteraan dan daya beli. Kurva nilai tukar petani dan hasil usaha pertanian menunjukkan fenomena penurunan drastis sejak pandemi Covid-19 muncul di Indonesia.
Hingga Juli, indeks nilai tukar pertanian tidak beranjak jauh dari angka 100. Hal itu berarti indeks harga yang diterima petani dari hasil produksi hanya bisa dimanfaatkan untuk membayar kebutuhan dasar. Pada akhirnya, dinamika harga sejak awal tahun hingga masa transisi PSBB menunjukkan rapuhnya daya tahan petani yang berimplikasi pada risiko ketahanan pangan.