Pemilu dalam Perdebatan Regulasi
Pada masa mendatang, diskursus soal aturan main pemilu dan kontestasi politik harus menempatkan pemilih tidak sekadar sebagai obyek perebutan suara. Mereka harus dilihat sebagai subyek dari pemilu.
Belum lama ini Mahkamah Agung memutuskan bahwa salah satu pasal dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Pemilihan Umum. Putusan ini membuat ramai jagat media sosial, terutama terkait kemenangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin pada pemilihan presiden lalu.
Polemik terakhir soal pemilihan presiden itu bermula dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 44 Tahun 2019 terkait aturan pemilihan presiden-wakil presiden. Putusan ini menimbulkan polemik di media sosial, terutama terkait kemenangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, tetapi akhirnya mereda karena dinilai terlambat dan sudah kedaluwarsa. Singkat kata, putusan tersebut sama sekali tidak memiliki pengaruh pada hasil Pemilihan Presiden 2019.
Namun, dari sisi perdebatan terkait regulasi, putusan MA ini tetap menarik untuk dikupas. Putusan MA menyatakan, Pasal 3 Ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 bertentangan dengan Pasal 416 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal yang dinyatakan bertentangan dengan undang-undang itu mengatur penetapan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dalam pemilihan presiden yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon.
Pasal 3 Ayat (7) PKPU No 5/2019 menyebutkan, jika hanya ada dua pasangan calon di pemilihan presiden, KPU menetapkan pasangan calon yang meraih suara terbanyak sebagai pasangan calon terpilih. Suara terbanyak yang dimaksud adalah pasangan calon tersebut meraih lebih dari 50 persen jumlah suara sah dalam pemilu.
Artinya, pasangan itu ditetapkan sebagai pemenang tanpa harus memenuhi syarat persebaran suara, yakni paling sedikit 20 persen suara di setiap provinsi dan tersebar di lebih dari 50 persen jumlah provinsi. Dengan kata lain, Pasal 3 Ayat 7 PKPU No 5/2019 memastikan pemilihan presiden tak memerlukan putaran kedua.
Sebaliknya, Putusan MA No 44 P/HUM/2019 memutuskan, Pasal 3 Ayat (7) PKPU No 5/2019 tidak berlaku lagi. Pertimbangannya, meskipun hanya ada dua pasangan calon dalam pemilihan presiden, syarat persebaran keterpilihan tetap harus berlaku (paling sedikit 20 persen suara di setiap provinsi dan tersebar di lebih dari 50 persen jumlah provinsi di Indonesia). Dengan kata lain, jika ada dua pasangan calon presiden, peluang putaran kedua tetap terbuka.
Peneliti Kode Inisiatif, Ihsan Maulana, mengatakan, putusan MA ini berlawanan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi dasar bagi KPU membuat Pasal 3 Ayat (7) PKPU No 5/2019. Menurut dia, pertimbangan MA sama sekali tidak memasukkan Putusan Mahkamah Konstitusi No 36/PUU-XVII/2019.
Dalam putusannya, MK menafsirkan bahwa Pasal 416 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu harus dimaknai, jika terdapat lebih dari dua pasangan calon presiden, pasangan calon yang terpilih adalah yang meraih suara terbanyak. Tidak perlu dilakukan putaran kedua. ”Semestinya putusan MK yang final dan mengikat ini dijadikan pertimbangan oleh MA,” ungkap Ihsan.
Perbedaan putusan
Perbedaan putusan MK dan MA bukan yang pertama kali ini saja terjadi. Sebelumnya, kedua lembaga pernah melahirkan putusan yang bertentangan.
Salah satunya kasus Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Oedang (OSO). Pada Pemilu 2019, OSO maju sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Namun, pencalonannya terhalang oleh peraturan KPU yang menyatakan bahwa calon anggota DPD dilarang merangkap sebagai pengurus partai politik. Peraturan KPU ini merujuk pada Putusan MK No 30/PUU-XVI/2018 yang menyatakan bahwa anggota DPD dilarang merangkap jabatan sebagai anggota partai politik.
KPU mencoret nama OSO dari daftar pencalonan anggota DPD karena sampai batas waktu penyerahan surat pengunduran diri dari pengurus partai, OSO tidak memberikan surat tersebut. Hal ini terjadi karena OSO mengajukan uji materi terhadap peraturan KPU ke MA. Putusan MA mengabulkan uji materi dari OSO dan membatalkan PKPU yang melarang pengurus partai maju sebagai calon anggota DPD.
Polemik inilah yang kemudian melahirkan ketegangan politik antara OSO dan KPU. Perbedaan putusan seperti ini, mau tidak mau, akan membawa dampak pada penyelenggara pemilu sebagai pelaksana undang-undang. Tidak heran jika kemudian wacana penyatuan urusan regulasi pemilu dalam satu lembaga hukum muncul agar kasus ”pertentangan” putusan di antara kedua lembaga hukum tidak terjadi lagi.
Pembagian wilayah antara MK dan MA terkait uji materi memang sudah tegas disebutkan, yakni uji materi terhadap undang-undang adalah kewenangan MK, sedangkan MA berwenang dengan aturan di bawah undang-undang. Namun, kasus perbedaan putusan terkait isu persyaratan keterpilihan presiden memperkuat sinyal perlunya penyatuan uji materi, terutama dalam konteks kepemiluan, dalam satu lembaga.
Pencalonan pilpres
Terlepas dari perbedaan putusan antara MK dan MA, isu pemilihan presiden tetap menarik dikupas seiring dengan pembahasan rancangan undang-undang pemilu di DPR sekarang. Selain isu syarat keterpilihan yang ramai diperbincangkan publik pasca-putusan MA, isu syarat pencalonan presiden pernah diajukan sebagai bahan uji materi ke MK.
Isu ini pernah diajukan sejumlah pihak, tetapi MK menolak semua uji materi terkait ambang batas pencalonan presiden. Putusan terakhir MK terkait hal itu adalah Putusan MK No 49/PUU-XVI/2018 yang dimohonkan M Busyro Muqoddas dan kawan-kawan serta Putusan MK No 54/PUU-XVI/2018 yang dimohonkan Effendi Gazali.
Dalam putusan tersebut, MK menolak menghapus Pasal 222 UU Pemilu yang mensyaratkan ambang batas pasangan capres-cawapres sebesar 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari total suara sah hasil Pemilu 2014 bagi parpol atau gabungan parpol yang mengusungnya. Aturan ini bagi pengaju uji materi dinilai terlalu berat dan menutup kesempatan atau hak bagi partai politik baru untuk mengusung capres-cawapres alternatif. Namun, putusan MK menyebutkan bahwa ambang batas pencalonan presiden merupakan open legal policy pembentuk UU.
MK menolak menghapus Pasal 222 UU Pemilu yang mensyaratkan ambang batas pasangan capres-cawapres sebesar 20 persen dari jumlah kursi DPR.
Secara umum isu pemilihan presiden sering menjadi bahan uji materi yang diajukan ke MK. Kode Inisiatif dalam Membaca 16 Tahun Mahkamah Konstitusi: Data Uji Materi Undang-Undang terhadap UUD 1945 (2003-2019) menyebutkan, undang-undang pemilihan presiden sebanyak 39 kali mengalami uji materi.
Selain soal ambang batas pencalonan presiden, pengajuan uji materi yang diajukan terkait undang-undang pemilihan presiden meliputi larangan anggota TNI dan Polri menggunakan hak pilih. Pendaftaran calon presiden independen, daftar pemilih, hak pilih, survei, dan jajak pendapat juga termasuk isu yang mengalami uji materi.
Hal yang menarik, animo membawa undang-undang pemilu ke MK meningkat pada tahun-tahun berikutnya, seperti UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Meskipun baru disahkan tahun 2017, undang-undang ini sudah mengalami uji materi 43 kali. Salah satu latar belakang begitu banyaknya jumlah uji materi terhadap undang-undang ini tak lepas faktor bahwa UU No 7/2017 merupakan kodifikasi dari tiga undang-undang sebelumnya, yakni UU Pemilu Legislatif, UU Pemilihan Presiden, dan UU Penyelenggara Pemilu.
Kini, UU No 7/2017 tentang Pemilu kembali akan direvisi. Terbuka peluang undang-undang yang baru hasil revisi nanti kembali diuji ke MK.
Pada dasarnya perubahan UU Pemilu seharusnya tidak sekadar menitikberatkan soal kontestasi yang lebih berimbang antarpeserta pemilu, tetapi yang lebih penting adalah menjamin kedaulatan pemilih sekaligus memperbaiki manajemen penyelenggaraan pemilu. Harapannya, pemilu tidak lagi terjebak pada perdebatan yang selalu terkait dengan besar kecilnya peluang kemenangan dari partai politik peserta pemilu.
Merujuk pada hasil jajak pendapat Kompas, publik lebih menginginkan aturan dan tata cara pemilu yang kokoh, stabil, dan tidak perlu berubah-ubah. Bahkan, kalau bisa, tidak terlalu menyulitkan, terutama bagi pemilih saat menggunakan hak suara di tempat pemungutan suara. Ada kecenderungan publik berharap pemilu lebih sederhana, tidak ribet, dan memudahkan warga berpartisipasi, terutama terkait cara penggunaan suara ketika hari pemungutan suara (Kompas, 22/6/2020).
Perdebatan terkait syarat keterpilihan dan pencalonan presiden hampir pasti menyangkut kepentingan peserta pemilu. Pada masa mendatang, diskursus soal aturan main pemilu dan kontestasi politik harus menempatkan pemilih tidak sekadar sebagai obyek perebutan suara. Mereka harus dilihat sebagai subyek dari pemilu.
(LITBANG KOMPAS)