Mewujudkan Efektivitas Distribusi Pangan
Swasembada pangan jangan hanya menjadi catatan kumulatif di tingkat nasional. Lewat pengumpulan data yang baik mengenai daerah surplus maupun defisit, bahan pokok dapat diupayakan tersedia di seluruh Indonesia.
Secara nasional, kebutuhan pangan di Indonesia dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Kenyataannya, di tingkat regional, masih ada ketimpangan ketahanan pangan antarwilayah.
Di atas kertas, Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang sudah dapat melakukan swasembada pangan. Berdasarkan hasil estimasi kerangka sampel area (KSA) Badan Pusat Statistik, tahun 2019 Indonesia menghasilkan 54,6 juta ton gabah kering giling (GKG). Angka ini setara dengan 32,41 juta ton beras.
Total produksi beras itu lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi 265 juta penduduk di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, pada tahun yang sama total konsumsi beras masyarakat Indonesia ”hanya” 29,78 juta ton. Oleh karena itu, hingga akhir 2019 masih terdapat surplus 2,6 juta ton beras.
Kenyataannya, surplus di tingkat nasional tak sama dengan surplus di level regional. Sebagai negara kepulauan yang luas, persebaran sentra produksi komoditas pangan di Indonesia tak merata. Surplus produksi beras, misalnya, baru terjadi di 13 provinsi, antara lain, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan Lampung.
Baca juga: Pertanian Tanpa Petani
Hal serupa ditemui pada komoditas pangan lainnya. Daging ayam ras pada tahun 2019 secara nasional surplus 257.400 ton, tetapi hal itu hanya terjadi di 12 provinsi. Produksi bawang merah juga mengalami surplus nasional 14.900 ton, tetapi hanya ditemukan di lima provinsi.
Kondisi ini menyebabkan ketahanan pangan antarwilayah timpang. Menurut data Badan Ketahanan Pangan Kementan tahun 2019, skor ketahanan pangan di Indonesia paling tinggi dipegang di Bali (85,15), Daerah Istimewa Yogyakarta (83,63), dan Sulawesi Utara (81,44). Angka ini sangat jomplang dengan tiga provinsi pemilik skor terendah, yaitu NTT (50,69), Papua Barat (30,12), dan Papua (25,13).
Rantai distribusi
Distribusi pangan juga masih menjadi tantangan. Rantai perdagangan beras di Indonesia, menurut hasil survei BPS tahun 2019, dibagi dalam tiga kelompok. Dari petani, gabah diterima kelompok pedagang besar, yaitu pengumpul, distributor, agen, subdistributor, dan pedagang grosir. Jika didatangkan dari luar negeri, beras diterima oleh importir.
Selanjutnya beras diterima oleh pedagang eceran yang terdiri dari supermarket atau swalayan dan pengecer. Setelah itu, beras tiba di tangan konsumen.
Rantai distribusi yang panjang dan minimnya aliran informasi antarpelaku usaha menyebabkan pasokan beras tak merata dengan harga fluktuatif. Pada periode 2007-2011, Jawa Barat menjadi produsen beras terbesar dengan kontribusi 17-18 persen terhadap produksi beras nasional.
Baca juga: Manis Tol Laut Masih Terasa Asam bagi Warga Morotai
Secara kumulatif, beras produksi Jabar dapat memenuhi kebutuhan pangan domestik. Mengingat produksi dan konsumsi beras berlangsung di tiap wilayah, ada kabupaten/kota yang surplus, tetapi ada pula daerah yang minus.
Saat ini belum ada data yang valid sebagai dasar pengambilan kebijakan distribusi komoditas pertanian. Contohnya, perhitungan surplus produksi beras hanya diperoleh dari perkalian luas panen dan produktivitas, yang dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi penduduk setiap tahun. Sementara faktor mobilitas komoditas di wilayah dan unsur musim yang memengaruhi siklus produksi belum dimasukkan.
Kendala lain terjadi pada distribusi perdagangan beras antarpulau. Contohnya, pengiriman komoditas antarpulau dari Pelabuhan Makassar selama tahun 2015. Surabaya dan Banjarmasin termasuk dalam 10 kota tujuan terbesar. Padahal, keduanya merupakan ibu kota dari provinsi surplus beras.
Adapun pengiriman ke kota-kota yang defisit beras tetap ada, tetapi jumlahnya sedikit dan tidak dilakukan setiap bulan. Tahun 2015, volume beras yang dikirim ke Manokwari, Timika, Biak, Merauke, Nabire, Jayapura, Kaimana, dan Sorong hanya 3,6 persen dari total pengiriman beras 554,2 ribu ton. Contoh itu menunjukkan perdagangan beras antarpulau tak hanya ditentukan kondisi surplus-defisit.
Upaya pemerataan
Lima tahun lalu, pemerintah meresmikan program tol laut guna mengatasi disparitas harga barang pokok antara wilayah barat dan timur Indonesia. Hingga 2020, pelayaran bersubsidi dan berjadwal itu telah melayani 26 trayek. Di jalur udara, pada tahun yang sama pemerintah telah melayani 188 rute penerbangan perintis dengan 23 rute kargo di antaranya bersubsidi.
Dua program tersebut memperlancar alur logistik, khususnya di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T). Hal itu dapat dilihat dari banyaknya volume bongkar kargo bahkan di provinsi-provinsi wilayah timur Indonesia.
Meski jalur logistik di sejumlah daerah 3T di Papua telah dibuka, nyatanya hal itu belum berhasil memperbaiki ketahanan pangan di provinsi tersebut. Hingga 2019, skor ketahanan pangan Papua masih berada di posisi terakhir. Skor rendah juga tercatat di Papua Barat, Maluku, Kalimantan Barat, dan Kepulauan Bangka Belitung.
Hal ini relevan dengan minimnya muatan balik sejumlah trayek kapal tol laut. Untuk memenuhi kebutuhan domestik saja belum bisa, apalagi menciptakan kelebihan produksi komoditas pangan untuk diangkut di kapal. Muatan balik tol laut tahun 2018 sebesar 5.502 ton atau hanya setara 2,4 persen dari muatan saat berangkat.
Memperbaiki rantai distribusi pangan di Indonesia mau tak mau harus melibatkan banyak pihak. Menurut Kepala Divisi Konsultasi Supply Chain Indonesia Zaroni, pihak-pihak itu dikelompokkan dalam empat hal yang saling memengaruhi, yakni institusi, infrastruktur dan sumber daya, layanan logistik, serta pemasok.
Tol laut dan penerbangan perintis hanya bagian kecil dari infrastruktur penghubung simpul logistik antarkota. Agar komoditas pangan sampai di tangan konsumen akhir, diperlukan pula kelengkapan infrastruktur seperti jalan, listrik, dan komunikasi.
Meski jalur logistik di sejumlah daerah 3T di Papua telah dibuka, nyatanya hal itu belum berhasil memperbaiki ketahanan pangan di provinsi tersebut.
Baca juga: Pedang Bermata Dua Ketahanan Pangan
Berdasarkan analisis Muh Eka dan Lutfi Muta’ali tahun 2017, masih ada 10 provinsi dengan kondisi infrastruktur rendah. Rendahnya kondisi infrastruktur ini dapat menurunkan kualitas layanan logistik, seperti pengoperasian gudang berpendingin untuk bahan pokok tertentu.
Di faktor pemasok, BUMD, perusahaan daerah, dan pelaku bisnis lokal perlu memetakan komoditas unggulan di daerahnya. Tujuan utamanya, memenuhi kebutuhan konsumsi domestik kemudian dapat dipasok ke daerah lain jika terjadi surplus atau dikembangkan sebagai industri pengolahan.
Sangat diharapkan swasembada pangan tidak hanya menjadi catatan kumulatif di tingkat nasional. Lewat inventarisasi data yang valid dan muktahir mengenai persebaran daerah surplus maupun defisit produksi pangan, bahan pokok dapat diupayakan tersedia di seluruh penjuru Nusantara. Namun, semua itu tak dapat terwujud, tanpa ada pengelolaan distribusi pangan secara efektif dan efisien.
(LITBANG KOMPAS)