Memulihkan Kembali Citra KPK
Polemik revisi UU KPK usai. Dengan undang-undang baru, KPK mengalihkan pandangan ke segi pencegahan korupsi. Namun, seiring dengan hal itu, ada tanda-tanda KPK mulai disangsikan. Citra dan kinerja dinilai turun.
Polemik revisi UU KPK usai. Dengan undang-undang baru, KPK mengalihkan pandangan ke segi pencegahan korupsi. Namun, seiring dengan hal itu, ada tanda-tanda KPK mulai disangsikan. Citra dan kinerja dinilai turun. Bagaimanakah memperbaiki hal tersebut?
KPK merupakan lembaga ad hoc produk gerakan reformasi 1998. Lahir melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Korupsi, KPK mengubah lanskap upaya pemberantasan korupsi.
Sepanjang perjalanan sejak berdiri tahun 2003, KPK membukukan prestasi mengungkap kasus-kasus korupsi besar yang tak terbayangkan akan bisa terungkap pada era sebelumnya. Sepanjang 2016-2018 saja, tercatat 300 tindak pidana korupsi—mencakup pengadaan barang/jasa, perizinan, penyuapan, pungutan, penyalahgunaan anggaran, hingga pencucian uang—yang diungkap KPK.
Baca juga : Transparansi KPK Dipertanyakan
Salah satu mekanisme kerja KPK yang paling menarik perhatian publik adalah saat KPK menetapkan pejabat negara atau tokoh penting sebagai tersangka korupsi. Pada saat itulah biasanya ditampilkan para pelaku korupsi yang tertangkap basah melalui operasi tangkap tangan (OTT), lengkap dengan tumpukan barang bukti (uang).
Dari waktu ke waktu, kinerja KPK semakin diapresiasi di tengah tudingan bahwa penentuan dan pengungkapan pelaku korupsi diwarnai sikap ”pilih-pilih”. Kinerja KPK selalu dibuktikan dengan peningkatan jumlah tangkapan seiring dengan pengembalian kerugian negara.
Hingga akhir 2019, KPK telah menangani 1.064 perkara, termasuk melalui 123 kali OTT dengan 432 tersangka berasal dari OTT. Per Juni 2019, para tersangka meliputi anggota DPR/DPRD (255 perkara), kepala daerah (130), pimpinan parpol (6), dan kepala lembaga/kementerian (27), sebagaimana ditulis pada ”Jurnal Antikorupsi Integritas KPK, Volume 5-12/2019”.
Baca juga : Pencegahan Korupsi Masih Lemah
Citra KPK membubung, nyaris tertinggi, melampaui berbagai lembaga negara. Pada awal kinerja KPK, yang dipotret Litbang Kompas pada 2003, lembaga itu mendulang apresiasi 33 persen. Namun, pada tahun-tahun pemilu dan pilkada, yakni 2017, 2018, dan 2019, apresiasi terhadap KPK membubung hingga di atas 75 persen. Citra KPK ”hanya” dikalahkan oleh citra TNI sebagai penjaga pertahanan dan keamanan negara.
Perjalanan KPK yang gagah perkasa sejak era UU No 30/2002 akhirnya berakhir tunduk pada kalimat politik yang tersurat dalam UU KPK yang baru hasil revisi UU Nomor 19 Tahun 2019. Di bawah undang-undang yang baru ini, kekuatan KPK yang esensial, yakni kemampuan menyadap, menyidik, dan melakukan OTT, diperantarai (diperlemah) prosedur baru di dalam internal KPK, yakni mensyaratkan izin.
Lahir pula Dewan Pengawas, sebuah lembaga berisi ahli-ahli yang berkedudukan lebih tinggi dari komisioner serta berfungsi sebagai penyaring dan pengerem lajunya mesin antikorupsi KPK.
Publik pemerhati keadilan dan mahasiswa pegiat antikorupsi berteriak lantang menentang berbagai upaya pelemahan kemampuan KPK dalam ”mengendus dan menggigit” tikus koruptor. Demonstrasi jalanan terjadi berminggu-minggu. Namun, para pemilik kekuasaan politik di pemerintahan dan DPR tetap bergeming.
Sudah habiskah episode KPK sebagai ”macan” di negeri ini?
Hal itu adalah konsekuensi teknis dari berlakunya UU baru yang menaungi KPK. Penyidik KPK kini lebih selektif dan hati-hati dalam memilih kasus yang akan dibongkar. Sebaliknya, kemampuan pencegahan korupsi, yang di dalam KPK dipunggawai oleh direktur pencegahan, semakin menonjol.
Melihat kenyataan pahit itu, publik mulai memandang KPK dengan warna berbeda. Apakah lembaga itu sudah berganti jati diri? Menjadi melempem berhadapan dengan pelaku korupsi? Citra KPK pun terekam terus merosot setelah penerapan UU KPK yang baru.
Citra terakhir KPK, yang dipublikasikan Litbang Kompas sebagai hasil jajak pendapat pertengahan Juni 2020, hanya mencatat 45,4 persen citra positif KPK. Sudah habiskah episode KPK sebagai ”macan” di negeri ini?
Baca juga : Alarm untuk KPK
Selalu diragukan
Tahun 2007, pemimpin KPK Antasari Azhar, mantan petinggi kejaksaan yang untuk pertama kalinya berani memproses hukum 43 anggota DPRD Sumbar. KPK juga menahan besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Aulia Pohan. Setelah Antasari terjerat kasus, optimisme pada lembaga ini berkurang. Antasari diberhentikan Presiden SBY pada 11 Oktober 2009.
Di sini terlihat betapa integritas hukum, relasi dengan petinggi negara, dan tindakan apa pun dari sosok ketua KPK sangat berpengaruh pada marwah lembaga. Selepas kasus itu, KPK terjerat masuk dalam polemik ”Cicak Versus Buaya” yang menyebabkan komisioner KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, dijadikan tersangka oleh kepolisian.
Kemelut KPK tak pernah usai. KPK dipersoalkan DPR ketika mengajukan anggaran pembangunan gedung dan pembentukan perwakilan di daerah. Eksistensinya kembali terancam saat muncul wacana RUU Tipikor yang diisukan akan menghapus KPK.
Baca juga : Modal Sosial KPK Semakin Tergerus
Di era Abraham Samad, menjelang Pemilu 2014, polemik melebar ke ranah kontestasi politik nasional. Samad yang saat itu disebut-sebut ditaksir Jokowi menjadi wakilnya pada Pemilu Presiden 2014 masuk dalam pusaran kasus yang melibatkan partai-partai besar.
Kemelut senantiasa berulang saat KPK berada dalam tarik-menarik kekuatan politik penguasa parpol negeri ini dan kepentingan internal penegakan hukum antikorupsi. Apa pun yang terjadi, semakin jelas bahwa KPK bukan entitas kelembagaan hukum semata. Meski tak dinyatakan secara eksplisit, KPK telah menjelma menjadi semacam kekuatan pseudo-politik yang terwujud melalui kemampuannya mengacak-acak para pemberi dana politik.
Padahal, sudah bukan rahasia bahwa tak ada proses pemenangan kontestasi politik yang gratis. Baik menjadi anggota legislatif maupun eksekutif kepala daerah, semua membutuhkan dana besar untuk mengumpulkan dan meraup suara di pemilu. KPK menjadi kekuatan strategis yang bisa mengubah peta politik melalui penindakannya.
Baca juga : 56,9 Persen Responden Tak Puas atas Kinerja KPK, Musisi Penolak Revisi UU KPK Merasa Miris
Kembali ke spirit awal
Tak dimungkiri, saat ini adalah momen yang paling gamang bagi para serdadu antikorupsi di KPK. Bayang-bayang menjadi lembaga negara marjinal mulai tampak di depan mata. Jika hal itu terjadi, hanya soal waktu lembaga yang sebenarnya masih dibutuhkan ini berpotensi untuk ditiadakan.
Yang dibutuhkan KPK sekarang adalah kembali belajar dari sejarah sendiri, betapa kesulitan bergerak sudah ada sejak lama. Dahulu, dengan UU No 30/2002 pun, keberadaannya senantiasa direcoki dan dibayang-bayangi kekuatan politik, di tengah keraguan publik yang muncul secara sporadis.
Baca juga :KPK Tetap Menjadi Harapan Pemberantasan Korupsi
Publik bertepuk tangan pada saat KPK mampu membawa ke depan kamera para pejabat penting dengan rompi oranye. Namun, publik yang sama berbalik mencemooh pada saat kemelut internal melibatkan petinggi KPK dan aparatnya. Sulit dimungkiri, drama lebih disukai publik ketimbang langkah-langkah substansial dalam upaya pemberantasan korupsi.
Sebagaimana dinyatakan berbagai pihak, penangkapan ratusan koruptor faktanya tak mengurangi korupsi. Mereka hanya ”apes”. ”Apes dah lu!”, kata anak muda. Sementara sistem pencegahan korupsi yang berpotensi menyelamatkan keuangan negara lebih besar tak menarik bagi publik karena tidak ”seksi”, tak ada korban pesakitan di dalamnya.
Kini saatnya KPK kembali bangkit menjadi macan penegakan hukum yang galak, tetapi sekaligus memerankan sosok yang lincah menghindari berbagai jebakan politik. Tak perlu terlalu risau soal citra publik, karena meski cukup penting, hal itu akan tumbuh membaik dengan sendirinya asal drama dan sandiwara yang dimainkan betul-betul menarik dan relevan. (LITBANG KOMPAS)